Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kalau Semuanya Koalisi, Lantas Siapa yang Jadi Oposisi?
26 Desember 2024 14:37 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, sistem demokrasi kita punya dua elemen penting: koalisi dan oposisi. Koalisi adalah gabungan partai-partai yang mendukung pemerintah, sedangkan oposisi berfungsi sebagai pihak yang mengawasi dan memberi masukan terhadap kebijakan pemerintah. Tapi sekarang ini ada tren unik di mana hampir semua partai politik memilih bergabung ke koalisi. Ini bikin kita bertanya-tanya, kalau semuanya koalisi, siapa yang akan menjadi oposisi?
ADVERTISEMENT
Dalam demokrasi, oposisi itu punya peran yang nggak kalah penting dari pemerintah. Mereka yang biasanya memberi kritik dan masukan, sekaligus jadi penyeimbang kekuasaan. Tujuannya bukan untuk menjatuhkan, tapi memastikan kebijakan yang diambil pemerintah benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat. Sayangnya, di Indonesia, kritik sering dianggap sebagai ancaman, padahal seharusnya itu jadi bagian dari proses demokrasi yang sehat. Kalau nggak ada oposisi, pemerintah bakal berjalan tanpa kontrol yang cukup, dan ini berpotensi memunculkan kebijakan yang asal-asalan atau bahkan merugikan masyarakat.
Fenomena partai-partai politik yang memilih gabung ke koalisi sering kali dilatarbelakangi oleh kepentingan pragmatis. Dengan bergabung, mereka dapat akses ke sumber daya, kekuasaan, dan jabatan strategis di pemerintahan. Hal ini memang bikin stabilitas politik terjaga, tapi ada risikonya. Salah satunya adalah absennya oposisi yang kuat untuk mengkritisi kebijakan. Tanpa pengawasan, kebijakan pemerintah bisa jadi kurang matang atau hanya menguntungkan segelintir pihak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masyarakat juga dirugikan karena kehilangan pilihan politik yang jelas. Demokrasi itu esensinya adalah keberagaman pandangan. Kalau semua partai ada di satu kubu, rakyat bakal bingung mau mendukung siapa yang benar-benar mewakili aspirasinya. Ini juga bisa bikin masyarakat jadi apatis, merasa suara mereka nggak akan mengubah apa pun.
Di sisi lain, absennya oposisi juga berpotensi menciptakan konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elite. Ketika keputusan politik hanya diambil oleh mereka yang ada di lingkaran kekuasaan, kepentingan rakyat sering kali terabaikan. Ini bisa membawa kita ke situasi di mana demokrasi berubah jadi sekadar formalitas, tanpa adanya kontrol dan keseimbangan yang sebenarnya.
Ketika partai-partai politik lebih memilih berada di koalisi, peran oposisi kadang-kadang diambil alih oleh kelompok-kelompok di luar parlemen. Ini bisa berupa organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, atau bahkan individu-individu yang punya kepedulian tinggi terhadap isu-isu tertentu. Meski mereka nggak punya kekuatan politik formal, mereka tetap bisa menyuarakan kritik dan masukan yang konstruktif. Tapi sayangnya, mereka juga sering menghadapi tekanan yang cukup besar, mulai dari kriminalisasi hingga pembatasan ruang gerak.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu membangun budaya politik yang lebih sehat. Partai politik harus kembali ke prinsip dan ideologi yang jadi landasan awal mereka berdiri. Jangan cuma mengejar kepentingan jangka pendek seperti jabatan atau akses ke kekuasaan. Selain itu, kritik dari pihak lain harus dilihat sebagai masukan yang konstruktif, bukan ancaman. Kalau partai politik punya keberanian untuk tetap menjadi oposisi, itu sebenarnya justru menunjukkan integritas mereka.
Masyarakat juga punya peran besar dalam menjaga keseimbangan ini. Kalau rakyat lebih aktif dan kritis, partai-partai politik akan merasa terdorong untuk lebih responsif terhadap aspirasi publik. Partisipasi masyarakat yang tinggi juga bisa memaksa elite politik untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Demokrasi yang sehat butuh keberagaman suara. Kalau semua partai politik memilih jadi koalisi, demokrasi kita kehilangan elemen pentingnya, yaitu oposisi. Kehadiran oposisi bukan untuk merusak atau menghambat, tapi untuk menjaga agar jalannya pemerintahan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Tanpa oposisi, demokrasi jadi pincang, dan pada akhirnya, rakyatlah yang paling dirugikan. Jadi, penting buat kita semua untuk terus menjaga keberadaan oposisi, baik di dalam parlemen maupun di luar, demi masa depan demokrasi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT