Konten dari Pengguna

Mengapa Kementerian Hukum, HAM, dan Imigrasi Dipisah di Era Prabowo?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1 Februari 2025 18:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2018/02/27/06/30/skyscrapers-3184798_1280.jpg (Ilustrasi gedung pencakar langit)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2018/02/27/06/30/skyscrapers-3184798_1280.jpg (Ilustrasi gedung pencakar langit)
ADVERTISEMENT
Ketika Prabowo dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, salah satu keputusan yang menarik perhatian adalah pemisahan Kementerian Hukum, Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kementerian Imigrasi. Langkah ini mengundang berbagai pertanyaan dan spekulasi. Apakah ini benar-benar solusi yang dibutuhkan atau sekadar nafsu politik?
ADVERTISEMENT
Beban kerja yang besar menjadi salah satu alasan utama pemisahan ini. Selama ini, Kementerian Hukum dan HAM mengurusi banyak hal, mulai dari peraturan perundang-undangan, kondisi lapas yang penuh sesak, hingga visa dan deportasi WNA. Dengan beban sebesar itu, pemisahan dianggap sebagai langkah agar setiap sektor dapat bekerja lebih fokus dan efisien. Kementerian Hukum bisa lebih terarah dalam reformasi regulasi, Kementerian HAM bisa serius menangani hak asasi manusia tanpa terdistraksi urusan lain, sementara Kementerian Imigrasi dapat lebih lincah menghadapi tantangan migrasi global yang semakin kompleks.
Keimigrasian tidak hanya berkaitan dengan hukum, tetapi juga dengan ekonomi, sosial, dan keamanan nasional. Mobilitas manusia yang semakin tinggi membuat kontrol terhadap arus masuk dan keluar menjadi sangat penting. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia sudah lebih dulu menerapkan pemisahan ini agar lebih efektif dalam menangani tenaga kerja asing ilegal, arus pengungsi, dan penyalahgunaan visa. Indonesia tampaknya ingin mengikuti model tersebut agar lebih sigap menghadapi tantangan global.
ADVERTISEMENT
Isu HAM juga menjadi alasan lain di balik keputusan ini. Selama ini, HAM sering dianggap sebagai bagian pelengkap dalam Kemenkumham, padahal permasalahan hak asasi manusia di Indonesia sering menjadi sorotan dunia. Dengan membentuk Kementerian HAM yang berdiri sendiri, Indonesia bisa menunjukkan komitmen yang lebih serius dalam menangani isu HAM, baik dalam advokasi, perlindungan, maupun penegakannya. Namun, ada juga yang skeptis dan menganggap langkah ini hanya strategi politik untuk meredam kritik internasional. Tanpa kebijakan yang konkret, kementerian baru pun belum tentu membawa perubahan.
Pemisahan kementerian ini juga memiliki dimensi politik yang kuat. Setiap restrukturisasi kabinet selalu mengandung unsur kepentingan, termasuk pembagian kekuasaan di antara koalisi. Membagi kementerian dapat menjadi cara untuk mengakomodasi lebih banyak tokoh politik. Namun, di sisi lain, langkah ini memang masuk akal dari segi fungsional. Jika dijalankan dengan baik, pemisahan ini bisa menghasilkan kementerian yang lebih profesional, fokus, dan efektif.
ADVERTISEMENT
Namun, sejarah menunjukkan bahwa reformasi birokrasi bukanlah hal yang mudah. Pemisahan ini hanya akan berhasil jika diiringi dengan eksekusi yang jelas, kebijakan yang solid, serta sumber daya manusia yang kompeten. Tantangan terbesar adalah memastikan sinergi di antara kementerian ini tetap terjaga. Jangan sampai pemisahan justru menyebabkan koordinasi menjadi semakin sulit. Jika itu terjadi, pemisahan ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintahan Prabowo.
Apakah langkah ini akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya, hanya waktu yang bisa menjawab. Harapan masyarakat tetap sama: pemerintahan yang lebih efektif, kebijakan yang lebih baik, dan pelayanan yang lebih optimal. Jika itu tercapai, maka pemisahan ini bukan hanya sekadar nafsu politik, melainkan reformasi yang benar-benar dibutuhkan.
ADVERTISEMENT