Hambatan Menuju Penurunan Target Stunting 14% Tahun 2024

Sofie Wasiat
Alumnus Taruna Nusantara dan Fakultas Hukum UGM. Kini menempuh studi Master of Public Administration (UI).
Konten dari Pengguna
28 Maret 2022 12:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : https://img.beritasatu.com/cache/beritasatu/910x580-2/1566005904.jpeg
zoom-in-whitePerbesar
sumber : https://img.beritasatu.com/cache/beritasatu/910x580-2/1566005904.jpeg
ADVERTISEMENT
Stunting merupakan permasalahan lintas generasi yang dihadapi oleh suatu bangsa sehingga harus segera ditangani, dimana di Indonesia sendiri Stunting menjadi salah satu Program Prioritas Nasional dengan target penurunan pravelensi stunting 14% pada Tahun 2024. Akan tetapi dalam implementasinya, terdapat beberapa hambatan atau permasalahan yang masih perlu dibenahi dalam rangka mencapai target tersebut yang akan dibahas dalam artikel ini.
ADVERTISEMENT

A. Perlunya Data yang Akurat dan Kredibel

Data yang kredibel merupakan hal vital yang paling dibutuhkan pemerintah untuk menetapkan sebuah kebijakan. Hendaknya sebagai salah satu Program Prioritas Nasional, ditunjuk satu lembaga yang bertanggung jawab untuk melakukan pendataan pravelensi tersebut dari tahun ke tahun secara jangka panjang, sehingga diperoleh satu acuan dan sumber yang kredibel dan terpercaya yang dapat digunakan oleh seluruh pihak berkepentingan.
Saat ini, di Indonesia data pravelensi stunting tahun ke tahun tidak hanya menggunakan dari satu sumber saja, diantaranya data pravelensi pada Tahun 2013-2017 bersumber dari Litbangkes dengan Riskesdas, 2015-2017 oleh BPS, 2018 kembali ke Litbangkes/Riskesdas, dan pada Tahun 2019 keberhasilan penurunan sebesar 26,76% disampaikan oleh Kemenkes yang bekerjasama dengan BPS berdasarkan Survei Status Gizi Balita Anak.
ADVERTISEMENT
Data semestinya membantu kita menyelesaikan masalah dan menjadi dasar pengambilan kebijakan yang tepat sasaran, bukan malah menciptakan kebingungan. Saat ini tengah digunakan aplikasi e-PPGBM (Aplikasi Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat), akan tetapi di lapangan masih ditemui ketidak akuratan data yang disebabkan diantaranya perhitungan pravelensi dibagi berdasarkan bayi / balita yang terdaftar di daerah tertentu, bukan berdasar bayi / balita yang benar-benar hadir dalam penimbangan, serta pencatatan hanya dengan nama panggilan, sehingga sulit untuk dilakukan tracing, testing, dan treatment.

B. Penekanan Intervensi Spesifik dalam Penanggulangan Stunting

Dengan pravelensi yang cukup tinggi, artinya memang sudah banyak bayi atau balita yang mengalami stunting. Sedangkan arah kebijakan pemerintah saat ini lebih ditekankan pada pencegahan dan cenderung mengenyampingkan penanganan / treatment terhadap bayi atau balita yang sudah terlanjur stunting tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan diundangkannya Perpres No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting yang didalamnya lebih banyak membahas mengenai strategi kebijakan / program bersifat intervensi sensitif / pencegahan, tidak berkaitan langsung, dan bahkan sama sekali tidak membahas bagaimana dan apa yang dapat dilakukan jika bayi / balita sudah dinyatakan stunting.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sudah diundangkan pula Permenkes No. 29 Tahun 2019 tentang Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus termasuk dengan Juknis nya yang baru saja ditetapkan pada akhir Tahun 2021 lalu dimana didalamnya mengakomodir bagaimana pemberian intervensi spesifik terhadap bayi / balita stunting dengan PKMK. Akan tetapi, kenyataannya sampai dengan saat ini Permenkes No. 29 Tahun 2019 tersebut masih belum mulai untuk diimplementasikan walau sudah 3 tahun berjalan.
Adapun sebaiknya intervensi sensitif dan spesifik dilakukan secara konvergen, yaitu seiring dengan semakin meningkatnya intervensi sensitif maka jumlah kelahiran balita stunting akan menurun, sehingga intervensi spesifik pun otomatis akan berkurang atau bahkan tidak diperlukan lagi.

