Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Jangan Ada Dusta dengan FABA sebagai Limbah B3
23 Maret 2020 17:34 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) umumnya diproduksi oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai energi primernya. Pengaturan dan pengelolaan tentang FABA berada di bawah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
ADVERTISEMENT
Posisi FABA saat ini termasuk dalam Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
FABA menjadi B3 dilatarbelakangi karena jumlahnya yang sangat besar, sebagaimana tailing pada proses pertambangan mineral bukan karena ada unsur kimia di dalamnya.
Saat ini, FABA di PP No. 101 Tahun 2014 diklasifikasikan dalam Tabel 4 Daftar Limbah B3 dari Sumber Spesifik Khusus Kode B 409 Fly Ash dan B 410 Bottom Ash, Kategori Berbahaya 2.
Sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) Kementerian ESDM tahun 2017, PLTU menguasai 53% dari jumlah Pembangkit Listrik lain yang ada di Indonesia.
Pembangunan PLTU, khususnya di mulut tambang, akan terus dikembangkan karena BPP (Biaya Pengadaan Pokok) Listrik dari sumber energi batu bara masih termasuk yang termurah. Saat ini, PLTU existing yang berada di Pulau Jawa dan Bali sudah mencapai kapasitas 16.304 MW, Sumatera 1.981 MW, Kalimantan 369 MW, Indonesia Timur 3.647 MW, dan Nusa Tenggara 25 MW.
ADVERTISEMENT
Jumlah itu akan terus meningkat sesuai rencana penambahan kapasitas PLTU pada Tahun 2017-2026 yang jumlahnya mencapai 31,9 GW di seluruh Indonesia (ALLIN, 2019).
Dengan demikian jumlah FABA yang diproduksi akan semakin tinggi apalagi pemanfaatannya terganjal oleh PP No. 101 Tahun 2014, di mana FABA merupakan limbah B3, meskipun hasil uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan Lethal Dose 50 (LD50) masih di bawah ambang batas. PP No. 101 Tahun 2014 seolah-olah melindungi publik tetapi sesungguhnya membebani publik dan negara dengan biaya transportasi FABA yang tidak perlu melalui tarif listrik.
FABA merupakan cost center padahal sebenarnya bisa menjadi revenue center bagi negara ini. Jangan ada dusta di antara kita mengenai FABA.
ADVERTISEMENT
Limbah B3 dan Pemanfaatan
Di beberapa negara, seperti USA, Australia, Kanada, Israel, Jepang, Rusia, Afrika Selatan, dan Uni Eropa tidak mengkategorikan FABA sebagai limbah B3 (sumber LIPI dan diolah). Beberapa negara juga sudah secara permanen menghapus FABA sebagai limbah B3. Mengapa KLHK masih bersikeras memaksakan FABA, tailing, dan lain-lain masih masuk kategori B3?
Menurut PP No. 101 Tahun 2014, limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun atau B3. Pertanyaannya, FABA mengandung komponen apa saja sehingga dikategorikan sebagai limbah B3? Berdasarkan hasil uji laboratorium atas Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan Lethal Dose 50 (LD50) yang sample-nya berasal dari beberapa PLTU, FABA yang dihasilkan tidak mengandung unsur yang membahayakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Beberapa Laboratorium telah melakukan uji kimia dan biologi atas FABA, antara lain laboratorium Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Kementerian ESDM bersama Laboratorium Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran. Beberapa pengujian toxicology-pun menunjukkan bahwa abu batu bara (FABA) yang diteliti dapat dikategorikan sebagai limbah tetapi bukan B3.
Sehingga sekali lagi, penetapan FABA sebagai limbah B3 hanya karena jumlahnya yang melimpah bukan karena adanya zat yang berbahaya dan beracun.
Jumlah PLTU atau kapasitas pembangkit listrik tentu berbanding lurus dengan FABA yang dihasilkan. Berdasarkan studi daya dukung lingkungan terhadap pembangunan PLTU Batu Bara di Pulau Jawa, tren produksi FABA (ton/tahun) hingga tahun 2027 akan terus meningkat (B2TE BPPT, 2012).
ADVERTISEMENT
Untuk setiap kegiatan pengelolaan FABA diatur secara ketat dan memerlukan proses izin yang melelahkan, sehingga keberadaan pihak pemanfaat maupun transporter berizin pun turut terbatasi. Padahal jumlah FABA setiap tahunnya bertambah, yang bisa-bisa jika tidak terserap dengan baik akan menggunung dan justru membahayakan lingkungan, seperti tailing yang kini sudah tak ada lagi jalan keluarnya, kecuali harus ditimbun di laut, sungai, savana atau menjadi gunung-gunung baru di wilayah Timika, Papua Barat.
Pertanyaannya, mengapa Kementerian LHK masih bersikeras menempatkan FABA sebagai limbah B3? Akibatnya pemanfaatan FABA secara ekonomi terhambat dan baru mencapai 10% dari produksi FABA yang ada di seluruh Indonesia (negara lain sudah mencapai lebih dari 30%). Selain itu banyak pihak patut diduga mengkriminalisasi PLTU untuk mendapatkan dana segar ilegal yang pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumen listrik dan dana subsidi di APBN.
ADVERTISEMENT
Kebocoran Tarif Listrik
Publik harus paham bahwa selama ini mereka harus membayar sia-sia akibat kebijakan yang absurd karena masih menempatkan FABA sebagai limbah B3 di PP No. 101 Tahun 2014. Publik harus tahu bahwa beban biaya pengelolaan dan pengangkutan FABA yang sangat mahal (sekitar Rp 1,2 juta/ton) masuk dalam formulasi biaya pokok pengadaan (BPP) listrik yang diproduksi oleh PT PLN (Persero) dan harus dibayarkan oleh konsumen listrik. Besarannya bervariasi tetapi kali ini saya ambil rata-rata, yaitu sekitar Rp 68/kWh.
Berdasarkan rencana atas FABA tahun 2019 dan menurut data PT PLN yang kami olah, biaya pengelolaan FABA seluruh Indonesia mencapai Rp 72 miliar atau Rp 581/ton. Sedangkan tarif dasar listrik (TDL) mencapai Rp 1.352/kWh untuk dua golongan subsidi, yaitu pelanggan 450 VA dan sebagian pelanggan 900 VA Non Rumah Tangga Mampu (RTM).
ADVERTISEMENT
Selisih tarif subsidi dan nonsubsidi PLN hanyalah Rp 115/kWh. Meningkatnya tarif dasar listrik akibat biaya pengolahan dan pengangkutan FABA sekitar Rp 68/kWh sangat berarti baik untuk konsumen, maupun untuk alokasi subsidi tarif listrik. Tahun ini, Subsidi Listrik dianggarkan sebesar Rp 54,8 triliun dalam APBN 2020 dengan sasaran seluruh pelanggan rumah tangga berdaya 450 VA serta rumah tangga miskin dan rentan daya 900 VA, mengacu pada Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin (DTPPFM-Kemenkeu, 2020).
Jika subsidi Rp 54,8 triliun dibagi dengan selisih tarif, maka setidaknya subsidi ini ditujukan untuk menanggung volume sebesar 476.521.740 kWh yang harus dibayarkan oleh rakyat.
Namun apabila biaya FABA sebesar Rp 68/kWh dihilangkan, maka pemerintah (melalui dana subsidi) dan konsumen akan ada pengurangan biaya produksi listrik sebesar :
ADVERTISEMENT
(Rp 115/kWh - Rp 68/kWh) x Rp 476.652.174 = Rp 22,4 triliun.
Sehingga, Pemerintah bisa menghemat subsidi listrik sebesar Rp 32,4 triliun/tahun.
Langkah Pemerintah
Banyak negara sudah melepaskan FABA dari limbah B3 karena secara klinis memang tidak terbukti berbahaya, kecuali karena jumlahnya. Herannya, mengapa KLHK belum mau mengeluarkan FABA dari daftar limbah B3 di PP No. 101 Tahun 2014 supaya pemanfaatannya dapat menghasilkan devisa dan menambah lapangan kerja?
Mengapa KHLHK hanya mau menerbitkan Peraturan Menteri dengan langkah-langkah yang memusingkan dan menghambat pemanfaatan FABA secara sosial dan ekonomi. Manfaatkan FABA untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan efisiensi proses produksi listrik, bukan untuk kesejahteraan segelintir aparat dan orang yang mempunyai bisnis angkutan FABA.
ADVERTISEMENT
Sofie Wasiat
PH&H Public Policy Interest Group
Alumni Fakultas Hukum UGM 2014