Konten dari Pengguna

Perempuan di Panggung Media Massa: Ketika Representasi Girls Power Berbicara

Sofie Nur Nisrina
Undergraduate student of Politics and Government at Universitas Gadjah Mada
10 Desember 2024 16:09 WIB
ยท
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Nur Nisrina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by <a href="https://unsplash.com/@travelpen?utm_content=creditCopyText&utm_medium=referral&utm_source=unsplash">Lindsey LaMont</a> on <a href="h
zoom-in-whitePerbesar
Photo by <a href="https://unsplash.com/@travelpen?utm_content=creditCopyText&utm_medium=referral&utm_source=unsplash">Lindsey LaMont</a> on <a href="h
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dekade terakhir, isu terkait kesetaraan gender menjadi perhatian utama di berbagai belahan dunia. Hal ini tidak terlepas dari upaya perempuan untuk mengklaim kembali ruang yang menjadi hak mereka yang selama ini didominasi oleh laki-laki, dan salah satu ruang itu adalah ruang media massa. Sebagai alat komunikasi yang paling berpengaruh di era kini, media massa memiliki peran strategis dalam membentuk pemikiran masyarakat terkait gender. Media tidak hanya menjadi medium penyampaian informasi saja, melainkan juga sebagai arena perdebatan publik yang menentukan bagaimana kelompok-kelompok tertentu direpresentasikan di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dalam guratan sejarah, representasi perempuan di media massa sering kali termunafikkan. Perempuan kerap menjadi korban stereotipe, baik secara eksplisit maupun implisit. Disini perempuan kerap dicocokkan dengan peran-peran tradisional, seperti ibu rumah tangga atau objek visual, dibandingkan sebagai pemimpin atau sosok yang dihormati dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, media tidak hanya mencerminkan budaya patriarki, tetapi juga memperkuatnya melalui narasi-narasi yang bias gender.
Bicara tentang representasi, maka tak afdol rasanya kalau tidak melihat teori politik representasi yang dikembangkan oleh Stuart Hall (1997). Menurut Hall, representasi tidak hanya tentang bagaimana sesuatu disajikan dalam media, tetapi juga tentang proses pembentukan makna yang mencerminkan kekuatan sosial dan budaya yang jadi landasan narasi tersebut. Representasi seperti yang diungkapkan oleh Hall sendiri merupakan cara media memediasi realitas, membangun persepsi publik, dan mengonstruksi makna sosial terhadap kelompok tertentu, dan salah satunya ialah perempuan. Dalam politik representasi, media memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa yang memiliki suara dan bagaimana suara tersebut mampu diterima ditengah-tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di negeri kita, Indonesia, tantangan ini menjadi semakin kompleks dengan hadirnya media baru seperti media sosial. Media baru, dengan sifatnya yang lebih inklusif, memberikan ruang bagi individu untuk menciptakan narasi merka sendiri tanpa batasan-batasan yang kerap kita temukan di media tradisional. Namun disini, bias gender tetap jadi permasalahan utama, bahkan di dalam platform yang seharusnya lebih demokratis.
Disini penulis tertarik membawakan sosok Najwa Shihab dalam tulisan mengenai politik representasi perempuan di media. Sebagai jurnalis sekaligus pembawa acara yang kritis, Najwa Shihab berhasil menunjukkan bahwa perempuan mampu menjadi figur yang bermartabat di ruang publik. Dalam program Mata Najwa yang ia bawakan pun tidak hanya sebagai sumber informasi, melainkan juga sebagai medium pendobrak stereotipe gender.
ADVERTISEMENT
Media massa, khususnya yang bergerak di media baru, memainkan peran penting dalam pembentukan persepsi publik terhadap berbagai isu, khususnya ialah kesetaraan gender. Dalam konteks politik representasi sendiri, media memiliki daya nya untuk menampilkan atau bahkan menghapus representasi perempuan dari ruang publik. Media dibayangkan sebagai โ€˜pintu masukโ€™ utama ke dalam diskursus sosial yang memiliki tanggung jawab atas hak inklusifitas yang ada pada diri perempuan. Namun, dalam praktiknya, representasi perempuan dalam media sering kali jauh dari kata ideal.
Boomgarden (2017) dalam studinya menyebut bahwa pemberitaan yang ada di media untuk perempuan cenderung berbanding terbalik dengan apa yang diberitakan untuk laki-laki. Perempuan dalam media berita kerap direduksi menjadi objek visual yang hanya difokuskan pada penampilannya saja, sedangkan laki-laki dalam media berita kerap diglorifikasi integritas dan profesionalitas nya. Ketimpangan pemberitaan pada kedua gender menunjukkan bahwa media belum sepenuhnya netral dalam menggambarkan perempuan, terutama dalam ranah politik, sehingga menghasilkan bias gender yang terpolarisasi di media massa.
