Konten dari Pengguna

Mau Hemat Anggaran tapi Kementerian Malah Dimekarin

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28 Januari 2025 15:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/05/14/09/28/jakarta-5170600_1280.jpg (Ilustrasi kota jakarta)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/05/14/09/28/jakarta-5170600_1280.jpg (Ilustrasi kota jakarta)
ADVERTISEMENT
Indonesia selalu punya cerita unik dalam dunia politik dan pemerintahan. Salah satu isu yang belakangan ramai dibicarakan adalah soal rencana efisiensi anggaran yang, ironisnya, malah bertabrakan dengan kebijakan pemekaran kementerian. Kalau kita pikir-pikir, ini ibarat seseorang yang berkomitmen untuk diet ketat, tapi tiap malam masih nongkrong di warung makan sambil pesan ekstra nasi. Kontradiktif? Banget!
ADVERTISEMENT
Mari kita bedah masalah ini lebih dalam. Jadi, pemerintah sering kali mengumbar wacana penghematan anggaran. Ini tentu masuk akal, mengingat kondisi ekonomi global yang tidak stabil, ancaman resesi, hingga tekanan fiskal dalam negeri. Narasi ini juga diiringi dengan imbauan kepada rakyat untuk "lebih bijak" dalam pengeluaran. Tapi di sisi lain, justru muncul berita soal pemekaran kementerian atau pembentukan badan-badan baru. Pertanyaannya: kalau benar mau hemat, kenapa malah nambah "organ tubuh" yang jelas-jelas butuh biaya besar untuk beroperasi?
Setiap kali ada kementerian baru atau badan pemerintah yang dibentuk, konsekuensinya jelas: tambahan beban anggaran. Mulai dari biaya gedung, operasional, hingga gaji pegawai. Belum lagi tunjangan, fasilitas, kendaraan dinas, dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung, jumlahnya pasti fantastis. Dan ini belum bicara soal pengadaan barang atau jasa yang sering jadi celah bagi praktik korupsi.
ADVERTISEMENT
Ketika sebuah kementerian baru didirikan, otomatis ada kebutuhan untuk menyusun struktur organisasi. Posisi-posisi baru harus diisi, lengkap dengan perangkat pendukungnya. Selain itu, kementerian ini juga perlu menjalankan program-program kerja yang tentu saja membutuhkan dana. Apakah efisiensi masih relevan di sini? Rasanya tidak.
Kalau ditanya, alasan pemerintah biasanya sederhana: efisiensi tugas dan fungsi. Namun, bukankah lebih bijak jika fungsi-fungsi tersebut diintegrasikan ke kementerian yang sudah ada? Artinya, daripada membuat "rumah" baru, kenapa tidak menata ulang rumah yang lama? Sayangnya, logika ini sering kali tenggelam oleh ego sektoral dan kepentingan politik.
Tidak bisa dipungkiri, pemekaran kementerian sering kali dikaitkan dengan bagi-bagi kursi. Dalam konteks politik Indonesia, hal ini menjadi semacam "tradisi" yang sulit dihindari. Kementerian baru biasanya muncul di tengah kebutuhan untuk mengakomodasi koalisi politik atau memperkuat dukungan dari partai-partai tertentu. Padahal, esensi keberadaan sebuah kementerian seharusnya adalah untuk melayani rakyat, bukan sebagai alat tawar-menawar politik.
ADVERTISEMENT
Lucunya, setiap kali ada kritik soal ini, pemerintah selalu punya alasan "rasional" untuk membela diri. Ada yang bilang, pemekaran ini bertujuan untuk mempercepat pelayanan publik. Ada juga yang berargumen, ini merupakan bentuk adaptasi terhadap tantangan zaman. Tapi, mari jujur saja, rakyat di bawah jarang melihat dampak langsung dari semua ini. Yang lebih sering terasa adalah beban pajak yang makin berat atau anggaran subsidi yang terus menyusut demi menopang "rumah baru" tadi.
Narasi efisiensi anggaran sebenarnya sudah lama digaungkan. Namun, praktiknya sering kali berbanding terbalik. Contoh sederhana adalah alokasi belanja pemerintah yang masih banyak mengutamakan hal-hal seremonial daripada substansial. Perjalanan dinas yang mahal, pengadaan barang yang tidak perlu, hingga program-program yang terkesan sekadar formalitas masih jadi bagian dari realitas.
ADVERTISEMENT
Dengan pemekaran kementerian, wacana efisiensi justru semakin kehilangan relevansinya. Bukannya memperkecil belanja, kita malah membuka keran pengeluaran baru. Tentu, argumen bahwa kementerian baru akan menciptakan lapangan kerja bisa diajukan. Namun, apakah ini cara yang paling efektif? Bukankah anggaran yang sama bisa digunakan untuk memperkuat sektor-sektor yang langsung bersentuhan dengan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur?
Tentu saja, tidak semua kebijakan pemerintah itu buruk. Ada niat baik di balik setiap keputusan, termasuk soal pemekaran kementerian. Tapi, niat baik saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah konsistensi antara apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan. Kalau pemerintah serius ingin menghemat anggaran, langkah pertama adalah berhenti membuat kebijakan yang justru menambah beban fiskal.
Selain itu, transparansi juga menjadi kunci. Rakyat punya hak untuk tahu, ke mana saja uang pajak mereka digunakan. Kalau memang pemekaran kementerian dianggap perlu, maka pemerintah harus bisa menjelaskan secara rinci manfaatnya. Dan yang lebih penting, manfaat tersebut harus bisa dirasakan langsung oleh masyarakat, bukan sekadar angka-angka di atas kertas.
ADVERTISEMENT
Nah, kritik soal ini biasanya langsung diserang dengan label "anak Abah" oleh pendukung pemerintah. Seolah-olah, siapa pun yang berani mempertanyakan kebijakan dianggap punya agenda politik tertentu. Padahal, kritik itu hal yang sehat, bukan soal pro atau kontra pada tokoh tertentu. Rakyat punya hak untuk menuntut pemerintah lebih transparan dan efisien, tanpa harus dicap mendukung kubu tertentu.
Sebagai penutup, mari kita kembali ke analogi diet tadi. Jika benar-benar ingin diet, maka komitmen adalah segalanya. Tidak ada gunanya berteriak soal penghematan, kalau praktiknya justru mengarah ke pemborosan. Karena pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung "biaya" dari inkonsistensi ini. Jadi, pemerintah, tolong lebih bijak lagi ya!