Konten dari Pengguna

Kasus Ikky Kabah Tentang Penghinaan Terhadap Guru: Apakah Bisa Dijerat Pidana?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum, UIN Jakarta
9 Maret 2025 12:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/01/22/09/40/teacher-4784917_1280.jpg (Ilustrasi guru sedang mengajar)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/01/22/09/40/teacher-4784917_1280.jpg (Ilustrasi guru sedang mengajar)
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, banyak perdebatan soal apakah menghina guru bisa berujung pada hukuman penjara. Ada yang bilang, kalau penghinaan itu berdasarkan fakta, seharusnya tidak masalah. Ada juga yang berpendapat bahwa bagaimanapun juga, menghina seseorang apalagi guru adalah tindakan yang tidak bisa diterima. Nah, pertanyaannya, apakah hukum benar-benar bisa menjerat seseorang yang menghina guru? Atau ini hanya perkara etika dan moral belaka?
ADVERTISEMENT
Hubungan antara guru dan murid sebenarnya lebih dari sekadar proses belajar-mengajar di dalam kelas. Dalam filosofi pendidikan, guru adalah sosok yang berperan dalam membentuk karakter dan moral seseorang. Sejak zaman dahulu, guru dihormati sebagai sumber ilmu dan kebijaksanaan, bukan sekadar penyampai materi pelajaran. Jika kita melihat lebih dalam, penghinaan terhadap guru bukan hanya mencerminkan ketidakpuasan pribadi, tetapi juga menandakan menurunnya penghargaan terhadap nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi. Namun, di sisi lain, kebebasan berpendapat juga menjadi hak dasar yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat modern menuntut keterbukaan dalam menyampaikan kritik, termasuk terhadap institusi pendidikan dan para pendidik di dalamnya. Tapi yang perlu diingat, kebebasan berbicara selalu punya batasan, terutama ketika sudah menyangkut kehormatan dan martabat seseorang.
ADVERTISEMENT
Fenomena penghinaan terhadap guru semakin marak, terutama dengan kehadiran media sosial. Dulu, keluhan terhadap guru mungkin hanya terbatas di lingkup obrolan kecil antar teman atau keluarga. Sekarang, dengan satu unggahan di media sosial, pendapat seseorang bisa tersebar luas dalam hitungan detik. Kasus Ikky Kabah menjadi contoh nyata bagaimana seseorang bisa berurusan dengan hukum akibat kontennya di TikTok yang dianggap menghina profesi guru. Banyak yang beranggapan bahwa ia hanya mengungkapkan pendapat, tetapi banyak pula yang merasa ucapannya telah melewati batas kepatutan. Ini menunjukkan bahwa media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi dengan otoritas, termasuk guru. Sekaligus juga membuktikan bahwa kritik yang tidak disampaikan dengan bijak bisa membawa konsekuensi yang serius.
Dari segi hukum, Indonesia memiliki aturan yang cukup jelas mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. KUHP mengatur soal penghinaan dalam berbagai bentuk, mulai dari penghinaan ringan hingga fitnah. Ada juga UU ITE yang lebih spesifik mengatur tentang penghinaan di dunia digital, termasuk yang dilakukan melalui media sosial. Ketika seseorang merasa dirugikan atas ucapan atau tulisan orang lain, ia bisa melaporkan ke pihak berwenang, dan jika terbukti bersalah, pelaku bisa dikenakan sanksi berupa denda atau bahkan hukuman penjara. Dalam kasus penghinaan terhadap guru, proses hukum bisa berjalan apabila ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan, biasanya dari guru yang bersangkutan atau institusi tempatnya mengajar.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau dipikirkan lagi, apakah semua masalah ini harus selalu diselesaikan dengan jalur hukum? Bisa jadi, penyelesaian yang lebih baik adalah lewat pendekatan yang lebih manusiawi. Pendidikan etika digital misalnya, menjadi semakin penting agar orang-orang memahami batas antara kritik dan penghinaan. Kritik yang disampaikan dengan baik lebih mungkin membawa perubahan, dibandingkan dengan hinaan yang justru bisa memperkeruh keadaan. Guru pun tidak luput dari kewajiban untuk terus beradaptasi dengan zaman dan membangun komunikasi yang lebih baik dengan muridnya. Sebab, tak jarang juga kritik terhadap guru muncul dari perasaan murid yang merasa tidak didengarkan atau diperlakukan tidak adil.
Menghormati guru bukan berarti membenarkan semua tindakannya tanpa kritik, tetapi juga bukan berarti kita bisa seenaknya merendahkan mereka hanya karena merasa tidak puas. Jika ingin menyampaikan ketidakpuasan, ada cara yang lebih bijak tanpa harus melukai harga diri seseorang. Di dunia yang semakin terbuka ini, menjaga etika dalam berbicara menjadi semakin penting agar tidak hanya membangun diskusi yang sehat, tetapi juga tetap menjaga nilai-nilai kesopanan yang sudah lama menjadi bagian dari budaya kita.
ADVERTISEMENT