Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Palestina Benar-Benar Merdeka atau Hanya Permainan Politik Amerika?
2 Februari 2025 15:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap kali ada kabar tentang Palestina, ada dua reaksi yang muncul: harapan dan skeptisisme. Harapan datang dari mereka yang melihat secercah cahaya bahwa Palestina akhirnya bisa menjadi negara yang benar-benar merdeka. Skeptisisme datang dari mereka yang merasa semua ini hanya permainan politik, terutama dari Amerika Serikat yang sering disebut-sebut sebagai dalang dari banyak dinamika geopolitik di Timur Tengah. Jadi, benarkah Palestina sedang menuju kemerdekaan sejati, atau ini hanya ilusi yang diatur oleh kepentingan besar?
ADVERTISEMENT
Setiap kali ada perundingan atau resolusi baru yang beredar di PBB, selalu ada narasi bahwa Palestina semakin dekat dengan kemerdekaan. Tapi kalau kita lihat ke belakang, ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi. Sejak perjanjian Oslo tahun 1993, Palestina seolah diberi harapan bahwa mereka akan segera memiliki kedaulatan penuh. Tapi lebih dari 30 tahun berlalu, situasinya masih jauh dari kata ideal. Amerika Serikat, sebagai negara dengan pengaruh terbesar di dunia, selalu punya posisi yang unik dalam konflik Israel-Palestina. Di satu sisi, mereka mengklaim ingin menciptakan perdamaian dan mendukung solusi dua negara. Tapi di sisi lain, mereka terus menjadi sekutu utama Israel, mendukungnya secara militer, ekonomi, dan diplomatik. Ini yang membuat banyak orang bertanya: kalau Amerika benar-benar ingin Palestina merdeka, kenapa mereka masih memberikan bantuan besar-besaran ke Israel?
ADVERTISEMENT
Menjelang Pemilu 2024, Donald Trump kembali mengangkat isu Palestina dalam kampanyenya. Ia berjanji bahwa jika terpilih, dirinya akan memastikan Palestina mendapatkan kemerdekaan. Ini bukan pertama kalinya Trump menggunakan isu ini sebagai alat kampanye. Sebelumnya, saat masih menjabat, ia justru lebih banyak berpihak ke Israel dengan memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem dan menekan Palestina lewat pemotongan bantuan. Jadi, apakah janji ini benar-benar tulus atau hanya sekadar taktik untuk mendulang suara dari komunitas Muslim dan simpatisan Palestina di AS serta dunia Arab? Jika melihat rekam jejaknya, sulit untuk tidak skeptis. Trump dikenal sebagai sosok yang pragmatis, lebih mementingkan keuntungan politik dan ekonomi dibandingkan idealisme. Jika janji kemerdekaan Palestina hanya sekadar alat untuk menarik dukungan tanpa niat realisasi, maka ini hanya pengulangan dari skenario yang sudah sering terjadi. Palestina dijadikan alat politik tanpa ada perubahan nyata di lapangan.
ADVERTISEMENT
Misalnya Palestina benar-benar mendapatkan status sebagai negara merdeka, pertanyaannya adalah: merdeka dalam bentuk apa? Apakah Palestina akan punya kendali penuh atas wilayahnya? Apakah mereka bisa membuat kebijakan sendiri tanpa campur tangan dari pihak luar, termasuk Israel dan Amerika? Atau jangan-jangan kemerdekaan ini hanya di atas kertas, sementara di lapangan mereka tetap dalam kondisi yang sama seperti sekarang? Lihat saja Gaza dan Tepi Barat. Meskipun ada pemerintahan Palestina, faktanya mereka masih berada dalam bayang-bayang Israel. Blokade di Gaza, pemukiman ilegal di Tepi Barat, hingga kontrol penuh Israel atas berbagai aspek kehidupan warga Palestina menunjukkan bahwa meskipun status negara diberikan, Palestina mungkin tetap dalam cengkeraman sistem yang lebih besar. Dengan kata lain, kemerdekaan yang diberikan bisa jadi tidak lebih dari formalitas untuk meredakan tekanan internasional.
ADVERTISEMENT
Kalau mau jujur, Amerika tidak akan pernah melakukan sesuatu tanpa kepentingan. Mereka selalu bermain dalam konteks geopolitik yang lebih luas. Isu Palestina sering kali hanya menjadi alat untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara Arab tanpa benar-benar mengorbankan hubungan dengan Israel. Jika ada tekanan internasional, mereka akan pura-pura menjadi mediator yang netral, padahal faktanya mereka masih berpihak ke Israel. Lalu, kenapa mereka terlihat ingin mendukung Palestina? Bisa jadi ini hanyalah strategi untuk menjaga citra mereka di mata dunia, terutama setelah berbagai kebijakan luar negeri mereka banyak dikritik. Dengan memberikan sedikit angin segar ke Palestina, mereka bisa mengurangi tekanan dari komunitas internasional tanpa benar-benar mengubah keadaan.
Jika Palestina ingin benar-benar merdeka, mereka tidak bisa hanya mengandalkan janji-janji dari Amerika atau negara-negara Barat lainnya. Mereka harus memiliki strategi yang lebih mandiri, mencari dukungan dari negara-negara lain yang benar-benar berpihak pada mereka, dan memastikan bahwa kemerdekaan yang mereka dapatkan bukan hanya status simbolis. Apakah Palestina benar-benar merdeka atau hanya menjadi bagian dari permainan politik Amerika, tergantung pada bagaimana situasi berkembang. Yang jelas, sejarah sudah menunjukkan bahwa janji-janji dari kekuatan besar sering kali hanya ilusi. Kemerdekaan sejati tidak akan datang dari belas kasihan negara lain, tapi dari perjuangan yang konsisten dan strategi yang matang.
ADVERTISEMENT
#FREEPALESTINE