Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
RUU TNI: Jalan Terbuka Kembalinya Dwi Fungsi Militer?
21 Maret 2025 12:45 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Baru saja, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Langkah ini memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat, terutama mahasiswa, yang menilai bahwa revisi tersebut membuka kembali pintu bagi militer untuk terlibat dalam ranah sipil, menghidupkan kembali konsep Dwi Fungsi ABRI yang kontroversial.
ADVERTISEMENT
Konsep Dwi Fungsi ABRI bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak era Orde Baru, militer diberi peran ganda sebagai kekuatan pertahanan dan sekaligus aktor politik. Hal ini membuat mereka tidak hanya bertugas menjaga keamanan negara tetapi juga aktif dalam pemerintahan. Struktur pemerintahan kala itu dipenuhi oleh tokoh-tokoh dari militer yang menduduki berbagai jabatan penting, mulai dari menteri, gubernur, hingga kepala daerah. Militer menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem politik Indonesia, yang membuat kontrol sipil terhadap institusi militer menjadi lemah. Akibatnya, praktik otoritarianisme semakin menguat dan demokrasi semakin tergerus.
Setelah reformasi 1998, salah satu tuntutan utama rakyat adalah menghapus Dwi Fungsi ABRI dan mengembalikan militer ke fungsi aslinya sebagai penjaga keamanan negara tanpa campur tangan dalam urusan politik. Dalam proses reformasi, perubahan fundamental dilakukan, termasuk pemisahan antara TNI dan Polri, serta pencabutan hak militer untuk memiliki kursi di parlemen. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk menempatkan militer di bawah kontrol sipil dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, berbagai kebijakan yang muncul menunjukkan bahwa upaya untuk menjaga pemisahan antara militer dan politik tidak selalu berjalan dengan mulus.
ADVERTISEMENT
RUU TNI yang baru saja disahkan kembali menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia sedang melangkah mundur ke era sebelum reformasi. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah diperbolehkannya prajurit aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri dari militer. Hal ini berpotensi membuka kembali jalan bagi militer untuk mengontrol birokrasi sipil dan memperluas pengaruhnya di berbagai sektor pemerintahan. Kritik terhadap RUU ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis HAM, hingga mahasiswa, yang melihat bahwa kebijakan ini bisa menggerus prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.
Pihak militer dan pemerintah berargumen bahwa perubahan ini diperlukan untuk memperkuat birokrasi negara, terutama dalam bidang pertahanan dan keamanan. Mereka menyatakan bahwa tantangan zaman sekarang menuntut fleksibilitas yang lebih besar dalam peran militer di pemerintahan. Namun, skeptisisme masyarakat tetap tinggi. Banyak yang menilai bahwa kebijakan ini hanyalah cara lain untuk mengembalikan dominasi militer dalam pemerintahan secara perlahan.
ADVERTISEMENT
Gelombang protes yang muncul setelah pengesahan RUU ini menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat peduli dengan jalannya demokrasi di Indonesia. Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota, dengan mahasiswa dan aktivis turun ke jalan membawa spanduk bertuliskan “Reformasi Dikhianati” dan “TNI Kembali ke Barak”. Momen ini mengingatkan pada aksi-aksi mahasiswa tahun 1998, ketika rakyat bersatu menuntut perubahan dan perbaikan dalam sistem pemerintahan. Tidak hanya di dalam negeri, isu ini juga mendapat perhatian dari komunitas internasional. Bahkan, salah satu musisi Korea Selatan, Jae Park, menyampaikan dukungannya terhadap gerakan rakyat Indonesia yang menolak revisi UU TNI. Dukungan ini menandakan bahwa isu demokrasi dan hak sipil di Indonesia bukan hanya menjadi perhatian lokal, tetapi juga global.
ADVERTISEMENT
Kembalinya peran militer dalam ranah sipil menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan demokrasi Indonesia. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi melemahnya kontrol sipil terhadap kebijakan negara. Dengan militer kembali menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, ada kemungkinan keputusan-keputusan politik akan lebih dipengaruhi oleh kepentingan militer dibandingkan oleh kepentingan rakyat secara keseluruhan. Hal ini bisa berujung pada berkurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan kebijakan.
Selain itu, sejarah telah membuktikan bahwa keterlibatan militer dalam politik sering kali berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan militer, tetapi sulit diusut karena posisi mereka yang sangat kuat dalam pemerintahan. Dengan diberikannya kembali ruang bagi militer dalam jabatan sipil, ada kekhawatiran bahwa mekanisme akuntabilitas akan melemah dan kasus-kasus serupa bisa kembali terjadi tanpa konsekuensi yang jelas. Reformasi yang sudah berjalan lebih dari dua dekade bisa mengalami kemunduran, dan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah dibangun bisa terkikis perlahan-lahan.
ADVERTISEMENT
Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberi ruang bagi semua elemen masyarakat untuk berpartisipasi, tetapi dengan batasan yang jelas. Militer memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas negara, tetapi mereka seharusnya tetap berada di luar ranah politik. Jika batasan ini mulai kabur, maka sejarah bisa terulang kembali. Oleh karena itu, tantangan terbesar bagi Indonesia saat ini adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara stabilitas negara dan kebebasan sipil. Masyarakat sipil harus tetap kritis dan aktif mengawal kebijakan ini, agar demokrasi yang telah diperjuangkan tidak kembali mundur ke masa lalu yang penuh dengan keterbatasan dan ketidakbebasan.
Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah meningkatkan transparansi dalam pelaksanaan kebijakan ini, serta memastikan bahwa ada mekanisme pengawasan yang ketat terhadap keterlibatan militer dalam jabatan sipil. Jika revisi UU TNI tetap diberlakukan, maka harus ada jaminan bahwa militer tidak akan menyalahgunakan kekuasaan atau kembali menjadi institusi yang dominan dalam pemerintahan. Pengawasan dari masyarakat, akademisi, dan media harus terus dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak mengarah pada kembalinya praktik Dwi Fungsi ABRI dalam bentuk baru.
ADVERTISEMENT
Demokrasi adalah sesuatu yang harus terus diperjuangkan dan dijaga. Jika rakyat lengah, maka bukan tidak mungkin kebijakan seperti ini akan menjadi awal dari kemunduran demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara stabilitas dan demokrasi adalah pekerjaan yang harus terus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat agar Indonesia tetap berada di jalur yang benar menuju pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.