Konten dari Pengguna

Trias Politica di Indonesia dan Ancaman Kepemimpinan Otoriter

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16 Februari 2025 9:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/08/17/07/47/travel-2650303_1280.jpg (Ilustrasi peta)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/08/17/07/47/travel-2650303_1280.jpg (Ilustrasi peta)
ADVERTISEMENT
Trias politica adalah konsep yang menjadi dasar dalam sistem pemerintahan demokratis, memastikan kekuasaan terbagi antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tidak terpusat pada satu pihak. Di Indonesia, sistem ini diatur dalam UUD 1945, tetapi dalam praktiknya, sering kali terjadi ketimpangan, terutama ketika pemimpin negara memiliki kecenderungan otoriter dalam mengambil keputusan.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat bagaimana eksekutif semakin dominan dibandingkan dua cabang lainnya. Keputusan-keputusan strategis yang seharusnya melibatkan diskusi dengan legislatif sering kali diambil secara sepihak. Hal ini diperparah dengan lemahnya peran DPR yang seharusnya menjadi pengawas eksekutif. Ketika parlemen lebih sibuk mengakomodasi kepentingan politik dibandingkan menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat, maka keseimbangan kekuasaan menjadi terganggu.
Fenomena ini juga terlihat dalam ranah yudikatif, yang seharusnya berfungsi sebagai pengadil yang netral dan independen. Namun, sering kali keputusan pengadilan cenderung menguntungkan pihak eksekutif, menimbulkan kecurigaan adanya intervensi politik dalam sistem peradilan. Dalam beberapa kasus, peradilan bahkan tampak enggan menindak kebijakan eksekutif yang merugikan kepentingan rakyat. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang sejauh mana lembaga hukum masih bisa dipercaya untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan negara.
ADVERTISEMENT
Salah satu indikator lain dari kepemimpinan yang semakin otoriter adalah maraknya penggunaan regulasi yang dibuat tanpa konsultasi luas dengan masyarakat. Kebijakan yang memiliki dampak besar sering kali diputuskan dalam waktu singkat tanpa transparansi dan partisipasi publik. Ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi, di mana kebijakan seharusnya merupakan hasil musyawarah dan bukan hanya keputusan segelintir elite politik.
Dampak dari melemahnya fungsi trias politica ini sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Ketika pemimpin negara memiliki kekuasaan yang terlalu dominan, maka kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan pihak tertentu dan tidak selalu berpihak kepada rakyat. Misalnya, dalam berbagai proyek infrastruktur berskala besar, banyak kebijakan diambil tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Keputusan semacam ini memperlihatkan bagaimana eksekutif bisa bertindak sewenang-wenang jika tidak ada pengawasan yang kuat dari legislatif dan yudikatif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, semakin berkurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan juga menghambat partisipasi publik dalam sistem demokrasi. Masyarakat menjadi pasif dan sulit untuk menyuarakan aspirasi mereka, terutama jika pemerintah menggunakan berbagai instrumen hukum untuk membatasi kebebasan berbicara. Media massa dan aktivis yang mencoba mengkritik kebijakan pemerintah sering kali menghadapi tekanan atau bahkan kriminalisasi. Hal ini semakin menegaskan bahwa kekuasaan yang tidak diawasi dengan baik dapat berujung pada pemerintahan yang semakin otoriter.
Tantangan terbesar dalam menjaga keseimbangan trias politica di Indonesia adalah memastikan bahwa setiap cabang pemerintahan tetap berfungsi sesuai dengan perannya tanpa adanya dominasi satu pihak atas yang lain. Jika eksekutif semakin kuat dan dua cabang lainnya melemah, maka demokrasi hanya akan menjadi formalitas. Dalam jangka panjang, ini dapat mengarah pada pemerintahan yang semakin otoriter, di mana kebijakan diambil tanpa mekanisme kontrol yang jelas.
ADVERTISEMENT
Untuk menghindari hal tersebut, masyarakat harus lebih kritis dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin setiap lima tahun, tetapi juga memastikan bahwa pemerintahan tetap berjalan dalam koridor yang benar. Kesadaran politik yang tinggi dari rakyat akan menjadi benteng terakhir dalam menjaga agar sistem pemerintahan tetap berpihak pada kepentingan publik, bukan hanya pada segelintir elite berkuasa.
Di sisi lain, peran media dan organisasi masyarakat sipil juga sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Dengan adanya pengawasan independen dari luar sistem pemerintahan, kebijakan yang dihasilkan bisa lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, tekanan dari masyarakat juga bisa memaksa pemerintah untuk tetap berada dalam jalur demokratis.
Pendidikan politik bagi masyarakat juga harus lebih diperkuat agar publik memahami hak dan kewajiban mereka dalam sistem demokrasi. Banyak masyarakat yang masih melihat politik sebagai urusan elite dan bukan bagian dari kehidupan mereka. Padahal, setiap kebijakan yang diambil pemerintah berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan rakyat. Dengan meningkatkan pemahaman politik, masyarakat bisa lebih aktif berpartisipasi dalam proses demokrasi dan tidak mudah termakan propaganda atau manipulasi dari pihak yang berkepentingan.
ADVERTISEMENT
Dengan meningkatnya tren kepemimpinan yang semakin otoriter, pertanyaan yang harus kita renungkan adalah apakah trias politica di Indonesia benar-benar berjalan sebagaimana mestinya atau hanya sekadar konsep yang dijadikan simbol demokrasi? Jawabannya terletak pada seberapa besar kita sebagai masyarakat mampu mempertahankan prinsip check and balances agar demokrasi tidak hanya menjadi ilusi. Jika sistem ini tidak diperkuat, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan semakin bergeser ke arah otoritarianisme yang terselubung dengan dalih kepentingan nasional dan stabilitas politik.