Konten dari Pengguna

Ruang Digital: Ancaman Bagi Anak-anak

SOFIE MEILINDA
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran
23 November 2024 16:33 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SOFIE MEILINDA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Design Canva by Sofie Meilinda
zoom-in-whitePerbesar
Design Canva by Sofie Meilinda
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya yang semakin pesat, teknologi dan informasi ibarat pisau bermata dua yang memiliki dua dampak yang sangat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, bahwa teknologi dan informasi telah berkontribusi pada kemudahan yang dirasakan oleh manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari jika diimplementasikan dengan baik. Hadirnya teknologi dapat mempermudah segala aktivitas manusia, membuat semua kelompok masyarakat dapat terhubung dengan mudah, tidak terkecuali anak-anak.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang saat ini kita temui banyak anak-anak yang sudah memiliki gadget sendiri. Anak-anak biasanya menggunakan gadget mereka hanya untuk mencari kesenangan atau hiburan. Mereka biasanya menggunakan gadget untuk bermain game, bermain media sosial, serta untuk pendidikan. Namun sejatinya, perkembangan anak-anak masih belum stabil, terutama secara emosional. Mereka mungkin akan kesulitan untuk menentukan mana saja hal dalam dunia digital yang harus mereka terima dan abaikan. Dalam hal ini, peran orang tua sangat penting dalam mengawasi setiap aktivitas anaknya, terutama dalam menggunakan gadget.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 1 ayat (1) tentang Perlindungan Anak, "anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perkembangan secara kognitif dan kematangan secara psikis yang belum sempurna, menyebabkan mereka akan lebih mudah terkena dampak dari dunia digital. Anak-anak sebagai individu yang dapat dikatakan belum sempurna baik secara fisik maupun psikologis, menjadikan mereka sebagai salah satu audiens khusus dalam dunia digital. Selain itu, belum cukupnya usia mereka (terkadang dianggap sebagai individu yang lemah), ketidakmampuannya untuk melawan, terutama kepada orang yang mungkin lebih tua darinya menyebabkan anak-anak rentan mendapatkan tindak kekerasan di ruang digital.
ADVERTISEMENT
Kekerasan pada anak di dunia digital dapat diartikan sebagai segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan, baik secara emosional, fisik, penganiayaan, seksual atau perilaku pengabaian terhadap anak di ruang digital (Nunung & Siti, 2024). Sementara eksploitasi seksual anak dapat merujuk pada pemanfaatan anak sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan seksual melalui manipulasi atau kekerasan. Anak dijadikan sebagai sebagai objek seksual dan komersial, salah satunya melalui perdangangan anak sebagai pemuas kebutuhan seksual. Anak-anak merupakan target yang mudah untuk dijadikan objek kekerasan dan eksploitasi baik secara langsung, maupun di dalam dunia digital.
Terry E. Lawson telah mengkategorikan jenis kekerasan terhadap anak atau child abuse ke dalam beberapa kategori (Jhon, Tardip, & M, 2024):
1. Kekerasan verbal (verbal abuse), merupakan kekerasan kepada anak yang dilakukan melalui kata-kata seperti berbicara dengan nada tinggi, merendahkan, dan menghina.
ADVERTISEMENT
2. Kekerasan emosi (emotional abuse), merupakan kekerasan kepada anak yang berdampak pada perkembangan emosional, seperti perilaku mengabaikan dan tidak memberikan kasih sayang atau perhatian.
3. Kekerasan seksual (sexsual abuse), merupakan kekerasan yang dilakukan dengan menjadikan anak sebagai pemuas kebutuhan seksual seperti pelecehan seksual, pemerkosaan.
4. Kekerasan fisik (physical abuse), merupakan kekerasan yang dilakukan secara fisik, seperti memukul, mencubit, menendang.
Dilansir dari situs Kemetrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPP), tercatat Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia per Januari hingga Juni 2024 mencapai 7.842 kasus, dimana kasus kekerasan seksual menempati kasus tertinggi sejak tahun 2019 hingga 2024 (KPPPA, 2024) . Kekerasan seksual terhadap anak dalam dunia digital meningkat berbarengan dengan perkembangan teknologi. Kekerasan seksual yang biasa terjadi dalam dunia digital dapat merujuk pada kegiatan mengekspos foto-foto anak dalam keadaan telanjang, memberikan komentar yang mengarah kepada konteks seksual, dan mengirimkan konten-konten yang berbau seksual. Pelaku biasanya akan melakukan berbagai pendekatan, seperti pemberian hadiah, uang, juga termasuk dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kepada korban agar mereka menuruti dan memenuhi apa yang diinginkan oleh pelaku.
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan seksual di Indonesia terhadap anak dibawah umur merupakan salah satu isu yang mencuri banyak perhatian di berbagai kalangan. Kasus kekerasan seksual yang dialami anak di dunia digital bisa saja terjadi karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh orang tua dan rendahnya kemampuan literasi digital yang dimiliki baik oleh anak, bahkan para orang tua. Kasus kekerasan yang terjadi dalam media digital biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenali sebelumnya oleh korban. Mereka melakukan komunikasi dan menjalin hubungan melalui sebuah aplikasi. Tetapi kekerasan seksual di Indonesia menjadi sangat ironis ketika pelaku dari kekerasan seksual adalah orang-orang terdekat dari anak tersebut, seperti teman, bahkan anggota keluarga sendiri.
