Konten dari Pengguna

Tragisnya Hukum di Indonesia: Ketika Kita Melapor, Kita yang Jadi Tersangka

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Januari 2025 16:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/03/06/20/01/police-2122376_1280.jpg (ilustrasi tangan diborgol)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/03/06/20/01/police-2122376_1280.jpg (ilustrasi tangan diborgol)
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, banyak cerita yang bikin kita nggak habis pikir. Salah satunya adalah kisah “kita yang melapor, kita yang malah jadi tersangka.” Fenomena ini memang bikin miris, apalagi kalau dikaitkan dengan kasus-kasus yang melibatkan orang-orang berduit. Sistem hukum kita seharusnya memberikan rasa aman dan keadilan, tapi kenyataannya sering kali seperti berpihak pada siapa yang punya uang lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Coba bayangkan, Anda menjadi korban sebuah kejahatan. Sudah susah payah ngumpulin keberanian buat melapor, eh malah ujung-ujungnya ditetapkan sebagai tersangka. Ironi ini sering kali melibatkan pihak terlapor yang punya kuasa atau modal besar. Dengan uang, mereka bisa menyewa pengacara papan atas, “melobi” pihak-pihak tertentu, atau bahkan memanfaatkan celah hukum yang ada. Sementara si pelapor, yang mungkin hanya warga biasa, jadi bingung dan kewalahan menghadapi situasi ini.
Ada cerita nyata tentang seorang korban pelecehan seksual yang melaporkan pelaku, tapi malah diancam balik dengan pasal pencemaran nama baik. Atau seorang petani yang melaporkan pencurian hasil panennya, tetapi kemudian dia yang harus berhadapan dengan hukum karena dianggap “melanggar aturan.” Kalau ditelusuri lebih jauh, dalam banyak kasus seperti ini, terlapornya adalah pihak yang punya akses ke kekuasaan atau uang yang tak habis dipakai untuk memutarbalikkan fakta.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang membuat situasi ini terjadi adalah kerumitan sistem hukum kita. Undang-undang yang ada sering kali multitafsir, sehingga mudah dimanfaatkan oleh mereka yang tahu caranya atau punya dana untuk mempermainkan hukum. Pasal-pasal seperti pencemaran nama baik atau UU ITE adalah senjata favorit. Pasal-pasal ini cenderung karet dan rawan disalahgunakan untuk menekan orang yang tidak punya kekuatan.
Tapi masalahnya bukan cuma di aturan. Aparat penegak hukum juga sering kali jadi sorotan. Ada banyak cerita tentang bagaimana tekanan dari pihak terlapor entah itu lewat uang, kekuasaan, atau relasi bisa mempengaruhi proses hukum. Ketika pelapor adalah orang biasa dan terlapor punya “koneksi” atau uang, prosesnya sering terlihat berat sebelah. Bukannya melindungi korban, hukum justru terlihat seperti alat yang memperkuat ketimpangan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, korban kejahatan tidak hanya merasa dirugikan oleh pelaku, tetapi juga oleh sistem hukum itu sendiri. Perasaan frustasi, takut, bahkan trauma sering kali dialami oleh mereka yang mengalami kejadian seperti ini. Apalagi kalau sudah melibatkan biaya besar untuk menyewa pengacara atau menghadapi gugatan balik. Tidak sedikit korban yang akhirnya memilih menyerah karena merasa tidak punya daya melawan.
Fenomena ini juga membuat masyarakat jadi takut untuk melapor. Ketika mendengar cerita-cerita seperti ini, banyak orang berpikir dua kali sebelum membawa masalah ke ranah hukum. Mereka takut apa yang terjadi pada korban-korban lain akan menimpa mereka juga. Alhasil, pelaku kejahatan yang punya uang atau kekuasaan jadi semakin berani, karena tahu bahwa korban cenderung memilih diam daripada melawan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, situasi ini bukan berarti tidak bisa diubah. Harapan selalu ada, selama kita berani untuk memperbaiki. Salah satu hal yang paling penting adalah reformasi hukum. Pasal-pasal karet seperti UU ITE perlu direvisi agar tidak lagi menjadi alat untuk menekan korban. Selain itu, aparat penegak hukum harus lebih profesional dan berintegritas, sehingga keputusan yang diambil benar-benar adil.
Pendidikan hukum untuk masyarakat juga penting. Banyak orang yang tidak tahu hak-haknya atau langkah hukum apa yang bisa diambil ketika menghadapi situasi sulit. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat bisa lebih siap menghadapi tekanan dari pihak terlapor yang punya uang atau kuasa.
Kita juga harus mendukung transparansi dalam proses hukum. Media sosial dan media massa punya peran besar dalam mengawal kasus-kasus seperti ini. Ketika masyarakat bersatu untuk menyoroti ketidakadilan, tekanan publik bisa menjadi kekuatan yang besar untuk memastikan keadilan ditegakkan. Jangan lupa, keadilan bukan barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya uang. Keadilan adalah hak semua orang, termasuk mereka yang tidak punya apa-apa selain kebenaran.
ADVERTISEMENT
Ironi “kita yang melapor, kita yang jadi tersangka” adalah cermin betapa masih banyak yang harus diperbaiki dalam sistem hukum kita. Tapi dengan usaha bersama, kita bisa menciptakan perubahan. Karena pada akhirnya, hukum itu ada untuk melindungi, bukan untuk menakut-nakuti.