Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Hukum dan Moral: Ketika Pemerkosa Menikahi Korban untuk Lolos dari Hukuman
12 Januari 2025 8:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus hukum yang melibatkan kekerasan seksual selalu menjadi topik yang mengundang perhatian publik. Salah satu praktik yang sering memicu kemarahan adalah konsep di mana seorang pemerkosa bisa menghindari hukuman dengan menikahi korbannya. Hal ini terdengar seperti lelucon yang tidak lucu, tetapi kenyataannya, ini pernah menjadi bagian dari sistem hukum di beberapa negara dan masih dipraktikkan dalam masyarakat tertentu hingga kini. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa hal semacam ini pernah dianggap sebagai solusi, dan bagaimana kita bisa mencegahnya di masa depan?
ADVERTISEMENT
Kalau kita menengok ke belakang, praktik ini sebenarnya berakar pada pandangan kuno yang sangat patriarkal. Di masa lalu, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sering kali dianggap "rusak" atau "tidak layak" untuk menikah. Akibatnya, korban malah dipaksa untuk menikahi pelaku dengan dalih menjaga kehormatan keluarga atau komunitas. Dalam beberapa budaya, solusi seperti ini dianggap sebagai "win-win solution," meskipun kenyataannya, ini adalah bentuk lain dari kekerasan terhadap korban.
Hal ini bahkan diabadikan dalam hukum di beberapa negara. Misalnya, di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara, hingga beberapa dekade lalu, ada undang-undang yang memungkinkan pelaku kekerasan seksual untuk lolos dari hukuman jika menikahi korban. Bahkan di negara-negara yang sekarang sudah lebih maju dalam hal kesetaraan gender, jejak dari aturan semacam ini masih meninggalkan bekas dalam bentuk norma sosial.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah solusi ini benar-benar membantu? Tentu saja tidak. Dari sudut pandang korban, praktik ini justru memperpanjang trauma. Bayangkan seseorang yang sudah menderita secara fisik dan emosional, lalu dipaksa menjalani hidup bersama orang yang telah menghancurkan hidupnya. Ini bukan perlindungan, melainkan bentuk lain dari penghukuman. Alih-alih memberikan rasa aman, praktik ini membuat korban terjebak dalam siklus kekerasan yang tak berujung.
Di sisi lain, praktik ini juga mengirimkan pesan yang salah kepada masyarakat. Dengan membiarkan pelaku lolos dari hukuman melalui pernikahan, sistem hukum secara tidak langsung menyatakan bahwa kekerasan seksual bukanlah kejahatan serius. Ini juga membuat pelaku merasa bisa berbuat sesuka hati tanpa konsekuensi yang berarti. Hasilnya? Lingkaran setan kekerasan seksual terus berlanjut.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat yang masih patriarkal, tekanan sosial sering kali menjadi alasan utama mengapa keluarga korban setuju pada solusi ini. Stigma terhadap korban kekerasan seksual masih sangat kuat, bahkan di era modern. Korban sering kali dianggap "memalukan" bagi keluarga, sehingga pernikahan dengan pelaku dianggap sebagai cara untuk "memperbaiki" situasi. Namun, pandangan ini sama sekali tidak adil. Beban untuk "menyelesaikan" masalah selalu dibebankan pada korban, sementara pelaku dibiarkan melenggang bebas.
Hukum sebenarnya memiliki peran besar untuk mengubah pandangan ini. Di banyak negara, undang-undang yang memungkinkan pernikahan semacam ini sudah dihapuskan. Namun, perubahan hukum saja tidak cukup. Dalam banyak kasus, perubahan aturan tidak diiringi dengan perubahan budaya atau cara berpikir masyarakat. Akibatnya, meskipun secara hukum tidak lagi diperbolehkan, praktik ini masih terjadi secara informal.
ADVERTISEMENT
Apa yang bisa dilakukan? Langkah pertama tentu saja adalah memastikan bahwa hukum benar-benar berpihak pada korban. Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual harus tegas dan tidak memberikan ruang untuk celah seperti pernikahan. Selain itu, sistem hukum juga perlu menyediakan dukungan bagi korban, baik dalam bentuk perlindungan fisik maupun bantuan psikologis.
Namun, yang tidak kalah penting adalah mengubah cara masyarakat memandang korban kekerasan seksual. Edukasi menjadi kunci dalam hal ini. Kita perlu mengajarkan kepada generasi muda bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan serius dan bahwa korban tidak pernah bersalah atas apa yang terjadi pada mereka. Selain itu, stigma terhadap korban harus dihilangkan. Korban adalah individu yang berhak mendapatkan dukungan dan perlindungan, bukan cemoohan atau hukuman sosial.
ADVERTISEMENT
Media juga memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Dalam banyak kasus, pemberitaan tentang kekerasan seksual cenderung menyalahkan korban atau memunculkan narasi yang tidak adil. Perubahan cara media melaporkan kasus semacam ini bisa membantu mengubah cara masyarakat melihat masalah ini.
Tentu saja perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam. Ini adalah proses panjang yang membutuhkan kerja sama antara pemerintah, lembaga hukum, masyarakat sipil, dan individu. Namun, langkah kecil bisa membawa perubahan besar. Misalnya, dengan mulai dari diri sendiri, kita bisa menunjukkan dukungan kepada korban, melawan stigma, dan berbicara tentang pentingnya keadilan gender.
Fenomena di mana pelaku kekerasan seksual menikahi korban untuk menghindari hukuman adalah cerminan dari ketidakadilan yang masih mengakar di masyarakat kita. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal budaya dan pola pikir. Perjuangan untuk keadilan bagi korban kekerasan seksual adalah perjuangan untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan adil. Karena keadilan sejati bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga tentang memastikan korban bisa pulih dan melanjutkan hidup mereka tanpa bayang-bayang trauma.
ADVERTISEMENT