Ini Caraku Menikmati Resesi 2023, Mana Caramu?

Agoeng Widyatmoko
Penulis dan entrepreneur di DapurTulis.
Konten dari Pengguna
2 November 2022 20:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agoeng Widyatmoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hadapi resesi dengan optimis dan senyuman (Sumber foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Hadapi resesi dengan optimis dan senyuman (Sumber foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tetaplah optimis meski para pengamat memberikan peringatan kemungkinan badai ekonomi akibat resesi 2023. Bagaimana caranya?
ADVERTISEMENT
Hampir setiap membuka berita ekonomi, tahun 2023 seolah akan menjadi tahun yang gelap. Begitu banyak analisis, dari yang profesional, amatiran, hingga yang asal copy paste pendapat orang. Benarkah resesi akan terjadi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, resesi dimaknai sebagai “Kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti); menurunnya (mundurnya, berkurangnya) kegiatan dagang (industri)”. Jika diambil dari makna ini, sebenarnya yang terjadi bukanlah gelap, tetapi samar. Kegiatan ekonomi memang berkurang, namun tidak mati. Ekonomi masih terus bergerak, hanya melambat.
Sayangnya, beberapa influencer kemudian mengolah isu resesi ini menjadi konten yang membuat orang takut. Amerika akan hiperinflasi, harga-harga bakal melambung naik tinggi. Rupiah akan ambruk, bahkan jika dibandingkan peristiwa 1998 lebih terpuruk. China disebut juga akan mengalami kelesuan ekonomi, membuat kita jadi jeri.
ADVERTISEMENT
Sayang, ada yang jarang mereka ceritakan. Setelah lolos 1998, apakah semua mati? Setelah resesi 2020 akibat pandemi, apakah kita lantas gelap dan tak bisa berbuat apa-apa lagi? Beruntung kita mengenal teori Darwin yang menyebut manusia itu bisa bertahan dengan beradaptasi. Maka, mari para influencer, jangan lagi membuat momok resesi. Ubah saja menjadi "resepsi". Sebab, mirip kok dampaknya. Tak percaya? Coba hitung, berapa uang yang kamu sumbangkan ke yang punya hajatan dengan makanan yang kamu habiskan. Rata-rata—asal tahu malu—pasti defisit. Sumbangan biasanya lebih besar daripada yang kamu dapat, dari makanan dan suvenirnya. Tapi kita tetap semringah dengan senyum merekah bukan?
Tapi bagaimana caranya mengubah resesi jadi "resepsi"? Ini sedikit sharing dari pengalaman pribadi ketika mengalami rentang beberapa kali resesi. Tahun 1998 mengalami rasanya mengantri beras. Dolar meninggi bikin semua harga naik. Tahun 2006 merasakan gempa bumi, rumah hancur di Jogja. Tahun 2008 kelesuan ekonomi dunia bikin beberapa proyek melayang entah ke mana. Tahun 2020 muncul pandemi covid yang bikin ke mana-mana sulit. Tahun 2022 kejadian minyak goreng langka plus BBM naik bikin harga memancing emosi. Menghadapi itu semua, ternyata rumusnya sederhana, 3S. Sabar, Sadar, Sambar.
ADVERTISEMENT
Sabar
Ini kalimat paling absurd yang selalu diucapkan pada yang mengalami musibah. Ojo omong thok! Jangan asal omong! Tapi yakinlah, ini bukan sekadar kata penyemangat. Kata ini dalam kamus berarti “tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati)”. Pokoknya tahan. Kalau capek, tahan. Lapar dikit, tahan. Nggak punya duit, tahan. Dalam sebuah teori psikologi, sebenarnya manusia punya batasan tertentu dalam menghadapi masalah. Nah, saat ia bisa bertahan lalu mendobrak batasan itu, ia akan otomatis naik kelas. Mirip sekolah. Habis ujian, lalu ada kenaikan tingkat bukan? Inilah fungsinya kesabaran. Untuk mendobrak batasan agar kita dirancang menjadi pemenang.
Sadar
Ini proses evaluasi diri dan tahu di mana posisi kita saat ini. Dulu, saat krisis moneter 1998 dan di kota kebanyakan terjadi kerusuhan, saat pulang ke desa kami aman-aman saja. Kalau ada yang nggak punya makan, mengetuk pintu tetangga, sepiring nasi dan satu mangkuk sayur kuah cukup buat bertahan. Hampir tidak ada keluhan di desa yang jauh dari ingar-bingar kerusuhan. Apalagi saat itu belum zamannya media sosial. Dalam konteks ini, kita harus sadar di mana kita sedang berada saat ini. Misalnya, gaji sekian juta. Kalau kurang, coba cari mana yang bisa dihemat. Kalau merasa tak bisa lagi dihemat, coba gunakan alternatif lain. Dari biasanya jajan, ganti dengan masak sendiri di rumah. Dari biasanya makan daging, ganti dengan telur. Dari biasanya telur, ganti dengan suwiran nangka. Pokoknya asal masih hidup, selalu ada cara yang bisa dilakukan. Jangan terlalu peduli pada yang mengumbar gaji Rp1 miliar atau ratusan juta per bulan. Atau masih gonta-ganti gadget saat ekonomi konon bakal membelit. Ssst… utang mereka juga boanyaaak. Percayalah! Sadar ini akan memunculkan banyak alternatif pandangan lain tentang bagaimana kita bisa survive.
ADVERTISEMENT
Sambar
Setelah sabar, sadar, sambar ini adalah proses di mana kita melawan keterbatasan akibat tekanan. Ibarat jatuh ke jurang paling dalam, pilihannya hanya satu, naik. Karena mentok-sementoknya, the power of kepepet akan jadi kekuatan baru yang bisa jadi penyelamat, minimal penyemangat. Selalu ada peluang baru di tengah tekanan yang muncul. Kita dianugerahi akal pikiran yang supercanggih. Asal mau gerak, ada saja peluang dan kemungkinan yang bisa kita garap. Mulai dari apa yang kita mampu, apa yang kita suka, apa yang kita bisa. Contoh saat pandemi tempo hari. Berapa banyak ibu-ibu yang tiba-tiba laris jualan aneka panganan dari rumahnya. Berbekal ponsel dan layanan antar online. Berapa banyak pemain saham pemula yang berbekal internet dan uang simpanan, tiba-tiba berhasil mengeruk laba karena kepepet nggak punya pekerjaan lagi. Seperti ungkapan buku Ibu Kartini, Habis Gelap, Terbitlah Terang.
ADVERTISEMENT
Kita masing-masing pasti punya cara untuk bertahan. Kita sudah terlatih untuk itu. Mari, kita ubah resesi jadi "resepsi" masal. Kita hadapi resesi dengan senang hati dan nikmati setiap hari. Tahun 2023 sudah di depan mata. Tapi sepanjang akal, hati, pikiran, dan kaki tangan masih mampu berkarya, resesi tahun 2023--itu pun kalau terjadi--hanyalah jalan untuk mendaki, naik lebih tinggi.