Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kecerdasan Buatan dan Matinya Semangat Belajar
25 April 2025 11:49 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, dunia perkuliahan mengalami perubahan yang sangat signifikan. Salah satu penyebab utamanya adalah kehadiran kecerdasan buatan atau sering kita sebut dengan AI. Di satu sisi, AI membantu mahasiswa menyelesaikan tugas dengan lebih cepat dan efisien. Tapi di sisi lain, perlahan tapi pasti, ia juga menggerus semangat belajar itu sendiri. Bukan karena AI-nya jahat, tapi karena kita terlalu mudah memberi kepercayaan padanya.
ADVERTISEMENT
Saya pribadi sering melihat, bahkan merasakan, bagaimana AI memberi kemudahan. Saat tugas menumpuk, tinggal mengetik satu-dua kalimat, lalu munculah makalah yang cukup rapi. Ketika bingung menulis esai, AI langsung memberi kerangka dan penjelasan. Bahkan untuk membuat slide presentasi, tak butuh waktu lama jika dibantu oleh teknologi ini. Sekilas, semua terasa lebih ringan dan praktis.
Namun, justru di situlah masalahnya. Proses yang seharusnya penuh perjuangan, seperti membaca referensi, menulis dengan berpikir, berdiskusi, bahkan gagal lalu mencoba lagi kini sering kali dilewatkan begitu saja. Mahasiswa jadi kehilangan kesempatan untuk benar-benar belajar. Tugas hanya jadi formalitas, bukan lagi media untuk memahami materi.
Perkuliahan bukan sekadar soal mengumpulkan tugas dan mendapatkan nilai baik. Dunia kampus idealnya menjadi tempat mahasiswa menempa diri belajar berpikir kritis, membentuk pendapat, mengasah rasa ingin tahu, dan tumbuh secara intelektual dan pribadi. Sayangnya, ketika semuanya bisa dikerjakan oleh AI, proses itu bisa hilang begitu saja.
ADVERTISEMENT
Dosen pun mulai merasa kehilangan pegangan. Banyak yang mengeluh karena tulisan mahasiswa terlihat “terlalu sempurna,” namun saat ditanya, isinya tak benar-benar dipahami. Beberapa dosen memilih diam, beberapa mencoba menyesuaikan, tapi banyak juga yang merasa kecewa karena hubungan akademik yang dulu penuh dinamika, kini terasa semakin hambar.
Yang lebih mengkhawatirkan, bukan hanya tugas yang terpengaruh. Rasa percaya diri mahasiswa pun perlahan menurun. Karena terlalu bergantung pada AI, mereka ragu dengan kemampuannya sendiri. Lama-lama, banyak yang berpikir, “Tanpa bantuan teknologi, saya mungkin tak bisa.” Padahal, esensi dari belajar adalah percaya bahwa kemampuan kita bisa berkembang, justru melalui proses yang tidak instan.
AI juga menjauhkan mahasiswa dari kebiasaan membaca. Jika dulu mencari referensi butuh waktu, sekarang cukup minta ringkasan. Jika dulu mengutip harus membaca sumber aslinya, sekarang tinggal tempel kutipan dari sistem. Kegiatan yang dulunya melatih daya analisis dan kepekaan intelektual, kini digantikan oleh satu-dua klik. Akibatnya, kemampuan berpikir mendalam makin jarang diasah.
ADVERTISEMENT
Perlahan, kejujuran akademik pun ikut terancam. Tidak lagi jelas mana karya asli mahasiswa, dan mana hasil copy dari AI. Mahasiswa yang tetap ingin jujur, kadang merasa tidak adil karena harus bersaing dengan tugas-tugas “sempurna” hasil mesin. Situasi ini membuat nilai kehilangan maknanya, dan integritas akademik jadi abu-abu.
Akan tetapi, tentu tidak semua penggunaan AI itu buruk. Ada juga mahasiswa yang memanfaatkan AI dengan bijak: sebagai alat bantu mengecek ejaan, memperbaiki kalimat, atau mencari inspirasi awal. Itu semua sah-sah saja, selama tidak menghilangkan proses belajarnya sendiri. Yang jadi persoalan adalah ketika AI menjadi aktor utama, dan mahasiswa hanya menjadi operator pasif.
Kita tidak bisa menolak perkembangan teknologi. Dunia terus bergerak maju, dan kampus pun harus beradaptasi. Tapi di tengah perubahan itu, kita perlu tetap menjaga nilai-nilai dasar dari pendidikan itu sendiri. Jangan sampai yang tersisa dari proses kuliah hanyalah formalitas, tanpa makna.
ADVERTISEMENT
Belajar memang tidak selalu mudah. Tapi dari proses itulah kita tumbuh. Dari kebingungan, dari rasa ingin tahu, dari upaya memahami yang sulit. Ketika semua itu diserahkan pada AI, kita mungkin bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat, tapi dengan jiwa belajar yang kosong.
AI bisa membantu, tapi tidak bisa menggantikan peran kita sebagai manusia yang berpikir dan merasa. Mahasiswa tetap perlu belajar untuk berpikir sendiri, menulis dengan pemahaman, dan merasakan tantangan intelektual yang sesungguhnya. Karena di situlah esensi dari menjadi seorang pelajar.
Jadi, saat kita memakai AI dalam dunia perkuliahan harus dipahami seberapa sadar kita dalam menggunakannya. Jangan sampai kita mengorbankan proses demi hasil, karena justru dari proses itulah, semangat belajar tumbuh dan hidup.
ADVERTISEMENT