Konten dari Pengguna

Retreat Kepala Daerah oleh Prabowo Adalah Keharusan atau yang Mau-mau Aja?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22 Februari 2025 18:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2013/04/04/13/39/man-100379_1280.jpg (Ilustrasi retreat)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2013/04/04/13/39/man-100379_1280.jpg (Ilustrasi retreat)
ADVERTISEMENT
Dalam dinamika pemerintahan di Indonesia, sering kali muncul pertanyaan mengenai batasan kewajiban dan pilihan bagi pejabat publik, terutama kepala daerah. Salah satu isu yang menarik untuk dibahas adalah apakah seorang kepala daerah wajib mengikuti retreat kemiliteran atau pertemuan yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo. Mengingat tidak adanya aturan hukum yang secara eksplisit mewajibkan kehadiran kepala daerah dalam agenda semacam itu, jadi bagaimana?
ADVERTISEMENT
Retreat kemiliteran yang diadakan Presiden bukanlah hal baru dalam pemerintahan. Konsep ini biasanya bertujuan untuk menyamakan visi, menyusun strategi bersama, serta memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Retreat dapat menjadi ajang bagi kepala daerah untuk berdiskusi langsung dengan Presiden, memahami kebijakan nasional, dan mendapatkan arahan terkait implementasi kebijakan di daerah masing-masing.
Namun, dari sudut pandang hukum, tidak ada regulasi yang secara eksplisit mewajibkan kepala daerah untuk menghadiri pertemuan semacam itu. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memang mengatur hubungan antara pusat dan daerah, tetapi tidak mencantumkan kewajiban kepala daerah untuk mengikuti setiap pertemuan yang diinisiasi oleh Presiden. Artinya, retreat ini lebih bersifat ajakan atau undangan daripada sebuah keharusan yang memiliki konsekuensi hukum jika tidak dipenuhi.
ADVERTISEMENT
Secara teoretis, kepala daerah memiliki otonomi dalam mengambil keputusan terkait kehadiran mereka dalam sebuah acara yang tidak memiliki dasar hukum yang mengikat. Namun, ada faktor lain yang perlu diperhitungkan, yaitu faktor politik dan etika pemerintahan.
Dalam konteks politik, ketidakhadiran kepala daerah dalam retreat kemiliteran yang diadakan oleh Presiden bisa dianggap sebagai sikap yang kurang kooperatif. Ini bisa menimbulkan persepsi negatif, baik dari pemerintah pusat maupun publik. Dalam sistem pemerintahan kita yang masih sangat bergantung pada koordinasi pusat-daerah, hubungan yang harmonis dengan pemerintah pusat tentu menjadi aspek yang penting bagi kepala daerah dalam menjalankan tugasnya.
Dari sudut pandang etika pemerintahan, mengikuti retreat bisa dilihat sebagai bentuk penghormatan kepada Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Meskipun tidak ada kewajiban hukum, secara moral kepala daerah tetap memiliki tanggung jawab untuk berkoordinasi dengan pusat demi kepentingan masyarakat yang mereka pimpin.
ADVERTISEMENT
Menolak menghadiri retreat bisa memiliki beberapa konsekuensi, baik langsung maupun tidak langsung. Salah satunya adalah kesulitan dalam mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat dalam hal anggaran, proyek strategis, atau kebijakan tertentu yang membutuhkan sinergi antara pusat dan daerah. Seorang kepala daerah yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah pusat bisa saja mengalami hambatan dalam mengakses bantuan atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Selain itu, ketidakhadiran dalam retreat bisa menciptakan kesan bahwa kepala daerah tersebut tidak memiliki komitmen yang kuat dalam menyelaraskan kebijakan daerah dengan kebijakan nasional. Dalam dunia politik yang penuh dengan dinamika, kesan semacam ini bisa berdampak pada popularitas dan kredibilitas seorang kepala daerah di mata publik.
Baru-baru ini, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, menginstruksikan kepada kepala daerah dari partainya untuk tidak menghadiri retreat kemiliteran yang diadakan oleh Presiden Prabowo. Instruksi ini tentu saja menambah dinamika politik di tanah air. Bagi kepala daerah dari PDIP, instruksi tersebut bisa menjadi dilema antara mengikuti arahan partai atau menjaga hubungan baik dengan pemerintah pusat. Instruksi Megawati ini memperlihatkan bahwa retreat yang diadakan Presiden bukan sekadar ajang koordinasi biasa, tetapi juga memiliki nuansa politik yang kuat. Hal ini menunjukkan bagaimana hubungan antara partai politik dan pemerintahan pusat bisa memengaruhi keputusan kepala daerah dalam menghadiri atau tidak menghadiri suatu acara.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti kepala daerah harus selalu mengikuti setiap agenda pusat tanpa mempertimbangkan kepentingan daerahnya sendiri. Ada kalanya kepala daerah memiliki alasan yang sah untuk tidak hadir, misalnya karena ada urgensi di daerah yang membutuhkan perhatian langsung. Dalam kasus seperti ini, yang terpenting adalah komunikasi yang baik dengan pemerintah pusat, sehingga ketidakhadiran tidak diartikan sebagai bentuk pembangkangan atau ketidakpedulian.
Dalam sistem desentralisasi yang dianut Indonesia, hubungan antara pusat dan daerah seharusnya bersifat fleksibel dan tidak terlalu kaku. Kepala daerah memiliki otonomi dalam menjalankan kebijakan di wilayahnya, meskipun tetap harus selaras dengan kebijakan nasional. Retreat kemiliteran yang diadakan Presiden memang penting, tetapi bukan satu-satunya cara untuk memastikan keselarasan antara pusat dan daerah.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemimpin daerah, kepala daerah juga memiliki hak untuk menentukan prioritasnya sendiri. Ada kalanya mereka harus memilih antara menghadiri pertemuan nasional atau menangani langsung masalah yang sedang terjadi di daerah mereka. Pilihan ini tidak selalu mudah, karena setiap keputusan memiliki konsekuensi politik dan administratif yang perlu dipertimbangkan dengan matang.
Jika berbicara dalam konteks hukum, maka jawabannya jelas bahwa kepala daerah tidak wajib mengikuti retreat kemiliteran yang diadakan oleh Presiden Prabowo. Tidak ada aturan yang mengikat mereka untuk hadir. Namun, jika melihat dari perspektif politik, etika, dan hubungan pemerintahan, kehadiran kepala daerah dalam retreat bisa membawa manfaat yang lebih besar (kemungkinan) dibandingkan potensi kerugiannya.
Keputusan untuk hadir atau tidak dalam retreat adalah bagian dari strategi politik dan kepemimpinan masing-masing kepala daerah. Mereka harus menimbang berbagai faktor, mulai dari kepentingan daerah, hubungan dengan pemerintah pusat, hingga dampak jangka panjang terhadap kepemimpinan mereka sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana kepala daerah mampu menjalankan tugasnya dengan baik, baik dengan atau tanpa menghadiri retreat tersebut.
ADVERTISEMENT