Meradikalisasi Pancasila: Penegasan Ulang Pancasila sebagai 'Penanda Kosong'

Sofah D Aristiawan
Pekerja kreatif penerbit Komunitas Bambu
Konten dari Pengguna
10 Juni 2021 22:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofah D Aristiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sukarno di Hari Lahir Pancasila (Foto: flickr.com)
zoom-in-whitePerbesar
Sukarno di Hari Lahir Pancasila (Foto: flickr.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tepat di bulan Pancasila ini saya ingin mengajak segenap pembaca untuk membuat semacam eksperimen pikiran (thought experiment) di dalam kepala tentang Pancasila sampai pada kemungkinan yang bahkan karena fakta politik hari-hari ini menjadi tak mungkin: Mungkinkah Pancasila melindungi, bahkan membela ide serta eksistensi FPI?
ADVERTISEMENT
Politik Hari Ini
30 Desember 2020 lalu FPI resmi dibubarkan pemerintah karena persoalan keamanan, hukum, dan ketertiban umum. Namun, sulit bagi nalar publik untuk menyampingkan tebalnya alasan politis di balik pembubaran tersebut.
SKB 6 menteri itu bisa dikatakan sebagai ujung dari rentetan manifestasi dari ketakutan berlebih pemerintah terhadap indikasi menguatnya “radikalisme” Islam saat Pilkada Jakarta 2017 yang dipelopori Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan FPI-nya. Bahkan sebelumnya, sehabis konflik dan konfrontasi dalam politik elektoral itu sampailah mengharuskan pemerintah membentuk sebuah badan yang “menjaga” Pancasila.
Artinya, bagi pemerintah, menghadirkan kembali Pancasila secara formal institusional adalah solusi dari problem “radikalisme” Islam yang notabenenya dinilai dapat membahayakan Pancasila. Dengan menyeret Pancasila masuk dalam politik praktis (day-to-day politics) itulah, kita melakukan eksperimen pikiran.
ADVERTISEMENT
Pancasila mesti diuji-bincangkan juga ketika FPI, menariknya, pada kenyataannya sama sekali tidak pernah menolak Pancasila, malah rutin mengonfirmasi pentingnya Pancasila. Yang mungkin bisa dipersoalkan adalah saat Pancasila diarahkan dalam kerangka kesesuaian dengan ajaran Islam. Bahkan HRS kerap memosisikan Pancasila sebagai elemen dalam hegemoni politik Islam.
Namun, bukankah artikulasi semacam itu tak jauh berbeda dengan, misalnya, PDI-P yang menghendaki Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar dalam membentuk dan membangun karakter bangsa (Visi dan Pasal 6 Anggaran Dasar PDI-P)?
Artinya, secara empiris, Pancasila sudah membuka dirinya untuk kemungkinan menjadi arena bagi berbagai kelompok sosial untuk mengartikulasikan kepentingan, identitas, dan keagensiannya dengan memobilisasi bermacam modalitas yang dimilikinya. Perpaduan, bahkan perbenturan, antar-beragam praktik politik dalam mengisi dan mendeterminasi arena tersebut tentu saja selalu ada dan tak bisa dielakkan.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, konflik dan konfrontasi memperebutkan hegemoni atas konstruksi Pancasila akan terus-menerus menampil, bahkan cenderung “kasar” seperti politik hari-hari ini. Tepat di titik itulah, Pancasila mendapatkan pujian sekaligus kritikan.
Ilustrasi Garuda Pancasila. Foto: Shutter Stock
Dua Fungsi Pancasila
Pancasila mesti dipuji karena kedudukannya sebagai penjaga persatuan Indonesia. Hal ini penting ditekankan bahkan sedari awal motif perumusannya. Dalam sidang-sidang BPUPK-PPK jelas bahwa Pancasila adalah sebuah konsepsi ideal hasil dari suatu perjanjian politik yang diadakan dalam rangka menjamin persatuan nasional dari suatu entitas politik bernama Indonesia yang merdeka.
Mula-mula argumentasi itu tampak dalam rangka suatu kebutuhan politik. “Kita bersama-sama mencari persatuan Philosophische grondslag (dasar falsafah), mencari satu Weltanschauung (pandangan dunia) yang kita semua setuju... yang menjadi dasar Indonesia Merdeka (Sukarno, 1 Juni 1945).”