ADVERTISEMENT
Di tengah bias gender yang kerap muncul di media massa, muncul sosok Najwa Shihab yang berhasil mendobrak stereotipe tersebut. Najwa Shihab sendiri bukan hanya seorang jurnalis, tetapi juga salah satu figur perempuan paling berpengaruh. Sosok Najwa Shihab sendiri mewakilkan perempuan untuk dapat mendominasi ruang publik tanpa harus kehilangan integritasnya. Dalam program Mata Najwa sendiri, Najwa memanfaatkan media televisi dan media sosial untuk mewakilkan kelompok-kelompok yang sering kali terpinggirkan, termasuk perempuan.
Retorika yang kritis dibarengi dengan analisis tajam yang ditampilkan Najwa menjadikan penulis berpikir bahwa Najwa Shihab adalah representasi ideal perempuan yang mampu bersaing secara intelektual dalam diskursus politik. Program Mata Najwa sendiri juga kerap menjadi medium untuk menampilkan narasi-narasi perempuan yang sebelumnya jarang diangkat. Salah satu contoh topik yang pernah diangkat Najwa Shihab dalam platform YouTube Mata Najwa ialah episode Enaknya Jadi Laki-Laki. Tentu pembahasan tersebut akan terkesan tabu bagi masyarakat yang patriarki, namun dengan hal tersebut, Mata Najwa tidak hanya menjadi program media baru biasa, melainkan juga menjadi sarana politik representasi yang menguatkan posisi perempuan dalam ranah publik.
ADVERTISEMENT
Papacharissi (2002) dalam studi nya mengatakan bahwa media baru sendiri menawarkan ruang yang seharusnya lebih inklusif dan demokratis untuk semua kalangan, termasuk perempuan. Dalam hal ini, media baru memungkinkan perempuan untuk membangun narasi terkait hak-hak yang mereka miliki tanpa terpengaruh pada stereotipe gender tertentu di media massa. Dengan pertimbangan tersebut, tokoh seperti Najwa Shihab pun memanfaatkan media sosial dan media televisi untuk memperluas jangkauan pengaruhnya.
Kehadiran media baru sendiri memungkinkan perempuan dari berbagai latar belakang untuk menyuarakan pendapat mereka secara langsung. Dengan cara ini, media baru telah menciptakan ruang bagi perempuan untuk memobilisasi dukungan, menyebarkan ide, dan melawan narasi patriarkis yang selama ini telah jadi bagian dari kultur masyarakat dengan mindset tradisional. Dalam ranah politik, hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah perempuan yang secara aktif menggunakan media sosial untuk kampanye politik, mengadvokasi isu gender, atau bahkan melakukan kampanye digital untuk melawan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender.
ADVERTISEMENT
Representasi perempuan dalam media baru memiliki dampak langsung terhadap partisipasi perempuan di ranah politik. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sanbonmatsu (2002), ia menyebut bahwa keterwakilan perempuan di media mampu menginspirasi dan memengaruhi perempuan lain untuk turut serta berpartisipasi aktif dalam politik, baik sebagai pemilih maupun sebagai kandidat. Hal tersebut merupakan efek penularan positif (role model effect) yang terjadi ketika perempuan melihat figur perempuan lain yang memiliki pengaruh kuat atau dihormati dalam dunia politik.
Dalam konteks ini, maka Najwa Shihab mampu memberikan dampak besar dalam meningkatkan kepercayaan diri perempuan untuk terlibat aktif di ranah politik dan ranah publik. Perempuan disini mulai melihat adanya keberanian dari sesama mereka dalam mengatasi stigma yang selama ini mengekang kebebasan mereka. Maka dari itu, representasi perempuan di media bukan hanya soal citra, tetapi juga tentang transformasi sosial yang mampu mengubah cara pandang masyarakat terhadap isu gender.
ADVERTISEMENT
Meskipun pada era kini kemajuan perempuan dalam media massa telah dicapai, tantangan dalam politik representasi perempuan akan terus berlanjut. Hal ini sehubungan dengan salah satu tantangan utama, yakni keberlanjutan narasi inklusif di media. Banyak program di media massa yang cenderung fokus pada sesuatu yang sedang tren waktu itu, tetapi jarang memberikan upaya jangka panjang untuk perubahan struktural nya. Selain itu, bias dalam pemberitaan yang kerap mengeksploitasi sisi emosional atau personal perempuan juga masih jadi PR tersendiri untuk ranah media negeri ini.
Referensi
Boomgaarden, H. G. (2017). Media Representation: Politics. The International Encyclopedia of Media Effects, 1โ€“13.
Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: SAGE Publications.
Papacharissi, Z. (2002). The Virtual Sphere: The Internet as a Public Sphere. New Media & Society, 4(1), 9-27.
ADVERTISEMENT
Sanbonmatsu, K. (2002). Gender Stereotypes and Vote Choice. American Journal of Political Science, 46(1), 20-34.