Konten dari Pengguna

RUU Perlindungan PRT Mengapa Kembali Ditunda Pengesahannya?

sobirin2810
seorang dosen fakultas hukum di Universitas Ahmad Dahlan
13 Mei 2023 11:15 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari sobirin2810 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi PRT. Foto: pexel
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PRT. Foto: pexel
ADVERTISEMENT
Menjadi asisten rumah tangga atau lebih dikenal dengan PRT (pembantu rumah tangga) merupakan suatu pekerjaan yang diberikan kepada seseorang kepada suatu keluarga untuk mengerjakan suatu pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci baju, mengasuh anak dan yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun karena sering terjadi perbedaan derajat antara majikan dan pekerja dan tidak adanya perlindungan hukum yang jelas terhadap pekerja rumah tangga, maka seringkali mereka menjadi korban kekerasan.
Secara sosiologis, ada dua faktor utama yang melatarbelakangi kehadiran PRT yaitu kemiskinan dan kebutuhan tenaga di sektor domestik yang selama ini dibebankan kepada perempuan (Saparinah Sadli, 1999).
Sementara, masalah ketenagakerjaan dari waktu ke waktu semakin luas dan kompleks menuntut banyak perubahan dan penyempurnaan secara signifikan terutama secara yuridis. Dengan kata lain, perlu perhatian secara serius terutama stakeholder yaitu majikan, masyarakat dan pemerintah.
Dalam kaitan pekerjaan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh setiap orang dalam mempertahankan kehidupannya. Di sisi lain bagi pemerintah, disadari semakin sedikitnya peluang bekerja di sektor formal dan ketersediaan lapangan kerja sangat terbatas sehingga tidak semua orang mendapatkan keberuntungan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan terutama di bidang pekerjaan formal seperti ASN, buruh pabrik, karyawan kantoran, penyandang pekerjaan profesi dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Sulitnya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik menyebabkan sebagian orang “terpaksa” berkecimpung di bidang pekerjaan informal yang salah satunya menjadi PRT. Pekerjaan ini tidak memerlukan modal dan keahlian khusus seperti halnya pekerjaan lain. Keberadaan pembantu rumah tangga (PRT) sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia baik di kota-kota maupun di desa-desa.
Kehadiran pekerja rumah tangga di zaman modern saat ini sangat dibutuhkan banyak kalangan terutama bagi masyarakat perkotaan. Oleh karena masyarakat menganggap kehadiran PRT dapat meringankan dan mempermudah dalam mengerjakan berbagai urusan yang berkaitan dengan kegiatan rumah tangga. PRT harus mampu mengerjakan sendiri semua pekerjaan yang menyangkut urusan rumah tangga yang ada.
Dalam melakukan pekerjaan, PRT tidak mengenal waktu, karena setiap saat harus siap melakukan pekerjaan. Akan tetapi, menjadi hal yang sangat disayangkan, apa yang telah diperbuat oleh PRT terkadang tidak mendapatkan perlakuan (penghargaan) yang sewajarnya dari majikan, pekerjaan ini sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak, bahkan penyiksaan termasuk pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Sering diperlakukan yang tidak wajar, sering terjadi pelanggaran hukum ketenagakerjaan kepada PRT, adanya penyalahgunaan perjanjian kerja (misalnya secara lisan dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga) namun ternyata dijadikan sebagai pekerja seks, tidak ada mekanisme dan sistem kerja yang jelas (upah, jam kerja, dan lain-lain).
Upah yang tidak dibayar, upah yang rendah, jam kerja yang panjang serta adanya kondisi kerja yang membahayakan tanpa perlindungan, tidak adanya jaminan kesehatan, kematian, kecelakaan di tempat kerja, jaminan hari tua menjadi masalah utama PRT.
Masalah lain secara sosial, PRT tidak dianggap sebagai suatu profesi sehingga pemenuhan hak-haknya seringkali hanya berdasarkan belas kasihan atau kemurahan hati majikan bahkan secara normatif PRT juga belum dianggap sebagai suatu profesi karena aktivitas PRT dianggap jauh dari aktivitas produksi.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan pekerjaannya, PRT masuk dalam situasi pekerjaan yang tidak memiliki norma-norma hukum selayaknya pekerja formal, pengawasan dari instansi yang berwewenang maupun belum adanya perjanjian kerja (tertulis).
Dengan adanya kondisi tersebut maka beberapa masalah biasanya dihadapi PRT dan membutuhkan perlindungan antara lain masalah upah yang rendah atau tidak dibayar, jam kerja yang tidak memiliki batasan, fasilitas yang menunjang bagi PRT untuk keamanan, kesehatan dan keselamatan belum memadai, hak libur atau cuti, beban kerja yang tidak dibatasi dan rentan terhadap kekerasan fisik dan pelanggaran hak asasi manusia.
Pernyataan Pers Institut Perempuan (JALA PRT) menyatakan kinerja perlindungan negara terhadap pekerja rumah tangga masih jauh dari memuaskan. Terhitung sejak tahun 2007 hingga tahun 2011, tercatat 726 kasus kekerasan berat terhadap pekerja rumah tangga di Indonesia terdiri dari 536 kasus upah tidak dibayar, 348 kasus di antaranya terjadi pada pekerja rumah tangga anak, 617 kasus penyekapan, penganiayaan hingga luka berat, dan bahkan meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, belum ada Undang-Undang yang secara khusus melindungi PRT. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menetapkan hak-hak standar bagi pekerja di Indonesia yang didefinisikan sebagai “Seseorang yang bekerja dan mendapatkan upah dan atau bentuk upah lainnya”. Ini semestinya mencakup PRT namun undang-undang tersebut mengecualikan PRT dari cakupannya; yang berarti PRT tidak diberi perlindungan di bawah UUK.
Tindakan-tindakan yang dialami pekerja rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, disebabkan lemahnya kondisi PRT, terutama dalam hal posisi tawar (bargaining power), para pekerja tidak memiliki kekuatan ketika berhadapan dengan majikan karena keahlian dan tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya organisasi pekerja yang menaungi, menampung dan memperjuangkan nasib mereka. Lebih dari itu kebijakan pemerintah tidak responsif dan akomodatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat (Andrian Sutedi, 2019).
ADVERTISEMENT
Kedudukan yang tidak sederajat (timpang) tersebut, mengakibatkan pekerja hanya mengandalkan tenaga yang melekat pada dirinya untuk melakukan pekerjaan. Bahkan majikan sering menganggap bahwa pekerja hanyalah sebagai objek dalam hubungan kerja.
Keadaan ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan melakukan perbuatan sewenang-wenang kepada pekerja rumah tangga. Hubungan antara Pekerja Rumah Tangga dengan pengguna jasa banyak dikondisikan dalam hubungan kekeluargaan yang dalam banyak hal mengaburkan hubungan kerja yang berakibat pada hak-hak pekerja tidak terukur.

