Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Hati-Hati, Bakar Sampah Bisa Masuk Penjara
22 April 2025 14:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernah tidak kamu lagi jalan pagi atau pulang kerja, lalu tiba-tiba mencium bau asap menyengat dari tumpukan sampah yang dibakar sembarangan? Kadang ada plastiknya, kadang sisa makanan, daun-daun kering, bahkan ada juga yang nyelip pembalut bekas. Asapnya mengepul, nyebar ke mana-mana. Kita batuk-batuk, tapi si pembakar santai aja merasa hal itu wajar, bahkan mungkin jadi rutinitas harian.
ADVERTISEMENT
Lucunya, banyak dari kita juga pernah melakukan hal yang sama. Bakar sampah di belakang rumah atau di pinggir jalan, karena “biar cepat bersih.” Tapi jarang yang sadar, bahwa di balik kobaran api itu, ada hukum yang mengintai. Dan kalau apes, bisa-bisa kita sendiri yang berurusan dengan polisi, jaksa, sampai akhirnya duduk di kursi pesakitan.
Masalahnya bukan semata-mata soal kebiasaan. Ini soal pelanggaran hukum. Di negara kita, aturan soal pembakaran sampah bukan main-main. Bukan sekadar imbauan, tapi sudah ditulis hitam di atas putih dalam Undang-Undang.
Coba kita lihat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Di situ, tepatnya di Pasal 29 ayat (1) huruf e, disebutkan larangan membakar sampah sembarangan. Enggak dilarang seluruhnya, tapi harus sesuai syarat teknis. Nah, berapa banyak sih dari kita yang ngerti soal "teknis" ini? Kebanyakan asal nyulut aja. Padahal pembakaran yang salah ini bisa merugikan banyak pihak.
ADVERTISEMENT
Sanksinya juga nyata. Di Pasal 40 undang-undang tersebut, pelaku pembakaran sampah yang tak sesuai aturan bisa dipidana hingga enam bulan penjara atau denda maksimal Rp50 juta. Cuma karena "mau bersihin halaman," bisa-bisa malah bersih-bersih kamar tahanan.
Dan itu belum seberapa, kalau kita buka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, levelnya naik. Di Pasal 69 ayat (1) huruf h dan Pasal 108, pelaku bisa dipidana penjara maksimal 3 tahun dan/atau denda Rp3 miliar. Tiga miliar, bro. Jumlah yang bisa bikin kamu beli rumah di pinggir kota, atau malah sewa pengacara paling mahal kalau sampai ke pengadilan.
Lalu orang bertanya-tanya, "Kenapa sih hukumannya sebesar itu cuma karena bakar sampah?" Jawabannya sederhana: karena asapnya bukan cuma ganggu, tapi bahaya. Pembakaran sampah sembarangan, apalagi yang mengandung plastik dan bahan kimia, bisa menghasilkan racun seperti dioksin dan furan. Ini bukan asap biasa. Ini racun udara. Bisa sebabkan kanker, gangguan pernapasan, bahkan memicu kebakaran besar.
ADVERTISEMENT
Bayangin kalau apinya merembet ke rumah tetangga. Kalau sampai terjadi kebakaran, pelakunya bisa dijerat dengan Pasal 188 KUHP: kelalaian yang menyebabkan kebakaran. Ancaman hukumannya? Lima tahun penjara. Semua karena api kecil yang dianggap sepele.
Dan enggak cuma itu. Ada kemungkinan pelaku juga dijerat Pasal 505 KUHP tentang perbuatan yang mengganggu ketertiban umum. Jadi satu tindakan bisa membawa lebih dari satu jerat hukum. Sebuah efek domino yang dimulai dari korek api dan seonggok sampah.
Kalau kamu tinggal di kota besar seperti Jakarta, aturannya makin ketat. Ada Perda No. 3 Tahun 2013 yang tegas melarang pembakaran sampah di permukiman. Beberapa daerah lain juga punya Perda serupa. Artinya, pelanggaran di tingkat lokal pun bisa membuatmu kena denda atau sanksi sosial. Bakar sampah sembarangan? Bisa jadi bahan laporan warga.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, banyak orang masih menganggap ini hal kecil. Padahal udara yang kita hirup bukan milik pribadi. Kalau asapnya nyebar dan bikin orang sesak napas, itu udah masuk ranah pelanggaran hak orang lain. Prinsip hukum sangat jelas: kebebasanmu berhenti saat kebebasan orang lain mulai terganggu.
Yang lebih menyedihkan, akar dari semua ini adalah mental malas. Malas memilah, malas mengompos, malas buang ke TPS. Padahal sekarang sudah banyak solusi: bank sampah, petugas pengangkut, bahkan komunitas yang siap bantu kelola. Tapi sebagian orang lebih memilih membakar, karena "praktis". Dan praktik inilah yang jadi sumber masalah.
Apakah aparat selama ini tegas? Belum selalu. Pengawasan dan penegakan hukum kadang lemah. Tapi perlahan-lahan, masyarakat mulai sadar. Sudah ada beberapa kasus yang ditindak, terutama jika perbuatannya viral. Di sinilah peran kita sebagai warga juga penting. Laporkan kalau ada yang merugikan lingkungan. Edukasi orang sekitar. Jangan diam saja.
ADVERTISEMENT
Yang perlu diingat, tidak semua pembakaran itu ilegal. Kalau dilakukan oleh fasilitas resmi dengan teknologi seperti insinerator, dengan suhu tinggi dan emisi terkendali, itu sah-sah saja. Yang jadi masalah adalah pembakaran liar di pekarangan rumah, tanpa kontrol, tanpa izin, tanpa akal sehat.
Semua kembali pada pilihan pribadi. Mau terus-terusan jadi bagian dari masalah, atau mulai jadi bagian dari solusi. Jangan tunggu ditangkap baru berubah. Jangan tunggu viral baru sadar.
Mungkin kamu merasa ini berlebihan. Tapi coba bayangkan, hanya karena malas buang sampah ke tempatnya, nama kamu bisa masuk berita kriminal. Dipanggil polisi, sidang di pengadilan, kena denda, atau bahkan dipenjara. Hanya karena "asap kecil," hidupmu bisa berubah drastis. Jadi sebelum kamu nyalakan api buat bakar sampah, pikirkan ulang. Jangan sampai kobaran kecil itu jadi pintu masuk menuju jeruji besi.
ADVERTISEMENT