Konten dari Pengguna

Vonis Ultra Petita: Ketika Hakim Memberi Hukuman Lebih Berat

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17 Februari 2025 16:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2016/08/11/23/54/judge-1587300_1280.jpg (Ilustrasi palu hakim)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2016/08/11/23/54/judge-1587300_1280.jpg (Ilustrasi palu hakim)
ADVERTISEMENT
Dalam dunia hukum, ada fenomena menarik yang sering menimbulkan perdebatan, yaitu vonis ultra petita. Ini terjadi ketika hakim menjatuhkan putusan yang melebihi tuntutan atau permintaan para pihak yang berperkara. Salah satu contoh terbaru adalah putusan terhadap Harvey Moeis di tingkat banding. Vonis yang sebelumnya dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama hanya 6,5 tahun penjara, tetapi dalam putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, hukumannya ditingkatkan drastis menjadi 20 tahun penjara, bertambah 13,5 tahun dari sebelumnya. Ini jelas merupakan contoh nyata bagaimana ultra petita dapat terjadi dalam praktik peradilan.
ADVERTISEMENT
Harvey Moeis dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengelolaan timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Pada tingkat pertama, hukumannya bahkan lebih ringan dari tuntutan jaksa. Namun, di tingkat banding, pengadilan justru memutuskan hukuman yang jauh lebih berat, sesuai atau bahkan melebihi tuntutan jaksa. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah putusan ini mencerminkan keberanian hakim dalam menegakkan keadilan atau justru menciptakan preseden yang berisiko?
Dalam banyak kasus, hakim yang menjatuhkan vonis ultra petita sering kali beralasan bahwa mereka melakukannya demi menegakkan keadilan substantif. Artinya, mereka tidak hanya melihat apa yang diminta oleh penggugat atau terdakwa, tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek lain yang mungkin tidak disebutkan dalam gugatan atau tuntutan. Di satu sisi, ini bisa dianggap sebagai langkah progresif yang menunjukkan bahwa hakim tidak hanya bertindak sebagai "mesin hukum" yang hanya memutuskan berdasarkan permintaan formal para pihak. Namun, di sisi lain, ini juga bisa dianggap sebagai pelanggaran asas hukum yang menyatakan bahwa hakim seharusnya tidak boleh bertindak di luar apa yang diminta dalam perkara.
ADVERTISEMENT
Kasus Harvey Moeis menghidupkan kembali perdebatan mengenai ultra petita. Banyak pihak berpendapat bahwa vonis ultra petita adalah bentuk keberanian hakim dalam menggali keadilan yang lebih luas. Dalam beberapa kasus, hakim mungkin melihat bahwa ada aspek lain yang tidak diajukan oleh pihak yang berperkara, tetapi jika diabaikan akan menimbulkan ketidakadilan. Namun, langkah ini juga berisiko besar. Jika hakim bisa dengan bebas memberikan putusan yang melebihi permintaan para pihak, maka bisa saja keputusan yang diambil menjadi sulit diprediksi dan mengurangi rasa kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Bagi sebagian orang, vonis ultra petita bisa dianggap sebagai tindakan hakim yang bertindak sewenang-wenang, bukan sebagai bentuk keberanian.
Dalam konteks hukum Indonesia, putusan ultra petita memang diatur dalam beberapa putusan Mahkamah Agung dan dianggap sebagai sesuatu yang seharusnya dihindari, kecuali dalam kondisi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada ruang bagi hakim untuk bertindak lebih luas dalam menegakkan keadilan, mereka tetap harus berhati-hati agar tidak melampaui batas yang telah ditentukan oleh hukum itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas kasus yang dihadapi di pengadilan, vonis ultra petita mungkin akan terus menjadi perdebatan. Ada kalanya langkah ini dianggap sebagai inovasi dalam peradilan, tetapi ada juga saat di mana ini dianggap sebagai bentuk penyimpangan yang berbahaya. Yang jelas, dalam menjatuhkan vonis, hakim harus memiliki kebijaksanaan yang matang agar keputusannya tidak hanya mencerminkan keberanian pribadi, tetapi juga tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku.
Apakah vonis ultra petita adalah langkah progresif atau bentuk penyimpangan? itu bergantung pada perspektif masing-masing orang. Yang pasti, dalam setiap putusan yang melampaui tuntutan, selalu ada risiko dan tanggung jawab besar yang menyertainya. Hukum adalah alat keadilan, dan keadilan sendiri tidak selalu memiliki bentuk yang pasti. Oleh karena itu, selama hakim dapat mempertimbangkan semua aspek dengan baik dan bertindak dengan itikad baik, vonis ultra petita bisa saja menjadi bagian dari evolusi hukum yang lebih dinamis dan berorientasi pada keadilan substantif.
ADVERTISEMENT