ADVERTISEMENT
Jadi, Pancasila muncul dan perlu ada sesungguhnya untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan praktis, yakni sebagai syarat minimal yang menandakan pendirian suatu negara modern baru serta menjadi pandangan bersama yang mampu mempersatukan dan dapat diterima semua golongan.
Posisi Pancasila sebagai instrumen persatuan terus berlanjut di sepanjang sejarah pendirian republik ini. Pertama, ketika disepakatinya Piagam Jakarta untuk mengakomodasi keberatan golongan Islam atas Pancasila 1 Juni 1945. Kedua, ketika diketuk-palunya Pancasila 18 Agustus 1945 untuk memenuhi tuntutan dan “perasaan” dari wilayah timur Indonesia yang mayoritas penduduknya non-muslim. Motif kedua momen tersebut sama: demi mencapai, dalam bahasa Hatta, kesatuan Indonesia yang bulat.
Dengan demikian, Pancasila hadir dan dikukuhkan secara politik sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan persatuan dan keutuhan Indonesia dari kemungkinan perpecahan akibat dari pelbagai perbedaan sosial-antropologis (agama, etnis, dan budaya).
ADVERTISEMENT
Namun, sebagai hasil sebuah, katakanlah, konsensus politik, pengertian Pancasila seperti itu selalu rapuh terhadap pelbagai upaya pemaknaan dan penafsiran melalui klaim-klaim politik (political claims) atasnya. Bertolak dari itu, Pancasila mulai mengalami teoritisasi dan intelektualisasi yang justru, celakanya, lebih banyak diorientasikan pada politik kekuasaan yang sempit.
Pertama, proses dialogis dalam Konstituante 1956-1959 dihentikan—dengan anjuran dan dukungan penuh Angkatan Darat—sebuah dekret yang basisnya keperluan politik presiden untuk mempertahankan kekuasaan politiknya sekaligus sebagai dasar legitimasi kepentingan politik presiden: Nasakom dan Manipol-Usdek.
Kedua, filosofikasi yang berlebihan oleh rezim Orde Baru membuat Pancasila dikukuhkan sebagai sebuah doktrin yang tampak mutlak, diinstitusionalisasikan ke dalam sistem belief, bahkan dijejalkan menjadi pola tingkah laku per individu: dari konsepsi Demokrasi “Pancasila” sampai mendefinisikan manusia dan keluarga “Pancasila”.
ADVERTISEMENT
Alhasil, setiap upaya mengkonstruksi Pancasila sebagai ideologi malah terjebak juga dalam political claims, apalagi klaim yang paling hegemonik itu datangnya dari rezim kekuasaan. Akibat darinya mudah diduga: alih-alih melakukan diskursus rasional yang dialogis—seperti masa awal perumusannya—negara mengambil langkah represif dalam upayanya mendefinisikan dan menerapkan Pancasila.
Yang juga luput dari segala upaya mengilmiahkan dan mensistematisasikan Pancasila adalah besarnya kemungkinan untuk mengeksklusi yang lain melalui pemecahan subjek-subjek ke dalam “Revolusioner” dan “Kontra Revolusioner” atau “Pancasilais” dan “Bukan Pancasilais“, begitu pula pelabelan “PKI” di era Orde Baru atau “Taliban” seperti dalam politik hari ini.
Kedua langkah tersebut berakibat pada pudarnya imaji tentang persatuan nasional yang bulat, yang justru sebagai fungsi akhir dan utama Pancasila sebagaimana ketika ia dirumuskan. Dengan kata lain, dalam sejarah dan praktik politiknya, penggunaan Pancasila lebih sering bukan mempersatukan Indonesia, melainkan justru membelah Indonesia sebagai kesatuan entitas politik. Di sini, Pancasila tentu perlu dikritik.
ADVERTISEMENT
Melihat itu semua, perlu adanya kearifan untuk mengakui bahwa Pancasila terlampau sulit untuk dikatakan sebagai ideologi dalam artian memiliki susunan dan bangunan gagasan tentang manusia dan masyarakat secara ketat, terperinci dan sanggup dioperasionalkan seperti liberalisme dan Marxisme, misalnya.
Dua ideologi modern itu lahir dari proses transformasi sosial yang panjang dan menyejarah, sedang Pancasila muncul karena adanya momen khusus disertai kebutuhan praktis untuk menjamin kemajemukan dan kesatuan nasional. Karenanya, ideologisasi—bila ingin dikatakan demikian—terhadap Pancasila dilakukan setidaknya setelah momen politik tersebut berlangsung.
