Konten dari Pengguna

Waisak 2025: Merenung di Tengah Ramai Dunia

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum, UIN Jakarta
12 Mei 2025 11:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/05/18/19/45/vesak-lantern-2324581_1280.jpg (Ilustrasi menerbangkan lampion malam raya waisak)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/05/18/19/45/vesak-lantern-2324581_1280.jpg (Ilustrasi menerbangkan lampion malam raya waisak)
ADVERTISEMENT
Setiap kali Waisak datang, rasanya dunia melambat sejenak. Bukan hanya karena ini hari besar bagi umat Buddha, tapi karena Waisak punya semacam aura yang bikin kita ingin berhenti, duduk sebentar, dan berpikir ulang soal hidup. Waisak 2025 ini, seperti yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama tiga menteri tentang hari libur nasional, jatuh pada tanggal 12 Mei dan diperingati sebagai Waisak ke-2569 dalam kalender Buddhis yang biasa disingkat BE atau Buddhist Era.
ADVERTISEMENT
Kalender ini unik, karena menghitung waktu berdasarkan wafatnya Sang Buddha, yang diyakini terjadi pada 543 tahun sebelum Masehi. Jadi ketika kalender kita menunjukkan 2025, umat Buddha menyebutnya sebagai tahun 2569 BE. Penanggalan ini memang udah jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, tapi tetap punya arti penting buat penentuan hari-hari suci, termasuk tentu saja Waisak. Dan seperti biasa, perayaannya nggak hanya soal tanggal, tapi juga soal tema yang jadi napas spiritual seluruh rangkaian acara.
Tahun ini, tema Waisak nasional adalah “Tingkatkan Pengendalian Diri dan Kebijaksanaan, Wujudkan Perdamaian Dunia". Sebuah tema yang terdengar megah tapi kalau dipikir-pikir, sangat relevan dengan kondisi kita sekarang. Dunia makin bising, konflik ada di mana-mana, media sosial jadi ladang pertikaian kecil tiap hari. Di tengah semua itu, pengendalian diri terasa seperti barang langka, dan kebijaksanaan bukan lagi hal yang otomatis muncul seiring usia, maka ketika Waisak datang membawa pesan ini, rasanya bukan cuma umat Buddha yang bisa ikut merenung, tapi semua orang yang masih mau hidup dengan hati yang damai.
ADVERTISEMENT
Selain tema utama, ada juga subtema yang menambah warna: “Bersatu Mewujudkan Damai Waisak untuk Kebahagiaan Semua Makhluk". Subtema ini seperti penegasan bahwa damai bukan soal individu saja, tapi sesuatu yang dicapai bersama. Dan seperti Waisak pada tahun-tahun sebelumnya, perayaannya tahun ini juga berlangsung dalam bentuk rangkaian kegiatan yang dimulai jauh sebelum puncaknya. Bukan cuma ritual, tapi juga aksi nyata yang menyentuh berbagai sisi kehidupan.
Dimulai dari tanggal 4 Mei, umat Buddha di berbagai daerah menggelar karya bakti di Taman Makam Pahlawan. Ini bukan cuma bentuk penghormatan pada para pejuang bangsa, tapi juga refleksi tentang bagaimana nilai-nilai luhur, seperti keberanian dan pengorbanan bisa hidup berdampingan dengan ajaran kasih dan kebijaksanaan. Setelah itu, pada 10 dan 11 Mei, digelar kegiatan pengobatan gratis di Zona 2 Candi Borobudur. Kegiatan ini terbuka untuk umum, bukan hanya umat Buddha, karena Waisak memang tidak membatasi kebaikan hanya untuk satu golongan. Disinilah ajaran tentang cinta kasih universal benar-benar diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Pada 10 Mei juga, ada pengambilan Api Dharma dari Mrapen, Grobogan. Api ini bukan sembarang nyala. Ia simbol dari pencerahan, dari semangat yang tak padam. Setelah diambil, api itu kemudian disakralkan di Candi Mendut. Sehari setelahnya, 11 Mei, giliran air suci diambil dari Umbul Jumprit, Temanggung. Air dan api, dua elemen dasar yang dalam banyak kebudayaan punya makna simbolik yang kuat, dihadirkan untuk menyucikan batin menjelang puncak Waisak.
Lalu tibalah 12 Mei puncak dari semua rangkaian ini. Dimulai dengan kirab dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur. Kirab ini bukan parade meriah seperti karnaval. Tidak ada musik keras, tidak ada teriakan. Yang ada hanyalah langkah pelan, doa dalam hati, dan kebersamaan yang menyatukan. Umat berjalan dengan tenang, membawa api dan air suci, seperti membawa batin mereka sendiri menuju pusat ketenangan. Sesampainya di Borobudur, semua bersiap menyambut detik-detik Waisak yang jatuh pada pukul 23.55.29 WIB.
ADVERTISEMENT
Beberapa menit sebelum detik itu, umat akan dipandu dalam meditasi oleh Bhikkhu Wongsin Labhiko Mahathera. Suasana hening, udara malam jadi terasa lebih pekat. Dan ketika waktu menunjukkan angka yang telah dihitung secara astronomis itu, semua masuk ke dalam diam yang sakral. Detik-detik Waisak bukan soal dentingan lonceng atau letusan kembang api, tapi tentang keheningan total yang justru dipenuhi makna. Sebuah meditasi bersama di bawah cahaya bulan purnama, seolah seluruh alam ikut diam dan ikut berdoa.
Setelah itu, doa penutup dibacakan oleh Bhikkhu Sangha. Lalu umat melanjutkan dengan pradaksina, yaitu mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali. Ini bukan sekadar ritual keliling, tapi perjalanan batin yang melambangkan penghormatan pada Triratna: Buddha, Dhamma, dan Sangha. Di akhir acara, ribuan lampion dilepaskan ke langit. Sebuah pemandangan yang selalu berhasil menyentuh banyak orang, apalagi kalau kita tahu bahwa setiap lampion membawa doa dan harapan. Ada yang berharap hidup lebih tenang. Ada yang mendoakan orangtuanya. Ada yang ingin memaafkan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dan semua doa itu, dalam bentuk cahaya, melayang bersama-sama di langit Jawa Tengah yang malam itu terasa sangat luas. Waisak bukan hari raya yang penuh keramaian, tapi justru di situlah keistimewaannya. Ia tidak datang membawa kebisingan, tapi ketenangan. Ia tidak minta disambut dengan pesta, tapi dengan perenungan. Dan di zaman yang penuh kebisingan ini, mungkin itu yang kita butuhkan. Momen untuk berhenti, menoleh ke dalam, dan bertanya: sudahkah aku hidup dengan sadar? Sudahkah aku damai?
Karena sejatinya, Waisak tidak meminta kita menjadi siapa-siapa. Ia hanya mengingatkan bahwa di balik segala ambisi dan kekacauan, kita semua punya potensi untuk menjadi terang asal kita mau melihat ke dalam dan belajar mengendalikan diri.
ADVERTISEMENT