Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Muda dan Berguna
27 Oktober 2021 12:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Suhito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun lalu, dalam siaran persnya, Bappenas telah mengumumkan bahwasanya Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi pada rentang waktu 2030 – 2040. Ini artinya penduduk dengan usia 15-64 tahun yang kemudian diistilahkan sebagai penduduk usia produktif itu akan melimpah. Jumlahnya ditaksir akan mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk. Sementara itu total jumlah penduduk Indonesia sendiri diprediksi akan mengalami peningkatan sebesar 290an juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Kemudian dan sampai hari ini berbagai diskusi, kajian, sampai kepada 'peta jalan' untuk memaksimalkan bonus tersebut terus dihadirkan. Urgensinya sangat jelas. Produktif harus sejalan dengan kapasitas dan kualitas. Andai tersilap, apalagi sengaja diabaikan maka kata produktif tersebut hanya selesai dalam tataran angka-angka usia saja.
Sejalan dengan prediksi-prediksi di atas, seharusnya dengan keadaan masa kini kita juga harus bisa memprediksikan apakah kemudian bonus tersebut bisa dinikmati? Atau malah sebaliknya. Menjadi saldo-saldo beban untuk kehidupan mendatang.
Apalagi di tengah era disrupsi. Bukan hanya batas negara yang seakan-akan sirna, tetapi batas-batas kehidupan pribadi pun semakin "ditelanjangi". Arus informasi tidak hanya keluar – masuk tanpa batas, namun deras arusnya sudah berpacu dengan ketukan detik-detik waktu itu sendiri. Maka tanpa harus menunggu hasil survei, dari keadaan yang demikian, masing-masing kita seharusnya mengamati, menganalisis, dan memberikan tindak lanjut yang solutif. Jika belum, lakukanlah sekarang juga.
ADVERTISEMENT
Sekarang, apa yang kita temukan atas pola tingkah generasi penerus bangsa itu? Baik untuk mereka yang tertatap langsung maupun sosok-sosok yang tertangkap dari akses teknologi yang berada di genggaman kita saat ini.
Mereka yang hari ini akan menuju rentang usia 15-64 itu bisa diperhatikan dalam dua segmen. Dua segmen yang bersatu dalam rentang usia. Mereka adalah pemuda dan generasi milenial. Bonus demografi itu di antaranya berasal dari generasi yang didefinisikan terlahir pada tahun 1980 – 1990 atau sampai awal tahun 2000.
Generasi yang identik dengan kemelekatan pada teknologi ini sering diagungkan lebih "canggih" dari generasi sebelumnya. Sementara itu, untuk definisi pemuda sendiri, jika meminjam definisi dari Undang-Undang Kepemudaan, maka mereka adalah warga negara yang berusia 16-30 tahun. Usia yang juga lengket dengan kemajuan teknologi.
ADVERTISEMENT
Agaknya akibat begitu intimnya kehidupan mereka dengan teknologi hingga mengakibatkan semakin renggangnya interaksi sosial di dunia nyata. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, saat ini gema interaksi sosial itu sendiri telah bergeser ke dalam ruang maya: dunia sosial media.
Pusat Data Republika pernah merilis beberapa spesifikasi generasi ini dalam kehidupan. Misalnya dalam bekerja. Mereka lebih memilih pekerjaan yang katanya 'bermakna' ketimbang sekadar urusan bayaran. Negatif dari kondisi yang demikian adalah munculnya istilah 'kutu loncat' yang disematkan kepada mereka. Buah dari gonta-ganti pekerjaan. Sekali lagi, bisa jadi itu disebabkan bukan melulu soal bayaran. Tetapi memang karena pengaruh 'ketidaknyamanan' dari perspektif mereka.
Untuk urusan hiburan juga demikian. Data tersebut menyatakan generasi itu menghabiskan waktu yang luar biasa yakni 18 jam perhari untuk menikmati layanan tontonan on demand, bermain gim, atau sekadar menonton televisi konvensional.
ADVERTISEMENT
Memang secara mengejutkan, kadang di antara mereka mampu melahirkan berbagai prestasi dan model profesi yang prestisius. Hal yang barangkali tidak pernah terjamah, bahkan terpikirkan oleh generasi sebelumnya. Akan tetapi, hadirnya sisi prestasi ini jangan sampai menutup mata kita untuk mengabaikan sisi-sisi gelap lainnya.
Oleh karena itu, milenial dan pemuda hari ini haruslah menjadi sumber perhatian bangsa. Mereka haruslah dipandang sebagai sumber daya atau modal besar bagi negara. Mereka harus diasuh dan diasah secara tepat. Bukan sekadar cepat.
Milenial dan pemuda bukan hanya jargon semata. Apalagi hanya dijadikan atau pasar suara dalam kontestasi politik. Kedekatannya dengan kemajuan teknologi juga harus segera diterjemahkan dengan upaya menjadikan mereka sebagai pemain utama. Bukan hanya sebagai follower semata.
ADVERTISEMENT
Kita semua masih berharap gegap gempita bangsa menyongsong hadirnya kemelimpahan demografi itu benar-benar terasa sebagai bonus. Bernilai guna , minimal bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Berguna. Inilah indikator utama jika kita ingin mengamati pola tingkah generasi penerus bangsa itu saat ini.
Berguna. Bukan hanya menyandang predikat milenial atau muda saja.
Selamat memaknai Hari Sumpah Pemuda tahun 2021!
Suhito, Direktur Eksekutif Rumah Sosial Kutub & Pelopor Gerakan Sedekah Minyak Jelantah