Artinya, proses memberi dasar filosofis yang solid dan menggali Pancasila sebagai filsafat politik dimungkinkan terjadi bukan sebab potensi dari dalam dirinya, tetapi dari ide atau paham di luar dirinya. Hal itu terlihat dari pelbagai konsep dan argumentasi, misalnya, “bukan komunis, bukan juga liberal” atau “bukan negara agama, bukan pula sekuler” untuk mendefinisikan Pancasila.
ADVERTISEMENT
Selain itu, obsesi pemfilsafatan terhadap Pancasila oleh rezim kekuasaan, seperti di atas, hanya akan membuka trauma lama sambil membuat luka baru: bahwa Pancasila masih dan akan dianggap sebagai sumber represi rezim untuk melakukan politik penyingkiran (politics of exclusionary), apalagi dengan menyeretnya ke dalam perebutan kekuasaan politik atas negara.
Karena itu, untuk mencegah pemanfaatan Pancasila sebagai alat kepentingan politik serta menjauhinya dari upaya-upaya ideologisasi yang cenderung mengeramatkannya, dan dengan melihat fakta sejarah, Pancasila lebih baik dan memang pada dasarnya semata dimaknai sebagai “penanda kosong (empty signifier)”—dalam istilah Sukarno, “meja statis”, dalam istilah yang lebih teduh namun problematik, “ideologi terbuka”—yang pada intinya bisa diisi dan dideterminasi oleh berbagai tafsir, preferensi politik, dan kepentingan kelompok, termasuk ideologisasi dan filosofikasinya.
ADVERTISEMENT
Dengan mengamini itu, tatanan sosial atau masyarakat bangsa yang telah-tengah-akan dibentuk dan dibangun dianggap tidak pernah permanen dan selalu terbuka (politically contingent). Berbagai kelompok sosial—seperti FPI, begitu juga PDI-P, atau bahkan gerakan progresif Kiri yang dibunuh pasca-tragedi ‘65—bisa saling berupaya mengisinya dengan beragam konten, agenda, dan strateginya masing-masing.
Maka, dalam komposisi seperti itu, begitu berlebihannya langkah penyingkiran FPI dengan dalih atas nama Pancasila, padahal Pancasila justru memungkinkannya diberi ide FPI tentang dirinya. Biarkan FPI ada sebagai bagian dari kemajemukan Indonesia. Apabila politik kekerasannya mengancam perbedaan, biarkan hukum, bukan politik, yang nanti memvonisnya.
Dengan cara pandang yang demikian, dan dalam upaya melepaskannya sebagai klaim atau penjamin kekuasaan siapa pun, Pancasila dipastikan akan kembali pada fungsi utamanya yang luhur seperti amanat Sukarno 1 Juni 1945, yakni sebagai penanda persatuan dan pengikat beraneka macam perbedaan.
ADVERTISEMENT
Catatan Kaki
[1] Ketakutan tersebut amat berlebihan sebab aliansi politik Islam di Indonesia pada dasarnya terpecah-pecah. Lihat, misalnya, Abdil Mughis Mudhoffir, Diatyka Widya Permata Yasih, dan Luqman-nul Hakim, “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia”,dalam Prisma, Vol. 36, No. 3, 2017, hal.49-59.
[2] Bandingkan dengan, Airlangga P. Kusman, “Mengawasi ‘Radikalisme’: Pendekatan Kultural dan Kebijakan Illiberal Pasca-Momen 212”, dalam Prisma, Vol. 39, No. 1, 2020, hal. 15-27.
[3] Dalam penjabaran yang demikian, Pancasila dimaknai melalui tradisi berpikir demokrasi radikal. Dalam perdebatan teori demokrasi, demokrasi radikal merupakan kritik bagi, misalnya, model demokrasi prosedural yang percaya pada logika representasi atas beraneka macam kepentingan dan identitas.
[4] Lebih lengkap, lihat, misalnya, Rocky Gerung, “Pancasila: Ide Penuntun, Bukan Pengatur”, dalam Prisma, Vol. 37, No. 2, 2018, hal. 40-48.
ADVERTISEMENT
[5] Lebih jauh, lihat, Yudi Latif, “Soekarno Sebagai Penggali Pancasila”, dalam Prisma, Vol. 32, No. 2 & No. 3, 2013, hal. 17-42.