Konten dari Pengguna

Nunggak Bayar Utang Bisa Masuk Ke Ranah Pidana?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9 Februari 2025 15:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/02/21/11/44/money-4867332_1280.jpg (Ilustrasi uang koin)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/02/21/11/44/money-4867332_1280.jpg (Ilustrasi uang koin)
ADVERTISEMENT
Pernah dengar cerita seseorang yang berutang tapi kemudian malah berakhir di meja hijau dalam kasus pidana? Padahal, kalau kita melihat hukum yang berlaku, gagal bayar utang itu seharusnya ranah perdata. Lalu, kenapa ada yang bisa berujung dipidana? Apakah ini berarti semua orang yang tidak mampu melunasi utangnya bisa masuk penjara?
ADVERTISEMENT
Secara hukum, ketika seseorang atau sebuah perusahaan berutang kepada pihak lain dan gagal membayar, itu masuk ke dalam ranah perdata. Artinya, penyelesaian utang-piutang lebih bersifat antara pihak-pihak yang berkepentingan tanpa melibatkan unsur pidana. Debitur yang gagal bayar biasanya menghadapi gugatan perdata di pengadilan, yang ujungnya bisa berupa penyitaan aset atau perintah pembayaran sesuai ketentuan yang berlaku. Jika seseorang meminjam uang dari teman, bank, atau lembaga keuangan lainnya, lalu karena satu dan lain hal tidak bisa membayar, mereka bisa menggugatnya di pengadilan perdata. Biasanya akan ada putusan untuk melunasi utang tersebut dalam jangka waktu tertentu atau dengan cara tertentu. Tidak ada penjara untuk kasus semacam ini. Itulah kenapa banyak kasus gagal bayar utang, baik itu kartu kredit, cicilan kendaraan, atau pinjaman online, tetap berada di ranah perdata.
ADVERTISEMENT
Yang menarik adalah ketika ada unsur niat buruk sejak awal, kasusnya bisa berubah menjadi ranah pidana. Gagal bayar utang itu sendiri memang tidak membuat seseorang otomatis menjadi tersangka, tetapi jika sejak awal ada itikad untuk menipu atau melakukan kecurangan, baru bisa dikenakan pasal pidana. Misalnya, seseorang mengajukan pinjaman ke bank menggunakan identitas palsu. Atau ada yang sengaja meminjam uang dalam jumlah besar dengan janji akan mengembalikan, padahal sejak awal sudah berniat untuk tidak membayar dan malah menyembunyikan asetnya. Itu sudah masuk ke ranah penipuan. Dalam kasus seperti ini, debitur bukan hanya tidak membayar utang, tapi juga menyesatkan kreditur dengan informasi palsu atau manipulasi. Ini yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP, seperti Pasal 378 tentang penipuan atau Pasal 372 tentang penggelapan.
ADVERTISEMENT
Kasus semacam ini sering terjadi di dunia bisnis. Misalnya, ada pengusaha yang meminjam uang dengan janji proyek besar, tapi ternyata proyek itu fiktif. Atau ada yang sengaja mengalihkan asetnya ke nama pihak lain agar saat ditagih utang, seolah-olah dia tidak memiliki kemampuan untuk membayar. Kalau sudah begini, ini bukan lagi sekadar gagal bayar, tapi sudah mengarah ke kejahatan.
Lalu, pertanyaannya, bagaimana membedakan antara seseorang yang benar-benar tidak mampu membayar dengan yang memang berniat menipu? Ini yang sering menjadi perdebatan. Tidak semua kasus bisa langsung dikategorikan sebagai pidana hanya karena seseorang tidak membayar utangnya. Harus ada unsur kesengajaan, niat buruk, atau perbuatan melawan hukum yang jelas. Makanya, dalam banyak kasus, hakim akan melihat apakah ada unsur rekayasa dalam perolehan utang tersebut. Jika seseorang mengambil pinjaman bank dengan harapan bisnisnya berkembang, tetapi ternyata usahanya bangkrut dan dia benar-benar tidak mampu membayar, itu tetap ranah perdata. Tapi kalau sejak awal dia sengaja membuat laporan keuangan palsu agar pinjamannya disetujui, itu bisa berujung pada kasus pidana.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ada juga kasus di mana kreditur justru menyalahgunakan hukum pidana untuk menekan debitur. Ini sering terjadi dalam kasus pinjaman online atau fintech ilegal yang mengancam peminjam dengan laporan pidana hanya karena gagal bayar. Padahal, kalau tidak ada unsur penipuan, itu tetap merupakan kasus perdata. Sayangnya, masih banyak yang tidak paham bedanya perdata dan pidana dalam urusan utang-piutang ini. Ada yang takut dipenjara hanya karena belum bisa membayar cicilan, padahal seharusnya mereka hanya menghadapi gugatan perdata. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada yang dipaksa membuat laporan kehilangan agar seolah-olah terjadi tindak pidana, padahal itu hanya permainan kreditur agar bisa lebih menekan debitur.
Gagal bayar utang bukan termasuk kejahatan, selama tidak ada unsur penipuan atau itikad buruk sejak awal. Ini adalah ranah perdata yang penyelesaiannya lebih ke arah gugatan hukum atau penyitaan aset, bukan penjara. Tapi jika seseorang sejak awal sudah berniat menipu, misalnya dengan identitas palsu, menyembunyikan aset, atau melakukan manipulasi data, maka itu bisa berujung ke pidana. Yang perlu diingat, baik debitur maupun kreditur harus memahami posisi hukumnya dengan benar. Debitur jangan merasa bisa lari begitu saja tanpa konsekuensi, tapi di sisi lain, kreditur juga tidak boleh sembarangan menakut-nakuti dengan hukum pidana untuk menekan peminjam. Pahami batasan hukum agar tidak terjebak dalam permainan yang tidak adil. Hukum dibuat untuk melindungi kedua belah pihak, bukan untuk menyudutkan salah satu. Jika semua orang memahami prinsip ini, maka tidak akan ada lagi kasus-kasus yang seharusnya perdata tapi malah dipaksakan menjadi pidana hanya demi kepentingan tertentu.
ADVERTISEMENT