Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Konten dari Pengguna
Demonstran Itu Bernama Soe Hok Gie
15 Agustus 2017 16:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Soe Hok Gie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tak ada yang lebih menyeramkan bagi penguasa selain mahasiswa yang berani bersuara. Penguasa akan punya tugas baru: membungkam suara-suara "liar" itu dari pemerintahan. Ialah Soe Hok Gie, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia angkatan '62, sosok yang selalu berada dalam garda terdepan melakoni gerakan mahasiswa, dan menyalak riak dalam tiap rapat.
ADVERTISEMENT
Gie adalah aktivis mahasiswa pengutuk kemunafikan. Ia menyaksikan kawan-kawan idealis seperjuangannya dahulu malah membelot dan menjadi bagian dari pemerintahan selepas melenggang dari kampus.
Pria kelahiran 17 Desember 1942 ini adalah salah satu motor Aksi Tritura 1966, aksi besar mahasiswa yang dipicu oleh keadaan ekonomi yang morat-marit dan geliat Gerakan 30 September yang bikin cacat bangsa dari banyak sudut, sehingga harus diputus mata rantainya.
Namun, Orde Baru juga tak pelak sempurna dari cacat keadilan, bahkan lebih pincang dari Orde Lama. Hal ini mengusik naluri kemanusiaan Gie atas pembantaian massal yang dilakukan orde pimpinan Soeharto tersebut.
Ia menyaksikan bagaimana pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI berlangsung tanpa ampun di negeri ini. Geramlah ia dengan pemerintah yang berusaha mengontrol pemikiran umum serta menyulut kebencian terhadap sesama rakyat. Atas dasar inilah, ia menulis protes keras terhadap pemerintahan Soeharto, bukan atas nama pembelaan terhadap ideologi komunisme, namun terhadap penegakan hukum, keadilan, dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Soe Hok Gie adalah bukti bahwa aksi konkret dapat lebih berharga bagai emas dibanding hanya bungkam, dan aksara dapat bicara lebih keras daripada dentum senjata. Tulisan-tulisannya yang mengkritik ketidakberesan Orde Lama dan Orde Baru, pandangannya tentang kehidupan, cinta, dan kematian, dapat dibaca oleh generasi ke generasi melalui buku hariannya, "Catatan Seorang Demonstran".
Selain ganas dalam kepungan debu jalanan, ia adalah penikmat embun pegunungan. Atas cintanya terhadap alam dan kejenuhannya terhadap intrik busuk politik negara, ia dan kawan-kawannya menginisasi MAPALA UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia). Bukti cintanya terhadap alam ia buktikan lewat rebahan tubuhnya hingga napas terakhir di Gunung Semeru, di mana ia mati muda karena menghirup gas beracun Kawah Gunung Semeru.
ADVERTISEMENT
Sang idealis itu gugur di sana, namun jauh hari ia telah merapal bahwa mati muda lebih indah dibanding hidup sampai berumur tua.