Konten dari Pengguna

Kebebasan Berpendapat di Parlemen: Antara Harapan dan Ancaman

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26 Desember 2024 15:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2014/04/05/14/37/parliament-317085_960_720.jpg (ilustrasi rapat di parlemen)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2014/04/05/14/37/parliament-317085_960_720.jpg (ilustrasi rapat di parlemen)
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan berpolitik di Indonesia, memiliki pendapat yang berbeda adalah hal yang wajar, bahkan bisa dibilang sehat untuk keberagaman perspektif dalam demokrasi. Namun, apa jadinya jika ketidaksepakatan tersebut berujung pada tindakan yang justru mengikis kebebasan berekspresi? Fenomena ini semakin terasa nyata di tengah situasi politik yang semakin dinamis, terutama dalam konteks aktivitas politisi di parlemen Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi, tepatnya dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, realitasnya, ruang kebebasan ini sering kali terhalang oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah tindakan yang dilakukan oleh sesama politisi di parlemen, yang kerap menggunakan mekanisme formal maupun informal untuk membungkam suara-suara yang tidak sejalan.
Ambil contoh beberapa politisi yang secara vokal menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah atau parlemen yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Kritik yang seharusnya menjadi bagian dari mekanisme kontrol dalam demokrasi justru sering kali direspons dengan tindakan seperti pelaporan etik, pemecatan dari komisi strategis, atau bahkan tekanan politik yang mengancam posisi mereka. Situasi ini menciptakan ketakutan di kalangan politisi untuk bersikap kritis, terutama jika mereka berasal dari partai kecil atau oposisi.
ADVERTISEMENT
Ketakutan ini tentu tidak muncul tanpa alasan. Ada banyak cerita tentang anggota parlemen yang harus menghadapi konsekuensi serius hanya karena berani berbicara jujur di ruang rapat. Misalnya, politisi yang mengungkap dugaan korupsi di tubuh parlemen sering kali mendapatkan resistensi dari rekan-rekannya sendiri. Padahal, pengungkapan semacam ini sejatinya berfungsi untuk memperbaiki sistem, bukan untuk menyerang individu secara personal.
Persoalan semakin rumit ketika media sosial menjadi salah satu arena utama perdebatan publik. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang bagi politisi untuk menyampaikan pendapatnya secara langsung kepada rakyat. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi tempat di mana narasi-narasi kritis dari politisi tertentu sering kali diserang oleh buzzer atau kelompok yang memiliki kepentingan tertentu. Serangan ini bisa berupa ujaran kebencian, perundungan digital, atau bahkan upaya melaporkan konten mereka kepada pihak berwenang. Akibatnya, politisi yang berani berbicara kerap menjadi sasaran empuk bagi lawan-lawan politik mereka.
ADVERTISEMENT
Fenomena semacam ini mengajarkan kita bahwa kebebasan berpendapat di parlemen bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Kebebasan ini adalah pondasi dari sistem demokrasi yang sehat. Ketika kebebasan ini direnggut, maka suara-suara kritis yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan akan hilang. Kita akan terjebak dalam situasi di mana hanya ada satu narasi dominan, yang belum tentu benar atau adil bagi semua pihak.
Namun, perlu juga diingat bahwa kebebasan berpendapat tidak berarti bebas tanpa batas. Ada tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut. Pendapat yang disampaikan oleh politisi harus berbasis pada fakta, tidak mengandung unsur fitnah, dan tidak memprovokasi kekerasan. Jika ada kritik yang didasarkan pada data dan argumen yang jelas, maka kritik tersebut seharusnya diterima sebagai bagian dari proses pembelajaran bersama, bukan sebagai ancaman.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, partai politik dan pimpinan parlemen memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ini. Mereka harus mampu membedakan mana kritik yang konstruktif dan mana yang memang bersifat destruktif. Tata tertib parlemen dan mekanisme penegakan etik harus diterapkan secara adil dan tidak tebang pilih. Jika institusi parlemen lebih sering memihak pada kelompok mayoritas, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini akan semakin menurun.
Selain itu, edukasi politik juga memegang peranan penting dalam membangun kesadaran politisi tentang hak dan kewajibannya dalam berdemokrasi. Para politisi perlu memahami bahwa memiliki pendapat yang berbeda bukanlah sebuah dosa. Sebaliknya, perbedaan ini adalah aset yang dapat memperkaya diskusi dan melahirkan solusi-solusi baru bagi berbagai persoalan bangsa. Dengan pemahaman ini, para politisi akan lebih berani dan bijak dalam menyuarakan pendapatnya, tanpa harus takut pada ancaman atau tekanan.
ADVERTISEMENT
Di tengah tantangan ini, ada juga secercah harapan yang muncul dari politisi-politisi muda dan independen. Mereka sering kali lebih berani menyuarakan isu-isu penting tanpa terbelenggu oleh kepentingan partai atau kelompok tertentu. Mereka juga cenderung lebih terbuka terhadap kritik dan dialog, yang pada akhirnya dapat menciptakan dinamika politik yang lebih sehat. Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa masih ada harapan untuk masa depan parlemen Indonesia.
Meskipun demikian, perjuangan ini tentu tidak mudah. Perlu kerja sama dari berbagai elemen masyarakat untuk menjaga agar ruang demokrasi di parlemen tetap terbuka. Akademisi, jurnalis, aktivis, hingga masyarakat umum memiliki peran masing-masing dalam mendukung politisi yang berani bersikap kritis. Selain itu, media massa juga sangat penting dalam mengawal jalannya demokrasi di parlemen. Media harus tetap independen dan berani menyuarakan kebenaran, meskipun menghadapi tekanan dari berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, yang perlu kita sadari adalah bahwa kebebasan berpendapat di parlemen bukan hanya tentang hak politisi, tetapi juga tentang tanggung jawab kolektif untuk menjaga demokrasi tetap hidup. Ketika ada seorang politisi yang dipersekusi karena pendapatnya, maka itu adalah ancaman bagi kita semua. Sebaliknya, ketika kita saling mendukung dalam menyuarakan kebenaran, maka kita sedang membangun fondasi yang kuat untuk masa depan bangsa.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengingat nilai-nilai dasar dari demokrasi dan kebebasan berekspresi. Jangan biarkan ketakutan membungkam suara-suara yang ingin membawa perubahan. Ingatlah bahwa Indonesia yang kuat adalah Indonesia yang mampu menerima perbedaan dengan lapang dada dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan, bukan kelemahan. Dalam kebebasan berpendapat yang sehat, kita menemukan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT