Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Bak Pahlawan Kesiangan: Dia yang Buat Kisruh, Dia yang Datang Sebagai Penyelamat
16 Februari 2025 10:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Seperti menunggu hujan di musim kemarau, masyarakat Indonesia baru saja disuguhi tontonan politik yang penuh drama. Pemerintah mengumumkan rencana pemotongan anggaran pendidikan, sontak menuai protes dari berbagai kalangan. Mahasiswa turun ke jalan, para akademisi angkat suara, dan media sosial penuh dengan kritik tajam. Di tengah derasnya penolakan, tiba-tiba datang sosok yang mengaku mendengar suara rakyat, membatalkan kebijakan tersebut dengan wajah penuh wibawa. Bak seorang pahlawan kesiangan, langkah ini lebih mirip sebuah strategi politik ketimbang kepedulian yang tulus.
ADVERTISEMENT
Sejak awal, pemotongan anggaran pendidikan sudah menimbulkan tanda tanya besar. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang menentukan masa depan bangsa, dan pemangkasan dana di sektor ini bukan hanya soal anggaran, tetapi juga soal prioritas negara. Namun, kebijakan ini tetap diumumkan, seolah mengetes sejauh mana publik akan bereaksi. Dan benar saja, gelombang kritik langsung membanjiri berbagai platform, memunculkan kekhawatiran tentang dampaknya bagi dunia pendidikan yang sudah penuh tantangan.
Di tengah panasnya situasi, datanglah sang pahlawan. Dengan narasi mendengar aspirasi rakyat, ia mengumumkan bahwa pemotongan anggaran pendidikan dibatalkan. Dari sudut pandang masyarakat yang tidak terlalu memperhatikan dinamika politik, langkah ini mungkin terlihat heroik. Sosok yang bersangkutan dipandang sebagai pemimpin yang berpihak pada rakyat, yang turun tangan saat kebijakan tidak berpihak pada kepentingan umum. Namun, bagi mereka yang lebih peka, ini bukan aksi penyelamatan, melainkan permainan catur politik yang dimainkan dengan sangat rapi.
ADVERTISEMENT
Mengapa kebijakan itu muncul jika akhirnya akan dibatalkan? Apakah mungkin sejak awal ini hanya skenario yang memang dirancang agar ada ruang bagi seseorang untuk tampil sebagai pahlawan? Logikanya, kebijakan sebesar ini tentu tidak muncul begitu saja tanpa pertimbangan yang matang. Jika ada rencana pemotongan anggaran, pasti sudah ada pembahasan panjang di internal pemerintah. Artinya, jika benar-benar peduli, seharusnya keberatan sudah disampaikan sejak awal, bukan ketika gelombang kritik mulai membesar. Tetapi, membiarkan kebijakan ini dilemparkan ke publik, lalu baru membatalkannya setelah terjadi penolakan besar, justru menguntungkan secara politik.
Publik sering kali mudah terbuai dengan narasi kepedulian yang disampaikan secara teatrikal. Ketika seseorang dengan kekuasaan muncul dan mengatakan bahwa dirinya mendengar suara rakyat, banyak yang langsung percaya tanpa mempertanyakan lebih jauh. Padahal, dalam konteks politik, langkah ini bukan sesuatu yang baru. Bermain peran sebagai penyelamat telah menjadi strategi klasik untuk membangun citra positif, terutama menjelang tahun-tahun politik yang semakin dekat. Dengan membatalkan kebijakan yang tidak populer, seseorang bisa meraih simpati publik dan mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin yang responsif terhadap suara rakyat.
ADVERTISEMENT
Namun, ada hal yang perlu dipahami lebih dalam. Jika benar peduli pada rakyat, mengapa baru bertindak ketika kritik sudah membesar? Mengapa tidak sejak awal mencegah kebijakan ini keluar? Jawabannya bisa jadi sederhana: karena drama seperti ini lebih menguntungkan. Dengan muncul sebagai penyelamat, ada kesempatan untuk membangun citra baik di mata publik. Dan publik yang sudah terlanjur marah akan lebih mudah melupakan fakta bahwa kebijakan ini sebenarnya lahir dari lingkaran kekuasaan yang sama.
Ironisnya, strategi seperti ini sering kali berhasil. Masyarakat yang sibuk dengan urusan masing-masing tidak selalu punya waktu untuk menganalisis secara mendalam. Ketika ada pemimpin yang datang membawa solusi, reaksi spontan yang muncul adalah apresiasi. Hanya sedikit yang benar-benar mempertanyakan motif di baliknya. Politik, pada akhirnya, adalah permainan persepsi. Selama bisa membentuk citra sebagai pemimpin yang mendengar rakyat, maka keuntungan politik tetap bisa diraih, meskipun langkah yang diambil hanya sekadar membatalkan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi sejak awal.
ADVERTISEMENT
Jika kita bicara soal kepemimpinan yang ideal, tentu bukan seperti ini bentuknya. Seorang pemimpin yang benar-benar peduli tidak akan menunggu sampai rakyat marah untuk bertindak. Ia akan memastikan sejak awal bahwa kebijakan yang diambil berpihak kepada rakyat, tanpa perlu ada drama pembatalan di tengah jalan. Tetapi, dalam politik, sering kali yang lebih penting bukan bagaimana cara membuat kebijakan yang baik, melainkan bagaimana cara memanfaatkan momen untuk kepentingan citra pribadi.
Fenomena pahlawan kesiangan ini bukan kali pertama terjadi, dan kemungkinan besar tidak akan menjadi yang terakhir. Selama masyarakat masih mudah terbuai dengan narasi kepedulian yang muncul tiba-tiba, strategi ini akan terus digunakan. Dan yang lebih mengkhawatirkan, hal ini bisa menjadi pola yang terus berulang. Kebijakan-kebijakan yang kontroversial bisa saja dibuat hanya untuk kemudian dibatalkan, demi menciptakan ruang bagi seseorang untuk tampil sebagai penyelamat.
ADVERTISEMENT
Apakah benar kebijakan pemotongan anggaran pendidikan dibatalkan karena mendengar suara rakyat? Ataukah ini hanya bagian dari strategi untuk mendapatkan simpati? Jawabannya bisa bervariasi, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Yang pasti, politik selalu penuh dengan permainan, dan hanya mereka yang mau berpikir lebih kritis yang tidak akan mudah terjebak dalam ilusi kepahlawanan dadakan.