Kekerasan seksual terhadap anak bukanlah kasus kekerasan yang tidak bisa dianggap remeh karena dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Kekerasan seksual dapat memberikan trauma, ketakutan, hingga stress yang berkepanjangan. Hal tersebut tentunya akan menjadi penghambat bagi anak dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Anak sebagai generasi penerus bangsa memegang peran penting dalam pembangunan masa depan. Setiap anak di Indonesia berhak atas keberlangsungan hidup mereka, tumbuh dan berkembang dan berhak mendapatkan perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan Hal tersebut selaras dengan Undang-Undang Dasar Pasal 28B Ayat (2).
ADVERTISEMENT
Fenomena kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur dapat dilihat dengan menggunakan teori kekuasaan milik Michel Foucault. Dalam konteks kekerasan seksual terhadap anak, teori ini menggambarkan bagaimana pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku kekerasan seksual sebagai orang yang lebih tua, terhadap anak-anak sebagai korban yang mungkin bahkan belum memiliki kemampuan untuk mengontrol bahkan menguasai dirinya sendiri.
Seperti apa yang sudah disampaikan sebelumnya, bahwa belum sempurnanya tumbuh kembang anak membuat mereka menjadi target yang mudah untuk dijadikan objek kekerasan dan eksploitasi. Online Child Sexsual Expliitatuinnand Abuse (OCSEA), merupakan salah satu istilah yang menggambarkan bentuk-bentuk eksploitasi secara seksual pada anak. Berikut ini bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak yang terjadi di dunia digital (Hana & Siti, 2024):
ADVERTISEMENT
1. Child sexsual abuse material atau CSAM, merupakan bentuk kekerasan yang merujuk pada seluruh materi yang merepresentasikan eksploitasi anak secara seksual, misalnya video, gambar, atau konten digital lainnya yang tentunya melibatkan anak-anak di bawah umur. Dalam CSAM, materi-materi tersebut kerap kali diproduksi dan disebarkan secara luas melalui internet yang memberikan dampak serius bagi anak-anak sebagai korban.
2. Grooming Online, merupakan proses ketika orang yang lebih dewasa mencoba membangun dan menjalin hubungan dengan seorang anak yang dilakukan melalui media digital. Grooming juga dilakukan dengan tujuan untuk mengeksploitasi anak secara seksual. Pelaku akan memposisikan dirinya sebagai teman virtual korban agar lebih mudah dalam mengeksploitasi anak secara seksual.
3. Sexting, adalah bentuk kekerasan seksual di dunia digital dimana anak memfoto atau merekam bagian-bagian tubuh mereka, kemudian mereka sebakan kepada orang lain. Sexting dapat berisiko menjadikan anak sebagai korban cyberbullying dan pemerasan seksual karena memungkinkan gambar mereka disalin untuk digunakan sebagai koleksi materi seksual.
ADVERTISEMENT
4. Live Streaming, merupakan bentuk kekerasan seksual berupa pelecehan seksual anak dan eksploitasi yang dilakukan secara real-time, yang dilihat melalui streaming.
5. Sextortion atau pemerasan seksual, merujuk pada kegiatan pelaku memeras anak sebagai korban untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, meminta uang, dan sebagainya dengan menggunakan ancaman. Ancaman tersebut biasanya berupa men share atau mem posting foto atau video anak di media sosial.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Anna, Astuti, Patrick, & Yonna, 2020), menjelaskan tentang bagaimana fenomena grooming online dan pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pelaku memanfaatkan aplikasi game online yaitu “Hago” dalam melakukan tindakan asusila berupa permintaan video tanpa busana kepada korban. Dari hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwasanya teknologi dapat disalahgunakan untuk melakukan eksploitasi seksual, terutama pada kalangan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Memperkenalkan dunia digital pada anak mungkin akan membuat para orang tua menghadapi dilema yang besar. Di satu sisi, perkembangan teknologi yang bergerak sangat cepat, menuntut setiap individu untuk dapat menggunakan teknologi agar mereka tidak tertinggal oleh zaman. Di sisi lain, dampak negatif dari teknologi dapat menjadi ancaman besar bagi perkembangan anak. Yang mungkin dapat dilakukan oleh para orang tua adalah dengan memperkenalkan teknologi dan dunia digital yang dibarengi dengan kemampuan literasi digital pada diri anak-anak. Melalui literasi digital, dapat mendorong perkembangan anak dalam menghadapi kompetisi digital, kemandirian, dan kreativitas. Selain itu, literasi digital juga dapat memberikan anak-anak pengetahuan tentang bagaimana menggunakan teknologi seharusnya, kemanan internet, etika online, serta meningkatkan keterampilan dasar penggunaan digital (Agus, 2024).
ADVERTISEMENT