Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Pemprov Jakarta dan Aturan Baru Poligami untuk ASN: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
18 Januari 2025 15:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadi perbincangan hangat. Topik ini berkisar pada aturan yang mengizinkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk berpoligami, asalkan mendapat izin dari atasannya.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini bukan hanya mengundang perhatian publik, tetapi juga memicu pro dan kontra di berbagai kalangan. Namun, apa sebenarnya yang melatarbelakangi aturan ini? Bagaimana detail aturannya, dan apa dampaknya bagi ASN serta masyarakat luas?
Latar Belakang Kebijakan
Poligami sebenarnya bukanlah hal baru dalam konteks hukum di Indonesia. Negara ini mengakui poligami sebagai bagian dari budaya dan agama tertentu, namun tetap mengaturnya secara ketat melalui undang-undang. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, poligami diperbolehkan dengan beberapa syarat, termasuk adanya persetujuan dari istri pertama dan izin dari pengadilan agama.
Khusus untuk ASN, aturan mengenai poligami diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 yang diperbarui melalui PP Nomor 45 Tahun 1990. Di dalamnya disebutkan bahwa ASN yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari atasannya. Alasan utama dari aturan ini adalah untuk menjaga profesionalisme dan moralitas ASN sebagai abdi negara.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, mengeluarkan peraturan baru yang semakin mempertegas tata cara pemberian izin perkawinan dan perceraian bagi ASN di lingkungan Pemprov Jakarta. Aturan tersebut termaktub dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Pergub ini ditetapkan pada 6 Januari 2025 dan menjadi landasan hukum baru bagi ASN yang ingin mengajukan izin poligami.
Persyaratan Poligami bagi ASN
Pemprov DKI Jakarta menegaskan bahwa izin untuk poligami bukanlah sesuatu yang diberikan secara sembarangan. ASN yang ingin melakukannya harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat. Salah satu syarat utamanya adalah adanya alasan yang kuat dan logis, seperti ketidakmampuan istri pertama untuk menjalankan peran rumah tangga atau alasan medis tertentu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ASN tersebut juga harus menunjukkan bukti bahwa ia mampu secara finansial untuk menafkahi lebih dari satu istri. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa keputusan poligami tidak merugikan pihak-pihak yang terlibat, termasuk anak-anak yang mungkin ada dalam keluarga tersebut.
Pergub Nomor 2 Tahun 2025 juga menjabarkan lebih rinci tentang syarat-syarat tambahan yang harus dipenuhi. Misalnya, ASN harus mendapatkan persetujuan tertulis dari istri pertama, yang dilengkapi dengan tanda tangan yang disaksikan oleh pihak berwenang. Selain itu, ASN juga wajib mendapatkan rekomendasi dari atasan langsung, yang akan mengevaluasi dampak keputusan tersebut terhadap kinerja ASN di tempat kerja.
Lebih jauh lagi, izin dari atasan langsung menjadi syarat mutlak. Atasan akan mengevaluasi berbagai aspek, termasuk dampak dari poligami terhadap kinerja ASN tersebut di tempat kerja. Jika dinilai akan mengganggu profesionalisme atau reputasi instansi, maka izin poligami bisa saja ditolak.
ADVERTISEMENT
Reaksi Publik
Kebijakan ini tentu saja menuai beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian orang mendukung langkah ini dengan alasan bahwa poligami adalah hak individu yang diatur oleh hukum dan agama. Mereka juga berpendapat bahwa kebijakan ini dapat membantu ASN yang menghadapi masalah serius dalam rumah tangganya.
Namun, tidak sedikit pula yang mengkritik kebijakan ini. Beberapa pihak menilai bahwa aturan ini justru memperkuat stigma negatif terhadap perempuan, terutama istri pertama yang dianggap harus menerima keputusan poligami meskipun ia mungkin tidak setuju. Ada juga kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat disalahgunakan oleh ASN yang hanya ingin mencari legitimasi untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, isu gender menjadi salah satu sorotan utama. Aktivis perempuan dan kelompok pendukung kesetaraan gender menilai bahwa kebijakan ini tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong kesetaraan dan perlindungan hak-hak perempuan. Mereka khawatir bahwa aturan ini justru akan memperburuk posisi perempuan dalam rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Implikasi Kebijakan
Dari sudut pandang hukum, kebijakan ini sebenarnya tidak melanggar aturan yang ada. Namun, dampaknya terhadap moralitas dan etika publik menjadi hal yang patut dipertimbangkan. Sebagai abdi negara, ASN memiliki tanggung jawab untuk memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Oleh karena itu, keputusan untuk berpoligami seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek hukum, tetapi juga dari sudut pandang etika dan tanggung jawab sosial.
Di sisi lain, penerapan kebijakan ini juga menimbulkan tantangan tersendiri. Misalnya, bagaimana cara memastikan bahwa izin yang diberikan benar-benar sesuai dengan aturan dan tidak melibatkan unsur subjektivitas atau nepotisme dari atasan? Selain itu, ada potensi konflik internal di tempat kerja jika keputusan tersebut menimbulkan kecemburuan atau ketidakpuasan di antara rekan kerja.
ADVERTISEMENT
Apa yang Bisa Dipelajari?
Kebijakan ini sebenarnya membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang peran ASN sebagai abdi negara sekaligus individu dengan hak-hak pribadinya. Di satu sisi, ASN adalah manusia biasa yang berhak untuk menjalani kehidupan pribadi sesuai dengan keyakinan dan kebutuhannya. Namun, di sisi lain, mereka juga harus menyadari bahwa setiap keputusan yang diambil dapat memengaruhi citra dan kredibilitas institusi tempat mereka bekerja.
Selain itu, kebijakan ini juga menjadi pengingat bahwa pemerintah perlu terus berupaya menciptakan kebijakan yang adil dan inklusif. Jika poligami diperbolehkan bagi ASN laki-laki, bagaimana dengan ASN perempuan? Apakah mereka juga memiliki hak yang setara untuk membuat keputusan dalam kehidupan pribadinya tanpa takut akan diskriminasi atau stigma?
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam menyeimbangkan antara hak individu dan tanggung jawab sebagai pelayan masyarakat. Semoga diskusi yang muncul dari kebijakan ini dapat menjadi bahan refleksi untuk menciptakan aturan yang lebih baik di masa depan.