Menyoalkan Cideranya Kebebasan Berpendapat Di Era Digital

sofia hasna
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta
Konten dari Pengguna
2 Juni 2020 19:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari sofia hasna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi sumber : share.america.gov
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi sumber : share.america.gov
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung dengan jumlah kurva yang masih cukup tinggi, seiring dengan ini juga melihat tindakan, kebijakan, hingga wacana pemerintah yang menuai beberapa kritik oleh masyarakat melalui media sosial. Penggunaan media sosial sebagai alat kritik bagi masyarakat merupakan aspek dari kebebasan berpendapat sesuai dengan landasan dasar dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Terlebih mengacu pada undang-undang dasar yang mengatur tentang kebebasan dalam berpendapat, di era konvergensi media saat ini dimana media digital begitu pesat berkembang hingga hadirnya globalisasi yang telah membuat arus ide, norma, dan gagasan dan nilai-nilai semakin intens dengan karakter yang borderless. Dengan hadirnya internet, mereka dapat menyuarakan hak-hak mereka yang sebelumnya mendapat tekanan.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, Indonesia yang merupakan negara demokratis sesuai dengan landasan dasar Undang-Undang Dasar 1945 dan juga kita dapat memaknai dasar demokrasi adalah pemerintahan atas dasar dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, bukan sebaliknya mekanisme kekuatan yang dipegang oleh pemerintah sebagai perangkat nyata, selalu tersedia untuk otoritas politik yang membatasi kebebasan dan atau menimbulkan rasa sakit bahkan cedera tubuh pada warga hingga dan termasuk penghancuran manusia hidup itu sendiri. Hal tersebut merupakan tindakan represi yang tidak hanya dirasakan melalui dunia nyata atau secara langsung, namun melalui dunia virtual. Fenomena buzzer misalnya, peran buzzer seolah menjadi peran untuk menggiring opini publik untuk tidak mengkritisi kebijakan pemerintah, selain itu juga melakukan pengkroyokan virtual kepada masyarakat yang melakukan kritik dan kontra terhadap kebijakan pemerintah. Sehingga tren serangan siber ini berlangsung hingga masa pandemi saat ini, yaitu pada saat serangan buzzer menyerang masyarakat digital yang mengkritik terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani krisis pandemi Covid-19 yang kemudian adanya serangan siber dengan kebiasaan buzzer menjungkir balikkan logika, untuk membunuh karakter orang-orang yang kritis terhadap pemberi kebijakan. Tidak hanya itu saja, bahkan kasus serangan siber juga terjadi pada diskusi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 29 Mei 2020 yang menyoalkan terkait tema “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau Sistem Ketatanegaraan”. Berdasarkan dari press release dari Fakultas Hukum UGM menyatakan bahwa kegiatan diskusi yang akan diselenggarakan merupakan diskusi akademik sebagai bentuk kebebasan akademik yang bertolak belakang dengan tuduhan pada buzzer yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan makar. Tidak sekedar menuduh sebagai kegiatan makar, namun juga adanya ancaman terhadap mahasiswa penyelenggara diskusi baik dengan cara diretas hingga aksi teror ancaman pembunuhan.
ADVERTISEMENT
Jika melihat dari beberapa permasalahan dan beberapa kasus yang telah dipaparkan ini sudah jelas merupakan dampak negatif dari penerapan e-demokrasi di Indonesia, yaitu e-demokrasi dapat melahirkan pembungkaman-pembungkaman terhadap masyarakat yang melaksanakan hak demokrasinya. Suara-suara yang disampaikan kemudian dapat ditimpa oleh suara-suara yang berlawanan. Selain itu suara-suara yang bertentangan dapat hilang di tengah kerumuman karena dilakukannya upaya-upaya penghilangan tertentu. Maka dalam konteks ini, e-demokrasi dapat melahirkan e-represi. Persoalan ancaman teror hingga serangan buzzer merupakan tindakan represi melalui media digital. Hal tersebut pasti menciderai asas demokrasi yang telah berlandaskan berdasarkan undang-undang sudah diatur. Sedangkan dalam e-demokrasi adanya indikator kebebasan menyuarakan pendapat melalui internet (freedom of net), diantaranya adalah (1) Obstacles of Access yaitu meliputi infrastruktur, biaya, pembatasan koneksi dan akses ke aplikasi/situs tertentu oleh pemerintah, regulasi yang mengatur kebebasan media digital, kemudian (2) Limits of Content, yaitu sejauh mana pemerintah membatasi konten-konten di internet terutama terkait isu politik?, dan terakhir adalah (3) Violations of User Right, yaitu sejauh mana payung hukum melindungi kebebasan berpendapat? sejauh mana pengawasan aktivitas di internet? apakah jurnalis atau masyarakat mendapat ancaman kekerasan fisik maupun mental atas berita yang mereka tulis?.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat dan berpacu dari indikator freedom of net yang sudah dipaparkan bisa direfleksikan seberapa banyak indikator Pemerintah Indonesia menerapkan indikator untuk memenuhi e-demokrasi dengan mengupayakan kebebasan berpendapat melalui media sosial. Ternyata masih saja banyak tindakan represi yang dilakukan oleh pemerintah maupun pejabat publik. Dalam hal ini pastinya menjadi tugas PR besar bagi pemerintah untuk mengubah cara pandang terhadap setiap kritik dan kebebasan berpendapat yang dilontarkan masyarakat.