Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Terkhusus Ibu-ibu: Hati-hati Ngetik di Sosmed, Menyindir Bisa Dihukum?
9 Februari 2025 17:00 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era digital seperti sekarang, kebebasan berbicara di media sosial itu ibarat pedang bermata dua. Kita bisa dengan mudah menyuarakan pendapat, berbagi pemikiran, bahkan mengkritik sesuatu secara terbuka. Tapi, di balik kebebasan itu, ada batasan yang sering kali dilupakan: hukum. Pertanyaannya, apakah menyinggung seseorang di media sosial bisa benar-benar berujung ke meja hijau?
ADVERTISEMENT
Setiap orang memang punya hak untuk menyampaikan pendapatnya, tapi hak itu bukan berarti bisa digunakan semena-mena. Banyak yang merasa karena ini adalah akun pribadi mereka, mereka bebas berkata apa saja. Sayangnya, hukum tidak bekerja seperti itu. Apa pun yang diunggah ke media sosial tetap bisa dianggap sebagai konsumsi publik, dan kalau ada orang yang merasa dirugikan atau tersinggung, urusannya bisa panjang. Masalahnya, batasan antara "berpendapat" dan "menyinggung" ini sering kali abu-abu. Misalnya, ketika seseorang mengkritik kebijakan pemerintah, itu masih dalam batas wajar. Tapi kalau kritiknya sudah mengarah ke hinaan atau fitnah terhadap individu tertentu, hukum bisa mulai bicara. Begitu juga dalam kasus mengomentari seseorang. Kritik terhadap karya atau tindakan masih bisa diterima, tapi kalau sudah menyerang secara personal, bisa-bisa berurusan dengan pasal pencemaran nama baik atau UU ITE.
ADVERTISEMENT
UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sering kali jadi momok bagi pengguna media sosial. Banyak kasus di mana seseorang harus berhadapan dengan hukum gara-gara unggahan atau komentar yang dianggap menyinggung. Beberapa pasal dalam UU ITE bisa digunakan untuk menjerat orang yang dinilai mencemarkan nama baik atau menyebarkan ujaran kebencian. Dan yang lebih parah, hukumannya bisa cukup berat. Misalnya, seseorang yang merasa dihina atau difitnah di media sosial bisa melaporkan kasus tersebut ke pihak berwajib. Prosesnya pun nggak main-main. Bukti-bukti seperti screenshot, rekaman, atau saksi bisa digunakan untuk memperkuat laporan. Bahkan, beberapa orang yang awalnya merasa hanya bercanda atau sekadar menumpahkan unek-unek di media sosial akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit: dipanggil polisi dan terancam hukuman.
ADVERTISEMENT
Kalau kita lihat ke belakang, sudah banyak kasus yang menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi dari postingan di media sosial. Ada orang yang dihukum gara-gara menghina pejabat, ada yang dipenjara karena menyebarkan berita hoaks, bahkan ada yang harus menghadapi tuntutan hukum karena komentar kasar di kolom media sosial. Beberapa kasus terjadi karena unggahan yang dibuat tanpa pikir panjang. Misalnya, seseorang mengomentari berita viral dengan kata-kata yang dianggap merendahkan orang lain. Awalnya mungkin cuma iseng atau marah sesaat, tapi kalau sampai viral dan ada yang merasa dirugikan, bisa berujung masalah hukum.
Kasus lain yang sering terjadi di media sosial adalah perseteruan antara individu yang berujung pada sindir-menyindir lewat story atau status. Contohnya, ada ibu-ibu yang sedang bertengkar dengan tetangganya tetapi tidak berani bicara langsung, sehingga memilih menyindir melalui unggahan di media sosial. Mulai dari sindiran halus tentang kehidupan rumah tangga, komentar pasif-agresif soal kebiasaan sehari-hari, hingga menyebarkan gosip secara tidak langsung. Awalnya mungkin hanya dianggap lucu atau biasa saja, tapi jika orang yang merasa tersindir tidak terima dan membawa ini ke ranah hukum, kasus bisa menjadi lebih serius. Tidak sedikit kejadian seperti ini yang akhirnya berujung pada laporan pencemaran nama baik atau fitnah karena unggahan-unggahan yang tidak dipikirkan matang-matang.
ADVERTISEMENT
Hal yang paling penting untuk diingat adalah berpikir sebelum mengetik. Media sosial memang tempat yang bebas, tapi bukan berarti bisa seenaknya menulis sesuatu tanpa mempertimbangkan dampaknya. Setiap orang punya batas toleransi yang berbeda, dan apa yang menurut kita biasa saja bisa jadi sangat menyinggung bagi orang lain. Sebelum menulis sesuatu di media sosial, ada baiknya bertanya pada diri sendiri apakah yang ditulis adalah fakta atau hanya opini yang bisa disalahartikan, apakah hal itu bisa melukai atau menyinggung perasaan orang lain, dan apakah siap menanggung konsekuensi hukum kalau seseorang melaporkan hal tersebut.
Kadang-kadang, diam atau menyampaikan pendapat dengan cara yang lebih sopan jauh lebih bijak daripada harus menghadapi konsekuensi hukum. Ingat, hukum tidak melihat niat, tapi melihat dampak. Sekalipun kita tidak bermaksud menyinggung, kalau ada pihak yang merasa dirugikan dan membawa ini ke ranah hukum, urusannya bisa jadi rumit. Pada akhirnya, menyinggung seseorang di media sosial itu bukan hanya soal etika, tapi juga soal hukum. Dunia digital memang memberi kita kebebasan, tapi tetap ada batasan yang harus kita hormati. Daripada harus berurusan dengan hukum, lebih baik kita lebih bijak dalam berkomentar. Kalau ingin menyampaikan kritik, lakukan dengan cara yang santun. Kalau ingin bercanda, pastikan tidak menyinggung pihak lain.
ADVERTISEMENT
Karena, seperti kata pepatah: "Mulutmu harimaumu." Di era digital ini, lebih tepatnya: "Jempolmu harimaumu." Jadi, sebelum mengetik sesuatu di media sosial, pastikan kita siap dengan segala konsekuensinya. Jangan sampai hanya karena satu postingan atau komentar, hidup kita jadi berantakan. Lebih baik aman daripada menyesal belakangan!