Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perubahan Prosesi Tradisi Tingkepan Di Desa Andongsari
15 Juli 2024 17:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Sofa Faizatin Nabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seiring perkembangan zaman, sebuah tradisi mengalami perubahan- perubahan baik dari segi pelaksanaan atau prosesi maupun makna. Perubahan itu sendiri dapat dilatar belakangi oleh berbagai macam hal, bisa dari dalam masyarakat itu sendiri mapun dari luar, sehingga dapat mempengarunhi keaslian dalam pelaksanaan suatu tradisi kebudayaan tertentu. Berbagai macam cara yang digunakan oleh suatu kelompok masyarakat dalam mempertahankan eksistensi suatu kebudayaan yang telah dijaga serta dilestarikan dari dahulunya, mulai dari nenek moyang mereka sampai detik ini. Hal ini juga terlihat dalam tradisi tingkepan di Desa Andongsari Kecamatan Ambulu. Tradisi tingkepan sendiri biasa disebut juga mitoni (mituni, mitu, pitu) merupakan salah satu ritual slamaten dalam siklus hidup manusia yang masih berlaku pada masyarakat Jawa yang dimaksudkan untuk mendoakan sang ibu agar kelak saat persalinan diberi kelancaran dan kemudahan. Usia tujuh bulan dipilih karena pada usia tersebut, keadaan bayi sudah manggon (tetap), siap untuk keluar ke dunia.
Tradisi ini awal mulanya dilaksanakan dengan serangkaian prosesi secara lengkap yang sudah diturunkan oleh nenek moyang mulai dari siraman, sungkeman, pecah telur, memutus janur, brojolan, berjualan rujak dan dawet, dan lain- lain. Namun sekarang mengalami perubahan dalam pelaksanaannya di Desa Andongsari. Perubahan dalam tradisi tingkeban di desa tersebut terlihat dalam pengurangan, pengikisan, percampuran, pergantian bahkan penghilangan tradisi tingkepan. Di desa Andongsari terdapat percampuran kebudayaan tingkepan sebelumnya dari nenek moyang dengan kebudayaan islam, sehingga bisa dikatakan di Desa Andongsari tercipta akulturasi antara kebudayaan Jawa dan Islam dalam tradidi tingkeban. Tingkepan dilakukan dengan tradisi slametan biasa. Serangkain kegiatan yang dilakukan adalah khataman al quran yang dimulai dari setelah subuh sampai sore hari. Tujuan pembacaan Al-Quran adalah ada harapan agar anak yang dikandung menjadikan Al- Quran sebagai pedoman hidupnya. Malam harinya, tuan rumah mengadakan tahlil dan doa- doa dengan harapan sang anak dan ibu dibei keselamatan, kesehatan, kelancaran dalam proses persalinan. Selain itu mendoakan itu sang anak agar kehidupannya nanti dapat menjadi anak yang salih maupun salihah.
Adapun prosesi tradisi tigkeban ini dipimpin oleh tokoh agama di sekitar yang dianggap mempunyai ilmu agama yang mumpuni. . Tokoh agama mengirimkan tawasul kepada kepada bayi dan menyebut nama ibunya misalnya “Latifah” agar diberi keselamatan dalam proses melahirkan. Hal ini menunjukkan perbedaan dalam tradisi tingkepan yang sebelumnya dimana tradisi tingkepan dipimpin oleh dukun maupun sesepuh yang kental dengan adat kejawennya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Desa Andongsari mulai mengurangi prosesi dalam tradisi tingkeban yang dilakukan oleh nenek moyang terdahulu, seperti upacara sungekam, siraman, pecah kelapa, sungkeman, hanya menyisakan beberapa saja. Hal ini masyarakat Andongsari yang masih menjaga tradisi kejawennya tetap memasukkan beberapa prosesi yaitu kenduri atau slametan dan pemberian berkat kepada tamu yang terdapat kelengkapan ubo rampe, seperti rujak, ambengan, dawetan, jenangan, polo pendem, dan lainnya yang mempunyai filosofi tersendiri dalam masyarakat Jawa. Masyarakat masih menganggap bahwa “wong jowo ojo ilang jawane” artinya Orang Jawa jangan melupakan tradisi- tradisi yang ada di Jawa yang sudah diturunkan oleh turun- temurun.
