Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Libur Ramadhan 2025: Benarkah Sekolah Diliburkan Sepanjang Bulan?
2 Januari 2025 9:13 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, wacana mengenai peliburan sekolah selama bulan Ramadhan kembali mencuat setelah Menteri Pendidikan menyatakan kemungkinan kebijakan tersebut untuk tahun 2025. Isu ini segera menjadi topik perbincangan hangat di berbagai kalangan, mulai dari orang tua, siswa, hingga para pendidik. Di satu sisi, ada yang menyambutnya sebagai langkah positif untuk menghormati dan memaksimalkan ibadah selama bulan suci. Namun, di sisi lain, ada pula yang mempertanyakan dampaknya terhadap kualitas pendidikan. Lantas, apa sebenarnya alasan di balik wacana ini? Dan apakah benar ini menjadi solusi terbaik?
ADVERTISEMENT
Bulan Ramadhan selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di bulan ini, umat Muslim menjalankan puasa selama sebulan penuh, melibatkan ibadah yang lebih intens seperti salat tarawih, tadarus Al-Qur’an, dan amalan-amalan lain yang mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam konteks pelajar, Ramadhan juga kerap diwarnai dengan berbagai kegiatan keagamaan di sekolah seperti pesantren kilat dan kajian islami. Namun, tidak sedikit siswa yang merasa tantangan menjalani aktivitas belajar-mengajar selama Ramadhan cukup berat, terutama karena harus menahan lapar dan haus sambil tetap fokus mengikuti pelajaran.
Menteri Pendidikan menyebutkan bahwa usulan ini muncul untuk memberikan ruang bagi siswa Muslim agar dapat menjalani ibadah dengan lebih maksimal tanpa terganggu oleh rutinitas akademik yang padat. Ide ini mendapat dukungan dari sebagian masyarakat yang merasa bahwa libur Ramadhan dapat menjadi kesempatan untuk memperkuat nilai-nilai keagamaan di tengah keluarga dan masyarakat. Dengan waktu yang lebih fleksibel, siswa bisa mengikuti berbagai aktivitas spiritual tanpa harus khawatir terlambat mengerjakan tugas sekolah atau merasa kelelahan di kelas.
ADVERTISEMENT
Namun, wacana ini bukan tanpa kritik. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa libur panjang selama Ramadhan dapat mengganggu kalender akademik secara keseluruhan. Sebagai negara dengan sistem pendidikan yang sudah terjadwal ketat, libur satu bulan penuh akan memaksa sekolah untuk menyesuaikan kurikulum. Apakah itu berarti menambah jam belajar setelah Ramadhan, atau memadatkan materi sebelum libur dimulai? Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menimbulkan stres tambahan bagi guru dan siswa.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa libur panjang ini tidak akan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kegiatan yang produktif. Seorang guru misalnya, mengungkapkan keprihatinannya bahwa banyak siswa justru cenderung menghabiskan waktu di depan layar gadget atau bermain dengan teman tanpa memanfaatkan bulan suci untuk memperdalam pemahaman agama. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat tujuan awal dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kualitas ibadah siswa selama Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Namun, bagi sebagian orang tua, libur Ramadhan justru membawa keuntungan tersendiri. Mereka merasa tidak perlu khawatir dengan jadwal anak yang padat saat puasa. Di samping itu, Ramadhan juga dianggap sebagai waktu yang tepat untuk mendidik anak secara langsung di rumah, terutama tentang nilai-nilai spiritual dan budaya Islam yang mungkin tidak sepenuhnya diajarkan di sekolah. Beberapa orang tua juga mengaku merasa lebih tenang karena anak-anak mereka tidak perlu bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat sekolah sambil menahan rasa lapar. Salah satu orang tua dari Bekasi menyebut bahwa libur ini bisa menjadi momen untuk mempererat hubungan keluarga melalui kegiatan bersama seperti tadarus, memasak hidangan buka puasa, dan berbagi dengan tetangga.
Namun, ada juga orang tua yang mengkhawatirkan dampak jangka panjangnya. Seorang Ibu misalnya, merasa bahwa libur panjang berpotensi membuat anak kehilangan ritme belajar. "Kalau terlalu lama libur, anak-anak jadi sulit kembali fokus ke sekolah setelah Ramadhan selesai" ujarnya. Kekhawatiran ini terutama dirasakan oleh mereka yang memiliki anak kelas akhir yang sedang mempersiapkan ujian besar seperti Ujian Nasional.