C. Proses Implementasi yang Panjang dan Perlunya Koordinasi yang Efektif

Permenkes No. 29 Tahun 2019 tentang Pangan Olahan Medis Khusus, sampai saat ini masih belum dapat diimplementasikan. Sebelumnya, implementasi tersebut terhambat oleh perlunya Juknis sebagai pedoman tenaga kesehatan di lapangan. Juknis tersebut akhirnya berhasil dibuat pada pertengahan Tahun 2021, dan masih membutuhkan Baseline Study di 4 Provinsi yang diselesaikan pada akhir Tahun 2021. Namun, sampai saat ini masih dipertanyakan mengenai implementasi tindak lanjut hasil Baseline Study yang dilakukan oleh Kemenkes tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, baru saja terbit Perpres No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penanganan Stunting. Jika membaca lebih detil mengenai Perpres tersebut, sangat banyak sekali pihak yang diberikan kewenangan dan tugas untuk menangani stunting diantaranya Wakil Presiden, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Sosial, Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,Menteri Agama, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Sekretaris Negara, Kepala Staf Kepresidenan, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan seterusnya.
Sangat banyak pihak yang terlibat dalam urusan tersebut, namun yang menjadi pertanyaan adalah apa langkah konkret yang sedang atau telah dilakukan? Dalam rangka mencapai target 14% pada Tahun 2024, koordinasi yang efektif dan efisien sangat diperlukan, terutama pada sebuah tim yang besar. Pembahasan yang bersifat terus-menerus yang tak kunjung usai perlu dihindari, agar implementasi dapat segera dilakukan.
ADVERTISEMENT

D. PKMK Tidak Ditanggung JKN / BPJS.

Setelah dilakukan Baseline Study Juknis Permenkes No. 29 Tahun 2019 tentang Pangan Olahan Medis Khusus di 4 daerah terpilih, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, NTB dan Bali pada akhir Tahun 2021. Ditemukan bahwa, masih terdapat kendala mengenai dana PKMK. Hal ini disebabkan karena memang pemberian PKMK belum masuk ke sebagai anggaran program pemerintah baik pusat maupun daerah. PKMK juga tidak ditanggung dalam JKN karena masih dianggap sebagai Pangan dan bukan obat. Untuk itu, status dari pangan ke obat perlu didaftarkan melalui Formularium Nasional (Fornas).

E. Keterlibatan Swasta dan Pihak Lain Perlu Dipertimbangkan

Dapat disimpulkan bahwa implementasi penanganan stunting oleh Pemerintah sampai dengan belum terimplementasi dengan baik. Mengingat bahwa stunting merupakan masalah lintas generasi dan harus segera ditangani maka keterlibatan swasta dapat menjadi salah satu pertimbangan. Dimana Pemerintah dapat mendorong swasta untuk berpartisipasi melalui Program CSR untuk membantu mengatasi permasalahan gizi tersebut, seperti misalnya pengadaan PKMK atau pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka penanganan stunting.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu mengingat kembali bahwa terhadap bayi stunting hanya memiliki jendela waktu sempit yaitu 1000 Hari Pertama Kehidupan untuk dapat diberikan intervensi spesifik berupa PKMK agar dapat mengejar pertumbuhan normal, sebelum pada akhirnya bayi tersebut dinyatakan benar-benar stunted, sehingga inovasi dalam percepatan stunting tersebut, termasuk dengan melibatkan pihak lain.