Pekerja dari Sudut Yuridis dan Sosial Ekonomis

Sejumlah perempuan yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk RUU PRT menggelar aksi di depan gerbang Parlemen RI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (1/2/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kedudukan pekerja pada hakikatnya dapat ditinjau dari dua aspek, yakni aspek yuridis dan aspek sosial ekonomis. Dari segi yuridis kedudukan pekerja sama dengan majikan. Namun, secara sosial ekonomis kedudukan pekerja adalah tidak sama (terutama yang unskilled labour), sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain terpaksa bekerja pada orang lain.
ADVERTISEMENT
Pemberi kerjalah pada dasarnya memberikan syarat-syarat kerja (top-down). Berangkat dari sinilah, PRT membutuhkan perlindungan hukum dari negara atas kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dari majikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah ketenagakerjaan adalah bagian integral dari masalah ekonomi, sehingga masalah pembangunan ketenagakerjaan juga merupakan bagian dari masalah pembangunan ekonomi.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang ada sekarang, persoalan PRT sering tampak ke permukaan dari berbagai daerah di Indonesia. Hal ini yang mencerminkan tanda-tanda banyaknya permasalahan yang dialami PRT. Namun, sampai saat ini belum ada perlindungan hukum yang memadai terhadap PRT tersebut.
Situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan pekerja. Pekerja rumah tangga dalam menjalankan pekerjaannya termasuk dalam pekerjaan yang tidak memiliki norma-norma hukum selayaknya pekerja formal yang diatur dalam UUK sehingga hak-hak sebagai pekerja terabaikan.
ADVERTISEMENT
Tidak adanya peraturan khusus tentang pekerja rumah tangga sehingga dianggap perlu untuk melindungi PRT dan membuat aturan tentang perlindungan PRT sebagai dasar Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan secara Internasional Konvensi ILO Nomor 189 Tahun 2011 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, sudah saatnya dibuat kebijakan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga melalui asas kepastian hukum.