ADVERTISEMENT
Ada juga orang tua yang lebih tegas menyatakan penolakannya. Seorang ayah yang mengungkapkan bahwa libur selama satu bulan penuh hanya akan memperbesar kesenjangan pendidikan. "Tidak semua keluarga mampu memberikan bimbingan belajar di rumah, apalagi bagi mereka yang harus bekerja sepanjang hari. Anak-anak bisa kehilangan arah tanpa pengawasan yang cukup" ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa tidak semua siswa akan menggunakan waktu luang ini untuk ibadah atau kegiatan produktif, sehingga kebijakan ini dikhawatirkan kontraproduktif.
Bahkan, beberapa orang tua merasa bahwa lebih baik anak tetap masuk sekolah seperti biasa selama Ramadhan, meskipun dengan penyesuaian jadwal. Menurut mereka, rutinitas sekolah membantu anak-anak menjaga kedisiplinan dan konsistensi belajar. "Kalau sekolah libur, anak-anak justru jadi terlalu santai. Dengan masuk sekolah, meski jam belajarnya dikurangi, anak tetap bisa belajar dan menjalankan ibadah dengan baik," kata seorang orang tua murid. Mereka juga menekankan bahwa sekolah bisa memberikan pendidikan agama yang terstruktur selama Ramadhan, sehingga anak mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam di lingkungan yang mendukung.
ADVERTISEMENT
Ada juga pandangan yang lebih moderat, yakni menyarankan kebijakan yang fleksibel. Misalnya, alih-alih meliburkan sekolah sepenuhnya, aktivitas belajar bisa dikurangi intensitasnya. Sekolah dapat memberikan waktu belajar yang lebih singkat atau mengganti kurikulum dengan program-program yang lebih relevan dengan semangat Ramadhan, seperti kajian keislaman, kegiatan sosial, dan pelatihan keterampilan yang mendukung pengembangan karakter siswa. Dengan cara ini, siswa tetap memiliki rutinitas yang bermanfaat tanpa kehilangan esensi bulan suci.
Di sisi lain, jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, pemerintah perlu mempersiapkan langkah-langkah yang matang. Salah satunya adalah memastikan bahwa siswa tetap memiliki akses ke bahan ajar selama libur. Era digital saat ini memungkinkan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh sebagai solusi alternatif. Melalui platform online, guru dapat memberikan tugas atau materi yang dapat diakses siswa kapan saja. Namun, tidak semua daerah di Indonesia memiliki akses yang memadai terhadap teknologi. Ketimpangan infrastruktur ini menjadi tantangan besar yang harus diatasi jika kebijakan ini ingin berhasil.
ADVERTISEMENT
Menariknya, Indonesia bukan satu-satunya negara yang pernah mempertimbangkan peliburan sekolah selama Ramadhan. Di beberapa negara mayoritas Muslim seperti Arab Saudi dan Mesir, sistem pendidikan memang cenderung menyesuaikan jadwal selama bulan puasa. Bahkan di negara-negara ini, aktivitas belajar sering kali berfokus pada pendidikan agama selama Ramadhan. Meski demikian, konteks budaya dan sosial di Indonesia tentu berbeda, sehingga solusi yang diterapkan di negara lain belum tentu cocok diterapkan di sini.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah suara siswa itu sendiri. Sebagai pihak yang paling terdampak oleh kebijakan ini, pendapat mereka patut diperhatikan. Sebagian besar siswa mungkin menyambut antusias ide libur Ramadhan, terutama karena mereka merasa lebih bebas menjalankan ibadah tanpa tekanan akademik. Namun, ada pula siswa yang merasa khawatir kehilangan momentum belajar, terutama bagi mereka yang sedang mempersiapkan ujian penting seperti Ujian Nasional atau tes masuk perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Keputusan terkait peliburan sekolah selama Ramadhan tidak bisa diambil secara gegabah. Diperlukan kajian mendalam yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, orang tua, dan siswa. Kebijakan yang diambil harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan spiritual siswa dan tanggung jawab pendidikan yang tetap harus dijalankan. Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi momentum untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.
Apakah sekolah benar-benar akan diliburkan selama Ramadhan 2025? Sampai saat ini, keputusan final masih dalam proses pembahasan. Namun, wacana ini setidaknya membuka ruang diskusi yang penting tentang bagaimana pendidikan di Indonesia dapat lebih responsif terhadap nilai-nilai budaya dan keagamaan. Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap ide ini, yang jelas adalah bahwa pendidikan harus selalu menjadi alat untuk mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat dalam moral dan spiritual. Ramadhan, dengan segala kekhususannya, mungkin adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan tujuan tersebut.
ADVERTISEMENT