Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Ketika Pria Melawan Wanita dengan Alasan Kesetaraan Gender
26 Januari 2025 14:00 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, ada fenomena yang semakin mencuat di mana pria mulai "melawan" wanita dengan alasan kesetaraan gender. Isu ini sering muncul dalam berbagai situasi, dari obrolan santai hingga diskusi serius di media sosial. Bagi sebagian orang, ini adalah bentuk pembelaan diri pria terhadap kritik yang mereka anggap tidak adil. Namun, bagi yang lain, ini adalah tanda bahwa konsep kesetaraan gender telah disalahartikan. Fenomena ini memiliki sisi pro dan kontra yang menarik untuk dibahas.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, para pria yang mengangkat isu kesetaraan gender sering kali merasa bahwa perjuangan wanita untuk mendapatkan hak yang sama justru menimbulkan ekspektasi ganda. Contohnya, ketika pria tidak membayar makanan saat kencan, ada yang mengatakan, "Katanya mau setara, kenapa saya harus selalu bayar?" Argumen semacam ini didasarkan pada gagasan bahwa jika wanita ingin setara, maka mereka juga harus siap menghadapi tanggung jawab yang selama ini dianggap milik pria. Dalam situasi tertentu, ini memang masuk akal, terutama ketika kedua belah pihak sepakat untuk berbagi beban.
Namun, di sisi lain, ada kritik bahwa argumen ini cenderung digunakan secara selektif, hanya untuk membenarkan tindakan tertentu. Misalnya, saat seorang wanita meminta bantuan mengangkat barang berat, respons yang muncul sering kali adalah, "Kan katanya wanita sekarang kuat, masa nggak bisa sendiri?" Hal semacam ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender diinterpretasikan hanya sebatas membagi beban fisik atau finansial, tanpa mempertimbangkan konteks empati dan kerja sama. Sebagian orang melihat ini sebagai bentuk pasif-agresif yang justru menjauhkan kita dari tujuan utama kesetaraan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus: Pembagian Tagihan Saat Kencan
Salah satu contoh nyata dari fenomena ini bisa dilihat dalam diskusi tentang siapa yang seharusnya membayar tagihan saat kencan. Beberapa pria merasa bahwa membayar tagihan adalah bentuk peran tradisional yang seharusnya tidak lagi relevan di era kesetaraan gender. Seorang pria bernama Arif, misalnya, bercerita bahwa ia pernah mengusulkan untuk membagi tagihan pada kencan pertamanya dengan seorang wanita. Respons wanita tersebut adalah, "Kok nggak gentle sih? Kan biasanya pria yang bayar." Hal ini membuat Arif merasa bingung karena ia mengira bahwa wanita modern mendukung konsep berbagi beban secara adil.
Namun, dari sudut pandang wanita, situasi ini tidak selalu sesederhana yang terlihat. Rani, seorang wanita yang sering menghadiri kencan, mengungkapkan bahwa dia pernah menawarkan untuk membayar bagiannya, tetapi lawan kencannya justru tersinggung. "Pria itu bilang kalau aku terlalu mandiri dan nggak menghargai usahanya," cerita Rani. Ini menunjukkan bahwa baik pria maupun wanita sering kali terjebak dalam ekspektasi sosial yang membingungkan, sehingga sulit menemukan keseimbangan yang benar-benar setara.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus: Peran dalam Rumah Tangga
Contoh lain bisa dilihat dalam pembagian pekerjaan rumah tangga. Dimas, seorang suami yang bekerja penuh waktu, pernah berdebat dengan istrinya, Mira, yang juga bekerja penuh waktu. Mira merasa Dimas tidak cukup membantu di rumah, sementara Dimas berargumen bahwa ia sudah memenuhi tanggung jawab finansial, sehingga pekerjaan rumah adalah tanggung jawab Mira. Ketika Mira menuntut kesetaraan, Dimas merespons dengan mengatakan, "Kan katanya kesetaraan gender. Kalau begitu, aku juga nggak harus bertanggung jawab penuh soal biaya rumah tangga."
