Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Hutan Bukan Cuma Soal Sawit: Mengapa Ide Prabowo ini Harus Dikaji Ulang?
27 Januari 2025 16:25 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ada banyak hal yang membuat kita harus berhenti sejenak dan memikirkan ulang arah kebijakan negara, khususnya soal hutan. Belakangan, ada ide yang katanya bakal "menguntungkan" yaitu membabat hutan untuk ditanami kelapa sawit. Katanya, ini bisa jadi solusi ekonomi buat rakyat, menambah devisa negara, dan membuka lapangan kerja. Tapi tunggu dulu, benarkah ini ide yang cemerlang? Kalau dipikir lebih dalam, ada terlalu banyak sisi buruk yang membuat rencana ini lebih pantas disebut bencana daripada berkat.
ADVERTISEMENT
Kita mulai dari hal yang mendasar: hutan kita ini bukan cuma kumpulan pohon. Hutan adalah rumah. Bukan cuma buat satwa liar seperti orangutan, harimau, dan badak yang sekarang sudah susah banget dicari, tapi juga buat manusia. Ada komunitas adat yang hidup dari hutan, ada ekosistem yang saling terkait, dan, yang lebih besar lagi, hutan adalah "paru-paru dunia". Kalau paru-paru rusak, siapa yang sesak napas? Ya kita semua. Jadi, membabat hutan, apalagi dengan alasan ekonomi jangka pendek, itu seperti menjual rumah buat beli mobil: kelihatan keren sekarang, tapi bakal bikin repot di masa depan.
Lalu soal kelapa sawit. Memang, nggak bisa dimungkiri kalau sawit itu salah satu komoditas unggulan Indonesia. Minyak sawit ada di mana-mana: di sabun, makanan, kosmetik, sampai biodiesel. Tapi industri sawit ini nggak sesederhana pohon ditanam lalu panen dan uang datang. Ada biaya lingkungan yang nggak pernah dicantumkan di laporan keuntungan. Pembabatan hutan untuk sawit berarti menghilangkan penyerap karbon alami, mengganggu siklus air, dan meningkatkan risiko banjir serta tanah longsor. Dan jangan lupa soal kebakaran hutan, yang sering kali "kebetulan" muncul di daerah yang bakal dijadikan perkebunan. Asapnya? Kita semua tahu betapa sesaknya hidup di bawah kabut asap.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sawit sendiri bukan tanaman yang baik untuk ekosistem di sekitarnya. Sawit adalah tanaman monokultur yang merusak keanekaragaman hayati. Ketika sawit ditanam, tanaman lain di sekitarnya sulit tumbuh karena sawit mengambil banyak air dan nutrisi dari tanah. Hewan-hewan yang dulu hidup di hutan kehilangan habitatnya dan akhirnya punah atau harus berpindah tempat. Sementara itu, tanah di bawah kebun sawit jadi cepat rusak karena terlalu banyak dipaksa menghasilkan. Ketika tanah sudah nggak subur lagi, kebun itu sering kali ditinggalkan begitu saja, meninggalkan lahan kritis yang nggak bisa dipakai lagi.
Ide ini juga menyisakan banyak pertanyaan etis. Apa gunanya kebijakan kalau yang diuntungkan cuma segelintir pihak? Kalau hutan dibabat, siapa yang benar-benar menikmati hasilnya? Rakyat kecil? Rasanya nggak. Yang dapat keuntungan besar biasanya korporasi besar. Sementara itu, masyarakat sekitar hutan justru kehilangan sumber penghidupan mereka. Mereka yang hidup dari berburu, meramu, atau bercocok tanam kecil-kecilan di sekitar hutan bakal kehilangan semuanya. Jadi, klaim bahwa kebijakan ini untuk kesejahteraan rakyat sebenarnya cukup diragukan.
ADVERTISEMENT
Belum lagi bicara soal masa depan. Kita ini hidup di era di mana krisis iklim sudah di depan mata. Negara-negara di dunia sedang berlomba-lomba menanam pohon, mengurangi emisi karbon, dan memperbaiki lingkungan. Tapi kita malah mau menebang hutan lebih banyak? Ini bukan cuma langkah mundur, tapi juga seperti menampar muka sendiri. Dunia bisa dengan mudah melihat kita sebagai negara yang nggak peduli lingkungan, hanya memikirkan keuntungan sesaat, dan nggak bertanggung jawab. Jangan kaget kalau negara lain mulai enggan bekerja sama dengan kita dalam isu lingkungan atau bahkan memberi tekanan ekonomi.
Dan jangan lupa, ada banyak cara lain untuk meningkatkan perekonomian tanpa harus mengorbankan hutan. Misalnya, pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Hutan bisa dimanfaatkan secara bijak tanpa harus diratakan. Ada juga potensi dari sektor pariwisata berbasis alam. Banyak orang yang rela bayar mahal hanya untuk melihat hutan tropis asli, satwa liar, dan keindahan alam yang nggak ada duanya. Kalau kita pintar mengelola ini, hasilnya bisa jauh lebih berkelanjutan daripada kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah membabat hutan untuk sawit itu ide yang cemerlang? Rasanya tidak. Ini lebih terasa seperti solusi instan yang nggak memikirkan dampak jangka panjang. Kita butuh kebijakan yang nggak cuma memikirkan keuntungan finansial, tapi juga keberlanjutan hidup generasi mendatang. Kalau hutan hilang, apa yang akan kita wariskan ke anak cucu? Lapangan kerja sementara dan uang yang cepat habis, atau bencana alam dan krisis lingkungan yang sulit diperbaiki?
Pada akhirnya, yang kita butuhkan adalah pemimpin yang berpikir jauh ke depan. Kebijakan harus memprioritaskan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan semua orang, bukan hanya segelintir pihak. Kalau hutan kita habis, siapa yang mau bertanggung jawab? Jangan sampai nanti, saat semuanya sudah terlambat, kita cuma bisa menyesal sambil berkata, "Harusnya dulu kita nggak menebang hutan". Untuk sekarang, mari kita kritis dan terus bersuara. Hutan kita terlalu berharga untuk diabaikan.
ADVERTISEMENT