“Sekarang banyak yang terkikis mbk, namun ya masih ada yang melakukannya namun mengurangi prosesinya. Ada yang hanya siraman atau kenduri saja, ada yang masih sungekan siraman dan pecah kelapa saja. Yang masih ada kebanyakan adalah kegiatan slametan dan kenduri nanti tamu yang datang dikasih nasi berkat yang isinya dawet, jenang, polo pendem, rujak ” Ujar Ibu Wahyuni
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama di Desa Andongsari bahwa meskipun secara pelaksanaan perubahan dari segi pengurangan maupun perpindahan dengan prosesi lainnya, namun secara makna tradisi tingkeban ini masih sama yaitu sebagai sarana untuk memohon doa kepada sang pencipta agar ibu dan jabang bayi yang dikandung saat proses kelahiran diberi kesehatan dan keselamatan. Selain itu mendoakan agar anak yang dikandung menjadi anak yang bisa meneruskan agama dan bangsa.
“Meskipun pelaksaannya ada yang berbeda namun makna tingkeban maupun piton- piton sama halnya yang diajarkan leluhur sama yaitu untuk memohon kepada sang pencipta keselamatan dan kelancaran saat melahirkan. Selain itu agar anak yang dikandung menjadi anak yang salih maupun salihah” Kata bapak Syahroni
ADVERTISEMENT
Faktor Perubahan Tradisi Tingkepan
Perubahan- perubahan dalam tradisi tingkepan di masyarakat Desa Andongsari disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah perubahan pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa tradisi tingkeban dengan berbagai prosesi didalamnya sebagai susuatu yang masih bersifat kuno, karena masih percaya terhadap ritual – ritual yang di simbolkan kepada upacara maupun benda – benda dalam tradisi tingkeban. Apalagi perkembangan pandangan islam di Desa Andongsari begitu kuat, sehingga mereka menganggap bahwa kepercayaan terhadap hal- hal yang bersifat magis tidak sesuai dengan ajaran agama, sehingga kepercayaan mereka hanyalah dengan sang pencipta Allah SWT. Dengan dasar itulah sesuai dengan perkembangannya tradisi ini mulai mengubah sedikit dan manambahkan hal yang berbau keagamaan islam didalamnya seperti khataman al quran, tahil dan doa.
ADVERTISEMENT
“Ya masyarakat menganggap itu hal yang tidak masuk akal, sudah kuno, apalagi tokoh agama mulai mengajak masyarakat untuk mengadakan hal- hal yang keislaman seperti khatmil quran, tahlil dan doa untuk bayi dan ibu yang mengandung” Kata Bapak Syarif
Dalam kutipan wawancara diatas, dalam beriringan dengan perubahan dunia yang semakin berkembang, maka memungkinkan perubahan- perubahan yang terjadi dalam suatu kebudayaan. Benar kata Clifford Geertz dalam sebuah artikel yang mengungkapkan bahwa perubahan kebudayaan terjadi karena terjadi cara pandang dan interpretasi masyarakat terhadap fakta atau realitas dalam masyarakat tersebut. Selain itu juga selaras dengan ungkapan Margaret Mead bahwa perubahan suatu kebudayaan .
Anggapan masyarakat bahwa berbagai prosesi tingkepan merupakan rimbet dan dan rumit juga mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk mengurangi beberapa prosesi tradisi tersebut. Bayangkan saja apabila masyatakat mengadakan lengkap semua prosesi tersebut bisa saja butuh biaya, waktu dan tenaga yang banyak karena tidak mungkin hanya dilakukan hanya 1-2 hari. Bahkan persiapanya dan pelaksanaan prosesi biasanya membutuhkan waktu seminggu atau lebih. Oleh karena itu masyarakat memilih prosesi tingkeban yang simple, mudah dilakukan, dan sedikit biaya yang dikeluarkan. Banyak dari masyarakat Ambulu tidak tahu makna mendalam dari tradisi tingkepan tersebut. Bagi mereka pokok dari peringatan acara tingkepan adalah hanya titen atau menandai bahwa bayi yang dikandungnya sudah menginjak tujuh bulan. Oleh karena itu secara perlahan tradisi tersebut mengalami perubahan, pengikisan bahkan penghilangan dari Desa Andongsari.
ADVERTISEMENT