Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Mudik: Antara Nostalgia, Pengorbanan, dan Arti Sebuah Kepulangan
1 April 2025 8:50 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mudik bukan hanya sekadar ritual tahunan atau fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Lebih dari itu, mudik adalah perjalanan yang penuh emosi, sebuah kisah tentang kerinduan yang mendalam dan pengorbanan yang sering kali tidak terlihat. Di balik riuhnya stasiun, kemacetan parah, dan perjuangan mendapatkan tiket, ada sejuta cerita tentang betapa berharganya pulang ke rumah.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, mudik menjadi simbol dari hubungan erat antara individu dengan akar keluarganya. Tidak peduli seberapa jauh seseorang telah melangkah, ada dorongan yang begitu kuat untuk kembali, meskipun hanya dalam waktu singkat. Mereka yang telah lama merantau rela menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari, demi bisa berkumpul bersama orang-orang tercinta. Fenomena ini begitu melekat dalam budaya kita, sehingga rasanya sulit membayangkan Lebaran tanpa hiruk-pikuk arus mudik.
Namun, jika kita melihat lebih luas, apakah dorongan untuk pulang ini hanya ada di Indonesia? Ternyata tidak. Di banyak negara, ada tradisi yang mirip dengan mudik, meskipun dalam bentuk dan alasan yang berbeda. Di Tiongkok, misalnya, jutaan orang meninggalkan kota-kota besar saat Tahun Baru Imlek dalam apa yang dikenal sebagai "Chunyun". Dalam periode ini, sistem transportasi mereka diuji dengan kepadatan luar biasa, mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia menjelang Idulfitri. Bagi mereka, pulang saat Tahun Baru Imlek bukan sekadar perayaan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap leluhur dan keluarga.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat, ada satu hari dalam setahun yang membuat hampir semua orang melakukan perjalanan kembali ke rumah: Thanksgiving. Pada hari ini, masyarakat Amerika dari berbagai latar belakang berusaha untuk berkumpul bersama keluarga, menikmati hidangan khas, dan mengenang kebersamaan. Meskipun tidak terkait dengan aspek spiritual seperti Idulfitri atau Tahun Baru Imlek, esensi dari Thanksgiving tetaplah sama sebuah momen di mana keluarga menjadi pusat segalanya.
Di India, tradisi mudik terjadi saat perayaan Diwali. Festival ini tidak hanya menandai kemenangan cahaya atas kegelapan, tetapi juga menjadi saat di mana banyak orang kembali ke desa atau kota asal mereka. Sama seperti di Indonesia, perjalanan ini bukan hanya tentang berkumpul dengan keluarga, tetapi juga membawa berkah dan rezeki ke kampung halaman. Banyak perantau yang kembali dengan membawa hadiah atau uang untuk orang tua mereka, sebuah bentuk rasa syukur dan penghormatan yang mirip dengan tradisi memberi "angpao" di Tiongkok atau "THR" di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lalu, mengapa manusia memiliki dorongan yang begitu kuat untuk pulang? Jawabannya mungkin terletak pada naluri dasar manusia untuk selalu mencari kenyamanan dan akar identitasnya. Tidak peduli seberapa jauh seseorang telah pergi, ada rasa aman dan damai yang hanya bisa ditemukan di tempat yang ia sebut "rumah". Rumah bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga kumpulan kenangan, suara tawa masa kecil, aroma masakan ibu, dan kehangatan yang sulit didapatkan di tempat lain.
Namun, mudik juga memiliki sisi lain yang sering kali jarang dibicarakan—pengorbanan. Tidak semua orang bisa mudik dengan mudah. Bagi sebagian orang, pulang ke rumah berarti harus merogoh kocek dalam-dalam, mengambil cuti kerja yang sulit, atau bahkan menghadapi perjalanan yang penuh risiko. Tidak jarang, ada yang harus berdesakan di bus ekonomi, rela duduk di lantai kereta, atau bahkan berjalan kaki karena kehabisan tiket. Tetapi, semua itu dilakukan dengan satu tujuan: bisa kembali dan merasakan kebersamaan dengan keluarga, meskipun hanya untuk sementara.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan teknologi, ada perubahan besar dalam cara kita memandang mudik. Kini, komunikasi jarak jauh semakin mudah. Video call, media sosial, dan berbagai platform digital memungkinkan kita untuk tetap terhubung dengan keluarga meskipun berada di belahan dunia yang berbeda. Namun, bisakah teknologi menggantikan makna sejati dari kepulangan? Rasanya tidak. Karena bagaimana pun juga, pelukan ibu, suara riuh adik-adik yang berlarian di rumah, dan aroma masakan khas yang hanya bisa ditemukan di dapur keluarga, adalah hal-hal yang tidak bisa dikirim lewat layar.
Di masa depan, mungkin kita akan melihat perubahan dalam pola mudik. Mungkin ada lebih sedikit orang yang melakukan perjalanan panjang karena pekerjaan semakin fleksibel atau karena kondisi ekonomi yang berubah. Namun, satu hal yang pasti, keinginan untuk kembali ke rumah akan selalu ada. Selama manusia masih memiliki keluarga dan kenangan yang ingin mereka ulang, tradisi mudik dengan segala bentuknya akan tetap bertahan.
ADVERTISEMENT
Mudik mengingatkan kita bahwa seberapa jauh pun kita melangkah, ada satu tempat yang selalu bisa kita sebut "pulang". Dan selama masih ada rumah yang menunggu, selama masih ada orang-orang yang menyambut dengan tangan terbuka, maka setiap perjalanan kembali akan selalu berarti.