Penting Adanya Perlindungan Hukum

Sejumlah peserta yang tergabung dalam Ibu-ibu PRT (Pekerja Rumah Tangga) menggelar aksi di Taman Aspirasi Monumen Nasional, Jakarta pada Rabu (21/12/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dari lemahnya posisi nasib PRT di atas, jelas diperlukan adanya peraturan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. Peraturan terhadap pekerja rumah tangga ini diberikan dengan mengingat asas penghormatan hak asasi manusia dan keadilan serta kesetaraan.
Perlindungan tersebut bertujuan untuk memberikan pengakuan secara hukum atas jenis pekerjaan PRT, pengakuan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan memiliki nilai ekonomis, mencegah segala bentuk diskriminasi, pelecehan dan kekerasan terhadap PRT, dalam mewujudkan kesejahteraan, mengatur hubungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan (Turratmiyah Sri, Annalisa Y,2013).
ADVERTISEMENT
Dalam kaitan itu, ILO (International Labour Organization) telah melahirkan sebuah konvensi yaitu ILO Convention 189 Decent Work for Domestic Workers pada tahun 2011 yang mengingat bahwa pekerjaan rumah tangga masih terus diremehken dan tidak terlihat.
Serta utamanya dikerjakan oleh perempuan dan anak perempuan, yang sebagian besar merupakan migran atau anggota masyarakat yang secara historis tidak beruntung dan oleh karena itu sangat rentan terhadap diskriminasi dalam hal kondisi kerja dan pekerjaan, dan terhadap pelecehan hak asasi lain, dan mengingat juga bahwa, pekerja rumah tangga merupakan salah satu angkatan kerja yang terpinggirkan.
Untuk itu mendesak adanya sebuah peraturan untuk melengkapi standar umum dan standar khusus bagi pekerja rumah tangga, yang memungkinkan mereka untuk menikmati hak-hak mereka secara penuh.
ADVERTISEMENT
Alasan yuridis mengenai perlindungan PRT sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 27 UUD 1945, dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 poin 12 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan hak anak adalah bagian dari HAM yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.
Serta Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu: mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
ADVERTISEMENT

Permenaker Belum Akomodatif

Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Ida Fauziyah (keempat kiri) bersama Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro (ketiga kiri) mengikuti Pawai Dukung Percepatan Pengesahan RUU PPRT bersama Komnas HAM di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta. Foto: Muhammad Adimaja/Antara Foto
Permenaker Nomor 2 tahun 2015, mengatur mengutamakan perlindungan dengan menggunakan skema pelaksanaan hak-hak normatif sebagai pekerja, namun tetap menghormati kebiasaan, budaya dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat setempat.
Mengenai sanksi bagi LPPRT (Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga) yang melakukan pelanggaran, aturan Permenaker No.2 tahun 2015 mengancam memberikan sanksi tegas. Mulai dari sanksi ringan berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha LPPRT hingga pencabutan izin oleh gubernur. Termasuk soal pemberian izin, perpanjangan dan pencabutan serta pengawasannya diserahkan kepada Gubernur.
Kelemahan Permenaker Nomor 2 tahun 2015 tidak merinci hak-hak sebagai pekerja, seperti standardisasi, upah, pengaturan jam kerja dan waktu istirahat, jaminan kesehatan, cuti mingguan dan cuti tahunan, hak untuk berkomunikasi dan berserikat, serta perjanjian tertulis dan bukan lisan.
ADVERTISEMENT
Permenaker Nomor 2 tahun 2015 ini tidak mengacu pada UU No.13 tahun 2003 Bab X tentang waktu kerja, Pasal 78 waktu lembur, Pasal 79 tentang waktu istirahat dan cuti, Pasal 86 tentang keselamatan dan kesehatan kerja, Pasal 88 tentang pengupahan, Pasal 89 tentang jaminan sosial tenaga kerja.
Jadi sesungguhnya Permenaker No.2 tahun 2015 ini belum mampu menjangkau UU No.13 tahun 2003 dalam hubungan kerja. Karena Pekerja Rumah Tangga dianggap tidak dipekerjakan pengusaha.
Pekerja Rumah Tangga tidak mendapatkan perlindungan yang diberikan undang-undang terhadap pekerja lainnya. Jadi berdasarkan penafsiran substansi UU nomor 13 tahun 2003, secara hukum Pekerja Rumah Tangga belum mendapatkan perlindungan hukum.

RUU Mendesak Disahkan

Sejumlah PRT membawa poster saat mengikuti acara Pawai Dukung Percepatan Pengesahan RUU PPRT bersama Komnas HAM di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta, Minggu (12/2/2023). Foto: Muhammad Adimaja/Antara Foto
Di Indonesia, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Pekerja dan Kondisi Kerja PRT sudah disusun sejak tahun 2004, dengan bantuan teknis dari ILO. Pada tahun 2023 ini, desakan agar RUU tersebut segera disahkan menguat.
ADVERTISEMENT
Bahkan Menkopolhukam, Mahfud MD, mendesak DPR untuk serius segera mengesahkannya. Alasan Mahfud MD, di samping posisi hukum lemah juga menjadi utang pemerintah jika dikaitkan dengan “konsep” Nawacita yang dulu dicanangkan Presiden Jokowi.
Tidak segera disahkannya RUU PPRT maupun ratifikasi Konvensi 189 ILO, jelas makin memperpanjang penderitaan kaum PRT. Atas dasar itu, saatnya pemerintah dan DPR memberi martabat pada mereka dengan disahkannya RUU ini menjadi undang-undang. Sayangnya seiring menjelang tahun politik 2024, RUU ini kembali mengalami nasib malang seolah kembali terlupakan.