Konten dari Pengguna

Indonesia: No Viral, No Justice

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Januari 2025 16:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2019/04/07/08/56/network-4109223_1280.jpg (ilustrasi jaringan sosial)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2019/04/07/08/56/network-4109223_1280.jpg (ilustrasi jaringan sosial)
ADVERTISEMENT
Ada satu ungkapan yang akhir-akhir ini jadi topik hangat di Indonesia: "No viral, no justice." Kalimat sederhana ini punya makna yang dalam dan mencerminkan realitas pahit dari sistem sosial dan hukum yang kita jalani. Era digital telah mengubah banyak hal, termasuk cara masyarakat memperjuangkan keadilan. Sayangnya, fenomena ini juga memunculkan banyak sisi gelap yang perlu kita renungkan.
ADVERTISEMENT
Di era media sosial, siapa saja bisa menjadi "jurnalis" dan membawa sebuah isu ke ranah publik dengan hanya beberapa ketukan di layar ponsel. Dulu, keadilan sering kali bergantung pada sistem hukum formal yang rumit dan memakan waktu lama. Tapi sekarang, satu video atau unggahan yang menyentuh hati bisa langsung menyulut kemarahan publik. Hasilnya? Tekanan sosial yang masif sering kali membuat pihak berwenang bergerak lebih cepat daripada biasanya.
Kita bisa lihat banyak contoh dari fenomena ini. Ada kasus pelecehan, penganiayaan, hingga korupsi kecil-kecilan yang baru mendapat perhatian setelah menjadi viral. Ketika suara individu tidak cukup didengar, media sosial menjadi alat yang efektif untuk "menggedor" pintu keadilan. Namun, di balik itu semua, ada ironi yang menyakitkan: apakah berarti mereka yang tidak bisa membuat kasusnya viral harus rela menerima ketidakadilan?
ADVERTISEMENT
Media sosial memang punya kekuatan luar biasa. Ia bisa mempercepat penyelesaian kasus, mendorong transparansi, dan memberikan ruang bagi orang-orang yang selama ini terpinggirkan untuk berbicara. Tapi di sisi lain, ada risiko besar ketika kita terlalu bergantung pada "trial by social media." Tidak semua informasi yang viral itu benar, dan terkadang, opini publik yang terbentuk justru berdasarkan emosi daripada fakta.
Contoh yang sering terjadi adalah ketika ada unggahan viral tentang seseorang yang diduga melakukan kejahatan. Dalam hitungan jam, ribuan komentar bermunculan, mencaci dan menghakimi tanpa tahu cerita sebenarnya. Bagaimana kalau orang yang dituduh itu ternyata tidak bersalah? Kehidupannya bisa hancur hanya karena sebuah kesalahpahaman yang terlanjur menyebar luas.
Selain itu, kita juga perlu waspada terhadap "keadilan selektif." Isu yang lebih mudah memancing emosi publik sering kali mendapat perhatian lebih besar dibandingkan kasus-kasus lain yang mungkin lebih serius, tapi kurang "menjual." Di sini, kita melihat bagaimana viralitas bisa menjadi pedang bermata dua.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan mengapa "no viral, no justice" begitu relevan adalah karena sistem hukum kita yang sering dianggap lamban dan tidak responsif. Proses hukum bisa memakan waktu bertahun-tahun, dan dalam banyak kasus, korban harus menghadapi hambatan birokrasi yang melelahkan. Dalam kondisi seperti ini, tidak heran jika banyak orang merasa frustrasi dan memilih media sosial sebagai jalan pintas.
Namun, apakah ini berarti kita harus menyerah pada sistem yang ada? Tentu saja tidak. Justru, fenomena "no viral, no justice" seharusnya menjadi cermin bagi kita semua, termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk introspeksi. Bagaimana caranya agar sistem bisa lebih responsif dan adil tanpa harus menunggu tekanan publik? Ini adalah pertanyaan besar yang butuh jawaban segera.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengguna media sosial, kita juga punya tanggung jawab besar. Sebelum menyebarkan informasi, penting untuk memeriksa fakta terlebih dahulu. Jangan sampai niat baik untuk membantu korban malah berujung pada penghancuran reputasi seseorang yang tidak bersalah. Selain itu, kita juga perlu lebih selektif dalam memberikan perhatian. Jangan hanya fokus pada kasus-kasus yang "viral," tapi juga berikan dukungan untuk isu-isu lain yang mungkin tidak sepopuler itu tapi tetap penting.
Selain itu, edukasi digital juga memegang peranan penting. Kita perlu memahami bagaimana algoritma media sosial bekerja, karena platform ini dirancang untuk memprioritaskan konten yang paling menarik perhatian, bukan yang paling benar atau penting. Dengan pemahaman ini, kita bisa lebih bijak dalam menggunakan media sosial sebagai alat perjuangan keadilan.
ADVERTISEMENT
Fenomena "no viral, no justice" memang mencerminkan banyak masalah dalam masyarakat kita. Tapi di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi pasif dalam menghadapi ketidakadilan. Kita punya kekuatan untuk bersuara, untuk melawan, dan untuk membuat perubahan. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa menggunakan kekuatan ini dengan bijak dan bertanggung jawab.
Di masa depan, semoga kita tidak lagi hidup di dunia di mana keadilan hanya bisa diperoleh jika sebuah kasus menjadi viral. Semoga sistem hukum kita bisa bertransformasi menjadi lebih cepat, transparan, dan adil. Dan semoga kita, sebagai masyarakat, bisa belajar untuk lebih bijaksana dalam memanfaatkan media sosial, sehingga keadilan tidak lagi menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses oleh mereka yang "beruntung". Perjuangan untuk keadilan adalah tanggung jawab kita bersama. Jadi, mari kita terus berjuang, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik dan lebih adil untuk semua.
ADVERTISEMENT