Gaet Kepercayaan Publik: Belajar dari Kasus Bakso A Fung dan Neynisfood

sofia hasna
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta
Konten dari Pengguna
25 Juli 2023 13:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari sofia hasna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi komunikasi krisis. Sumber: Istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi komunikasi krisis. Sumber: Istockphoto.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini, media sosial Tiktok digemparkan oleh salah satu influencer yang mengunggah video dirinya saat sedang makan Bakso A-Fung yang halal dicampur dengan kerupuk babi. Video tersebut menjadi viral dan menuai banyak sekali komentar netizen soal halal-non halal.
ADVERTISEMENT
Alih-alih viral, Bakso A Fung menyadari hal tersebut perlu direspons secara cepat, tepat dan komunikatif sesuai sasaran pelanggan dan publik. Jika kita lihat kejadian tersebut, sebenarnya kasus tersebut merupakan risiko terjadinya krisis komunikasi. Hal ini sesuai dari pernyataan Fearn Banks (2007) bahwa krisis merupakan situasi yang menghasilkan efek negatif yang memengaruhi organisasi dan publiknya, produknya, dan reputasinya. Sedangkan, risiko merupakan hal sesuatu yang dapat memicu terjadi suatu krisis pada suatu institusi, organisasi atau suatu produk.
Jika kita lihat dari kasus viralnya seorang influencer makan Bakso A Fung dengan kerupuk babi, potensi risiko krisisnya adalah 'kepercayaan publik' atas produk dan manajemen Bakso A Fung: apakah bersih, mengandung makanan yang baik dan benar-benar Halal? Jika spekulasi-spekulasi masyarakat terhadap brand tersebut terus berkembang tanpa adanya suatu tanggapan komunikasi yang cepat dan tepat maka, hal tersebut menjadi berlarut-larut dan menjadi sebuah krisis karena mengancam reputasi suatu produk.
ADVERTISEMENT

Belajar dari Bakso A Fung: Respons Cepat Mempertahankan Citra yang Baik bagi Pelanggan

Dari kasus Bakso A Fung kita bisa belajar bahwa pentingnya respons cepat dan komunikasi yang tepat dalam menangani sebuah krisis. Krisis yang dihadapi oleh Bakso A Fung ini mengarahkan pada reputasi kualitas makanan halal thoyyiban dampak kasus viralnya video di media sosial. Lalu, apa yang dilakukan oleh Bakso A Fung?
Manajemen Bakso A Fung mengerti dan paham jika kasus viral ini tidak ditanggapi akan berujung krisis kepercayaan para pelanggan dan publik dan ke depannya bisa mengarahkan penurunan omzet pendapatan dan dianggap Bakso A Fung bukan Bakso yang higienis dan halal lagi. Lalu, langkah yang dilakukan oleh Bakso A Fung dengan cerdas membuat konten video menghancurkan seluruh alat makan dan memberi pernyataan resmi di media sosial.
ADVERTISEMENT
Mengapa perlu menghancurkan seluruh alat makan? Apa itu tidak berlebihan? Jawabannya tidak. Justru, ini merupakan strategi respons komunikasi krisis yang out of the box bahkan mampu melihat peluang untuk meningkatkan brand awareness produk agar lebih dikenal kembali sehingga adanya peningkatan penjualan bakso.
Menghancurkan seluruh alat makan merupakan sebuah simbol komunikasi non-verbal yang disampaikan oleh manajemen Bakso A Fung bahwa mereka tetap berkomitmen menjaga sertifikasi halal yang sudah didaftarkan ke MUI dan tetap berusaha menjaga kualitas produk yang dijualnya selalu aman dikonsumsi dan layak dimakan karena halal. Sisi lain, sebagai bentuk peluang meningkatkan brand awareness produk dari video tersebut semakin viral dan publik semakin percaya akan komitmen Bakso A Fung dalam menjaga kualitas makanannya.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui juga aksi ini menjadi sorotan positif bagi publik di media sosial terlebih mayoritas pelanggan dan publik di Indonesia adalah agama Islam. Setidaknya, secara psikologis masyarakat lebih mengafirmasi produk tersebut adalah produk yang layak dikonsumsi karena halalnya. Luar biasanya, ini menjadi viral dan mendapatkan respons positif dari publik.

Kreativitas Merespon Publik dan Etika Berkomunikasi

Dari kasus Bakso A Fung banyak hal yang dapat dipelajari dan ditelaah bahwa dalam merespons krisis dapat dilakukan sekreatif mungkin sesuai target audiens dan juga tetap mempertimbangkan etika komunikasi di media sosial.
Kita perlu belajar dari kasus Neynis Food yang sempat viral beberapa hari yang lalu di media sosial akibat review pedas dan terlalu menyudutkan terhadap produk kompetitornya. Hal tersebut mendapat respons buruk dari masyarakat bahkan banyak hujatan yang ditimpanya. Seharusnya owner salad buah tersebut bergerak cepat untuk introspeksi diri dan mencoba mempertahankan kepercayaan publik demi kelancaran pemasaran produknya.
ADVERTISEMENT
Namun, ternyata yang dilakukan sebaliknya. Owner tersebut menantang publik di media sosial bahkan mitra mereka juga terkena imbas akibat ulah dari owner salad buah tersebut. Keterbukaan komunikasi dalam komunikasi organisasi terlebih pada stakeholder engagement sangat diperlukan untuk mempertahankan reputasi dan keberlanjutan pemasaran. Tapi sayangnya, hal tersebut tidak dilakukan oleh owner. Sebaliknya mereka justru melakukan anti-kritik bahkan melakukan blacklist kemitraan.
Sisi lain, etika komunikasi yang dilakukan oleh Neynis Food juga tidak diindahkan di media sosial. Banyak ucapan kasar yang dikontenkan setelah kejadian kritik dari publik. Tidak hanya itu jika dilihat dari kacamata respons komunikasi krisis, yang dilakukan oleh Neynisfood adalah sikap denial atau penolakan, tidak merasa bersalah dan merasa benar atas perlakuannya walaupun banyak kritik dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat pun jadi tidak respect dan hilang kepercayaan terhadap produk karena tingkah owner Neynisfood. Akibatnya terjadi penurunan pendapatan yang berdampak bagi para mitranya. Oleh karena itu, selain belajar cara mengelola respons krisis komunikasi juga pentingnya menerapkan literasi media sosial bagi seluruh kalangan di tengah keriuhan komunikasi.