Di sisi lain, Mira merasa bahwa argumen ini tidak adil karena pekerjaan rumah tangga sering kali tidak dianggap sebagai "pekerjaan" yang setara dengan pekerjaan di luar rumah. Menurutnya, jika keduanya bekerja penuh waktu, seharusnya tanggung jawab di rumah juga dibagi rata. Kasus ini menggambarkan bagaimana konsep kesetaraan gender sering kali disalahartikan sebagai pembenaran untuk menghindari tanggung jawab tertentu, tanpa mempertimbangkan situasi secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Unsur Hukum dalam Kesetaraan Gender
Dari sudut pandang hukum, kesetaraan gender sebenarnya sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di Indonesia, misalnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan yang sama bagi pria dan wanita dalam dunia kerja, termasuk hak untuk mendapatkan upah yang setara untuk pekerjaan yang sama. Selain itu, Pasal 28D Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juga menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Namun, implementasi hukum ini sering kali menghadapi tantangan besar. Di lapangan, masih banyak diskriminasi yang dialami wanita, seperti kesenjangan upah, pelecehan di tempat kerja, atau kesulitan mendapatkan promosi. Di sisi lain, ada pria yang merasa bahwa hukum lebih berpihak pada wanita dalam beberapa kasus, seperti hak asuh anak atau kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hukum telah mengatur prinsip kesetaraan, praktiknya masih jauh dari ideal.
ADVERTISEMENT
Di tingkat internasional, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984 menjadi landasan penting. Konvensi ini menegaskan bahwa semua negara anggota wajib menghapuskan diskriminasi terhadap wanita di segala bidang, termasuk politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, sekali lagi, keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada bagaimana masyarakat memahami dan menerapkan nilai-nilai kesetaraan dalam kehidupan sehari-hari.
Yang menjadi persoalan utama adalah bahwa diskusi tentang kesetaraan gender sering kali kehilangan esensinya karena berubah menjadi arena kompetisi. Kesetaraan bukan soal siapa yang lebih unggul atau siapa yang lebih dirugikan, melainkan soal menciptakan lingkungan di mana pria dan wanita bisa hidup tanpa batasan stereotip yang menghambat potensi mereka. Ketika kesetaraan digunakan sebagai senjata untuk menyerang satu sama lain, kita justru semakin jauh dari tujuan itu.
ADVERTISEMENT
Penting untuk diingat bahwa kesetaraan gender tidak berarti menghapus kerja sama atau empati. Dalam hubungan antarpribadi, misalnya, prinsip berbagi beban harus berjalan seiring dengan rasa saling menghargai. Jika seorang wanita meminta bantuan, itu bukan berarti dia tidak mendukung kesetaraan. Sebaliknya, itu menunjukkan bahwa dia percaya pada kerja sama. Begitu pula sebaliknya, pria juga perlu merasa bahwa kontribusi mereka dihargai, tanpa perlu selalu memikul beban sendirian.
Dialog adalah kunci untuk mengatasi perbedaan ini. Pria dan wanita perlu berbicara lebih terbuka tentang ekspektasi mereka satu sama lain. Ketika pria merasa bahwa perjuangan kesetaraan gender mengancam posisi mereka, alih-alih menjadi defensif, mereka bisa mencoba memahami bahwa perjuangan ini bukan tentang menghapus peran pria, tetapi tentang menciptakan ruang yang lebih adil untuk semua. Begitu pula wanita, mungkin ada baiknya untuk menyampaikan kritik mereka tanpa menyamaratakan semua pria sebagai bagian dari masalah.
ADVERTISEMENT
Kesetaraan gender adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kerja sama dari semua pihak. Daripada terus-menerus berdebat tentang siapa yang benar atau salah, mari fokus pada bagaimana kita bisa saling mendukung. Dunia ini sudah cukup penuh dengan konflik, jadi mengapa kita tidak mencoba menciptakan harmoni yang lebih baik antara pria dan wanita? Kesetaraan gender bukan soal perang argumen, melainkan soal berjalan bersama menuju masa depan yang lebih inklusif dan adil.