news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

DPR: Ketika Popularitas Mengalahkan Kapabilitas

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5 Maret 2025 21:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2016/10/11/13/06/house-of-representatives-1731554_1280.jpg (Ilustrasi gedung parlemen)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2016/10/11/13/06/house-of-representatives-1731554_1280.jpg (Ilustrasi gedung parlemen)
ADVERTISEMENT
Di negara demokrasi seperti Indonesia, seharusnya para wakil rakyat di DPR menjadi representasi terbaik dari masyarakat. Mereka dipilih untuk menyuarakan kepentingan rakyat, menyusun kebijakan yang berpihak pada publik, dan memastikan bahwa roda pemerintahan berjalan sesuai harapan. Namun, yang terjadi justru sering kali sebaliknya. Banyak anggota DPR yang tidak hanya gagal menjalankan tugasnya dengan baik, tetapi juga terlihat tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk memahami permasalahan yang ada. Salah satu alasan utamanya adalah karena mereka terpilih bukan berdasarkan kompetensi, melainkan popularitas.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan hal baru. Pemilu legislatif di Indonesia lebih sering menjadi ajang kontes ketenaran dibandingkan seleksi berdasarkan kualitas dan kemampuan. Orang-orang yang memiliki nama besar, baik karena mereka figur publik, mantan pejabat, selebritas, atau memiliki modal besar untuk membangun citra lebih mudah mendapatkan suara dibandingkan mereka yang benar-benar memahami tata kelola pemerintahan dan kebijakan publik. Akibatnya, kursi-kursi DPR yang seharusnya diisi oleh orang-orang dengan wawasan dan keahlian malah lebih sering dihuni oleh mereka yang hanya pandai menarik perhatian publik.
Jika dilihat dari sudut pandang filosofis, demokrasi sebenarnya adalah sistem yang berlandaskan prinsip keterwakilan dan partisipasi rakyat. Dalam gagasan idealnya, demokrasi diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang bijaksana dan berintegritas, yaitu orang-orang yang memahami problematika bangsa serta mampu menawarkan solusi yang konkret. Namun, realitas yang terjadi justru berkebalikan. Demokrasi yang tidak dikawal dengan baik sering kali terjebak dalam populisme, di mana pemimpin tidak lagi dipilih berdasarkan kebijaksanaan atau kompetensi, tetapi karena daya tarik personal dan kedekatan emosional dengan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemikiran para filsuf politik seperti Plato dan Aristoteles pun seolah terbukti relevan dalam kondisi ini. Plato pernah berpendapat bahwa pemerintahan seharusnya dijalankan oleh para filsuf (orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang keadilan dan kebijaksanaan). Sementara itu, demokrasi justru memungkinkan siapa saja untuk berkuasa, termasuk mereka yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola negara.
Dari sudut pandang sosiologis, fenomena ini dapat ditelaah lebih dalam dengan melihat pola budaya politik yang berkembang di masyarakat. Politik di Indonesia masih sering dipandang sebagai ajang perebutan kekuasaan ketimbang sebagai sarana untuk membangun bangsa. Banyak pemilih yang cenderung memilih berdasarkan faktor emosional, kedekatan identitas, atau sekadar mengenali sosok calon dari media. Hal ini semakin diperparah dengan rendahnya literasi politik di masyarakat, yang membuat orang lebih mudah terpengaruh oleh kampanye yang sarat pencitraan dibandingkan rekam jejak dan kapasitas kandidat. Selain itu, politik uang masih menjadi masalah laten yang memengaruhi cara masyarakat dalam menentukan pilihan. Ketika politik lebih dikendalikan oleh kapital dan ketenaran, maka kecil kemungkinan individu yang benar-benar kompeten dapat mendapatkan tempat di parlemen.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif hukum, sebenarnya sudah ada regulasi yang mengatur pencalonan anggota legislatif. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah menetapkan berbagai persyaratan bagi calon legislatif, termasuk ketentuan administratif seperti pendidikan minimal dan tidak memiliki catatan kriminal. Namun, aturan ini belum cukup untuk memastikan bahwa hanya orang-orang yang berkompeten yang dapat duduk di kursi DPR. Tidak ada mekanisme seleksi yang benar-benar dapat menguji pemahaman mereka terhadap kebijakan publik, hukum, maupun tata kelola pemerintahan. Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka juga menjadi salah satu penyebab mengapa kompetensi sering kali terabaikan. Dalam sistem ini, siapa pun yang mendapatkan suara terbanyak dari partainya akan lolos menjadi anggota dewan tanpa mempertimbangkan seberapa besar pemahaman mereka terhadap tugas legislatif. Alhasil, calon dengan modal finansial besar atau ketenaran lebih mudah melenggang ke parlemen dibandingkan mereka yang memiliki kapasitas tetapi minim eksposur di publik.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini tentu menimbulkan konsekuensi yang tidak bisa dianggap sepele. Ketika parlemen diisi oleh orang-orang yang tidak memahami tugas dan kewajibannya, maka kebijakan yang dihasilkan juga berisiko rendah kualitasnya. Tidak jarang kita melihat anggota DPR yang bingung saat membahas sebuah undang-undang atau bahkan tidak memahami isi rancangan yang mereka bahas sendiri. Lebih buruk lagi, banyak yang lebih sibuk membangun citra dan mencari keuntungan pribadi daripada benar-benar menjalankan tugas legislasi. Ketika mereka tidak memiliki kapasitas intelektual yang cukup, mereka menjadi lebih rentan untuk dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu, baik dari kelompok bisnis maupun oligarki politik.
Mengatasi masalah ini tentu tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Perubahan harus dimulai dari cara masyarakat memilih wakilnya. Pendidikan politik yang lebih masif dan berkualitas harus diberikan agar pemilih tidak lagi menentukan pilihan hanya berdasarkan faktor ketenaran atau janji manis kampanye. Media juga harus memainkan peran yang lebih besar dalam memberikan informasi yang objektif dan mendidik, bukan sekadar menjadi corong bagi kepentingan politik tertentu. Selain itu, reformasi sistem politik juga perlu dilakukan. Seleksi internal partai harus lebih ketat agar hanya mereka yang memiliki kapasitas yang benar-benar dapat maju dalam pemilu. Bisa juga diterapkan mekanisme uji publik yang memastikan bahwa calon legislatif memiliki wawasan yang cukup dalam bidang yang akan mereka jalankan. Jika perlu, regulasi dapat diperketat dengan menambahkan persyaratan pengalaman atau pelatihan legislatif sebelum seseorang dapat mencalonkan diri.
ADVERTISEMENT
DPR adalah refleksi dari pemilihnya. Jika masyarakat masih memilih berdasarkan faktor emosional dan popularitas semata, maka wajah parlemen kita tidak akan banyak berubah. Kita harus mulai menuntut standar yang lebih tinggi dari wakil rakyat kita, bukan hanya menilai mereka dari seberapa sering muncul di layar kaca atau seberapa menarik janji-janji kampanye mereka. Jika tidak, lima tahun ke depan kita hanya akan mengulang kesalahan yang sama, terjebak dalam lingkaran yang membuat demokrasi kita berjalan di tempat.