Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Nebis In Idem: Prinsip Keadilan atau Hambatan bagi Penegakan Hukum?
23 Maret 2025 13:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam dunia hukum, ada satu prinsip yang sering disebut sebagai fondasi keadilan, tetapi di sisi lain juga menjadi bahan perdebatan panjang, yaitu prinsip nebis in idem. Istilah ini berasal dari bahasa Latin yang kurang lebih berarti "tidak boleh diadili dua kali atas perkara yang sama." Bagi sebagian orang, ini adalah tameng perlindungan terhadap ketidakadilan sistem hukum yang berpotensi sewenang-wenang. Namun, bagi yang lain, ini bisa menjadi penghalang bagi kebenaran dan keadilan yang lebih luas. Jadi, sebetulnya nebis in idem itu berkah atau bumerang bagi penegakan hukum?
ADVERTISEMENT
Jika kita menempatkan diri sebagai seorang individu yang telah melalui proses hukum yang panjang, melelahkan, dan penuh tekanan, tentu kita ingin ada jaminan bahwa setelah semua itu berakhir, kita tidak akan dipaksa mengulanginya lagi. Itulah salah satu alasan mengapa prinsip ini ada. Bayangkan seseorang sudah diadili dan diputus bebas dalam suatu kasus pidana. Jika prinsip nebis in idem tidak ada, maka ada kemungkinan orang tersebut diadili kembali untuk perkara yang sama, meskipun pengadilan sebelumnya sudah memutuskan bahwa dia tidak bersalah. Ini berarti sistem hukum bisa terus-menerus "mengincar" seseorang hingga akhirnya mendapat putusan yang mereka inginkan. Kalau begitu, di mana letak kepastian hukum dan keadilan bagi individu?
Namun, di sisi lain, ada juga kasus di mana prinsip ini justru menjadi penghalang bagi pencapaian keadilan. Misalnya, ada seseorang yang sebenarnya bersalah, tetapi karena kurangnya bukti saat persidangan pertama, ia dinyatakan tidak bersalah dan bebas dari hukuman. Beberapa tahun kemudian, muncul bukti baru yang sangat kuat, namun karena prinsip nebis in idem, hukum tidak bisa menyentuhnya lagi. Dalam kondisi ini, kita mulai mempertanyakan, apakah perlindungan terhadap individu lebih penting daripada pencarian keadilan yang sesungguhnya?
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, kita bisa melihat kasus pembunuhan O.J. Simpson di Amerika Serikat. Meskipun ini terjadi di negara yang menerapkan prinsip double jeopardy, konsepnya mirip dengan nebis in idem yang ada di berbagai sistem hukum lainnya. Simpson, seorang mantan pemain American football, diadili atas tuduhan membunuh mantan istrinya, Nicole Brown Simpson, dan temannya, Ronald Goldman. Setelah proses pengadilan yang panjang dan penuh sensasi media, Simpson dinyatakan tidak bersalah dalam kasus pidana. Namun, beberapa tahun kemudian, dalam persidangan perdata, dia dinyatakan bertanggung jawab atas kematian kedua korban dan harus membayar ganti rugi besar kepada keluarga korban. Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah putusan pertama benar-benar adil? Apakah sistem hukum harus memberi kesempatan kedua untuk meninjau ulang suatu kasus, terutama jika bukti baru yang kuat muncul?
ADVERTISEMENT
Di berbagai negara, penerapan nebis in idem bisa berbeda-beda. Ada yang menerapkannya secara kaku, ada juga yang memberikan pengecualian dalam kondisi tertentu. Di Indonesia, prinsip ini diatur dalam KUHAP, di mana seseorang tidak boleh diadili lagi jika sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, ada celah untuk melakukan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali (PK), yang bisa membuka kembali suatu kasus jika ditemukan bukti baru. Dengan kata lain, Indonesia menerapkan prinsip nebis in idem dengan sedikit fleksibilitas.
Jika ditelaah lebih dalam, nebis in idem berakar pada dua nilai utama dalam hukum: kepastian hukum dan keadilan substantif. Di satu sisi, prinsip ini menjamin bahwa sistem hukum tidak menjadi alat bagi kekuasaan untuk terus-menerus mengadili seseorang tanpa batas. Namun, di sisi lain, ia juga bisa menjadi rintangan ketika ada kebutuhan untuk meninjau ulang putusan demi mencapai keadilan yang sejati.
ADVERTISEMENT
Apakah prinsip nebis in idem masih relevan diterapkan seperti sekarang, atau perlu direformasi agar lebih fleksibel? Salah satu pendekatan yang bisa dipertimbangkan adalah memberikan ruang bagi kasus-kasus tertentu untuk bisa ditinjau ulang, terutama jika ada bukti baru yang signifikan. Namun, hal ini tentu harus diimbangi dengan mekanisme kontrol yang ketat agar tidak disalahgunakan. Jangan sampai perubahan aturan justru membuka celah bagi aparat hukum untuk mempermainkan proses pengadilan dan menghidupkan kembali kasus yang seharusnya sudah selesai hanya demi kepentingan tertentu.
Nebis in idem adalah prinsip hukum yang penting untuk melindungi individu dari ketidakpastian hukum dan potensi penyalahgunaan wewenang. Namun, bukan berarti prinsip ini harus diterapkan secara kaku tanpa pengecualian. Dalam beberapa kasus, mungkin memang perlu ada mekanisme yang memungkinkan suatu perkara dibuka kembali jika ditemukan bukti baru yang benar-benar kredibel.
ADVERTISEMENT
Sistem hukum yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan kepastian hukum dengan keadilan substantif. Jika hukum hanya terpaku pada aturan prosedural tanpa memperhatikan substansi keadilan, maka ia bisa kehilangan maknanya sebagai alat untuk mencapai keadilan sejati. Sebaliknya, jika hukum terlalu fleksibel hingga mudah diubah-ubah, maka kepastian hukum akan runtuh dan masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap sistem hukum itu sendiri. Jadi, apakah nebis in idem harus dipertahankan atau diubah? Jawabannya tidak sekadar iya atau tidak saja. Yang jelas, prinsip ini tetap diperlukan, tetapi dengan ruang adaptasi yang memungkinkan hukum untuk benar-benar berpihak pada keadilan yang sesungguhnya.