Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Efisiensi Anggaran Demi Program Makan Gratis, Tapi Salah Sasaran?
13 Februari 2025 13:31 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Efisiensi anggaran akhir-akhir ini menjadi momok menakutkan di sektor pemerintahan dan non-pemerintahan. Dari kampanye hingga pidato resmi, janji untuk menghemat pengeluaran negara demi kepentingan rakyat selalu terdengar nyaring. Namun, ironisnya, yang terjadi justru pemangkasan di sektor-sektor yang seharusnya tetap dipertahankan, sementara belanja lain yang kurang esensial tetap berjalan tanpa hambatan. Tulisan ini bukan membela yang dipangkas anggarannya, tapi hanya curahan pikiran semata.
ADVERTISEMENT
Program makan gratis di sekolah yang digagas Prabowo menjadi salah satu contoh kebijakan ambisius yang membutuhkan alokasi anggaran besar. Demi membiayai program ini, pemerintah melakukan efisiensi di berbagai sektor, mulai dari pemangkasan subsidi energi hingga pengurangan anggaran beberapa kementerian. Namun, masalahnya bukan pada niat untuk membantu anak-anak sekolah mendapatkan gizi yang lebih baik, melainkan pada cara anggaran dipangkas yang sering kali tidak tepat sasaran.
Alih-alih memangkas anggaran dari pos-pos yang boros dan tidak produktif, yang terjadi justru pengurangan di sektor-sektor vital seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Misalnya, pemutusan hubungan kerja tenaga kerja honorer yang menimbulkan banyaknya pekerja yang dirumahkan. Bukankah ini bertentangan dengan semangat efisiensi yang seharusnya meringankan beban rakyat, bukan malah menambah penderitaan?
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, belanja pemerintahan untuk hal-hal yang tidak esensial tetap berlangsung. Salah satu contoh terbaru yang menuai sorotan adalah pengangkatan Deddy Corbuzier sebagai Staf Khusus Kementerian Pertahanan. Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah negara benar-benar membutuhkan seorang pesulap dan influencer sebagai penasihat di sektor pertahanan? Apakah ini politik balas budi? Pengangkatan ini semakin menegaskan bahwa efisiensi anggaran tampaknya hanya berlaku untuk sektor yang menyentuh rakyat kecil, sementara belanja politik dan pengangkatan pejabat tetap berjalan tanpa hambatan.
Jika pemerintah benar-benar ingin menerapkan efisiensi, seharusnya pengurangan anggaran dilakukan pada pos-pos yang tidak berdampak langsung pada rakyat. Mengurangi jumlah staf khusus, merampingkan birokrasi, dan memangkas anggaran perjalanan dinas bisa menjadi langkah yang lebih rasional dibandingkan memangkas subsidi atau anggaran layanan publik.
ADVERTISEMENT
Efisiensi anggaran demi program makan gratis memang terdengar seperti kebijakan yang berpihak pada rakyat, tetapi tanpa perencanaan yang matang, justru bisa menciptakan masalah baru. Ketika pengurangan anggaran salah sasaran, rakyat yang seharusnya terbantu malah semakin terbebani. Seharusnya pemerintah lebih bijak dalam menentukan pos anggaran mana yang harus dikorbankan dan mana yang harus dipertahankan.
Mungkin sudah saatnya kita sebagai rakyat lebih kritis dalam menanggapi kebijakan semacam ini. Jika benar efisiensi menjadi prioritas, maka transparansi dalam pengelolaan anggaran, evaluasi kinerja kabinet, serta rasionalisasi jumlah kementerian harus menjadi bagian dari solusi. Tanpa itu, jargon efisiensi anggaran hanya akan menjadi alat untuk membungkus kenyataan pahit: bahwa politik sering kali lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
#Anaknya makan gratis, Orang tuanya di PHK :)