Membangun Kembali Industri Baja Dalam Negeri

Sofie Wasiat
Alumnus Taruna Nusantara dan Fakultas Hukum UGM. Kini menempuh studi Master of Public Administration (UI).
Konten dari Pengguna
1 Oktober 2019 11:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: krakatausteel.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: krakatausteel.com

Krakatau Steel dan Gambaran Industri Baja Dalam Negeri

ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu bahwa kabar buruk terus berhembus pada salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) kita, yaitu PT Krakatau Steel Tbk. Kabar berhembus satu persatu mulai dari tercatatnya beban keuangan yang besar dalam tujuh tahun berturut-turut sekitar Rp 1,57 triliun dan hutang yang kian membludak mencapai Rp 22,6 triliun hutang jangka pendek dan Rp 12, 59 Triliun hutang jangka panjang. (Asumsi kurs 1 USD = Rp 14.000) Hal inilah yang menarik perhatian publik yang semakin penasaran terhadap apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa bisa seperti itu. Melalui insiden Krakatau Steel ini, telah cukup menggambarkan kepada kita bagaimana situasi dan kondisi perkembangan baja dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari lingkup yang lebih luas, ironinya pengembangan infrastruktur seperti pembangunan jalan tol, kereta api, bandar udara, pelabuhan semakin gencar dan terus dilakukan. Apalagi, tercatat bahwa sejak Tahun 2015 berturut-turut Konsumsi Baja Nasional berada pada angka 11.4 juta ton, 12.7 juta ton, 13,6 juta ton dan melonjak drastis ke angka 15,1 juta ton pada akhir Tahun 2018. Bersamaan dengan kenaikan Konsumsi Baja Nasional tersebut, industri baja dalam negeri memiliki kemampuan produksi dan suplai domestik sebanyak 6.2 juta ton, 6.6 juta ton, 7.9 ton dan 10.0 juta ton sampai dengan tahun 2018, pertahunnya. (SEAISI/South East Asia Iron and Steel Institute).
Berdasar fakta singkat itu, kita sudah dapat menyimpulkan secara kasar bahwasannya Krakatau Steel tidak seharusnya mengalami kerugian menahun, karena adanya permintaan yang begitu besar dalam negeri. Tetapi yang terjadi adalah pemerintah tengah membuka keran importasi besar-besaran terhadap komoditi baja dari luar negeri. Sampai saat ini tidak tahu apa penyebab dan keinginan Pemerintah untuk terus mengadakan importasi baja besar-besaran ini, yang jelas sejak tahun 2015 pula jumlah importasi baja ke Indonesia kian meningkat. Serta dalam lingkup ASEAN, peningkatan impor tersebut hanya terjadi di Indonesia. Tidak pada negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam kurun satu tahun saja Indonesia meningkatkan importasi baja paduan lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya (2017-2018) dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yaitu sebesar 59%. Sedangkan hal ini, sangat kontradiktif dengan tren negara lainnya antara lain Vietnam yang turun 64%, Filipina turun 46%, Thailand turun 30%, Malaysia turun 20%, dan diikuti Singapura yang juga turun sebesar 13%, (SEAISI). Tak perlu diketahui apa alasan dibalik tren yang berlainan dengan ASEAN, yang jelas dapat dipastikan bahwa Pemerintah belum bisa mengendalikan importasi baja itu sendiri.
ADVERTISEMENT

Lemahnya Pengawasan dan Pengendalian Importasi Baja ke Dalam Negeri

Banyak dugaan bahwa meledaknya importasi baja disebabkan oleh beralihnya kebijakan kepabeanan menjadi post border, dimana hal ini ditujukan untuk menghindari adanya dwelling time di pelabuhan sehingga alur barang menjadi lebih lancar. Pada proses border, setiap komoditi yang akan masuk di Indonesia akan diawasi langsung oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, mengenai berbagai perizinan, pajak, ataupun bea masuk. Sedangkan pada mekanisme post border pengecekan akan dilakukan pada saat komoditi telah masuk atau melintasi wilayah kepabeanan, serta pengawasannya berada dibawah Kementrian/Lembaga sesuai komoditi impor, pada kasus ini importasi baja berada dibawah Kementrian Perdagangan.
Pengawasan post border oleh Kementrian Perdagangan dinilai lengah dan tidak dapat mengontrol dan mengawasi masuknya baja secara ketat, hingga timbul adanya indikasi pengalihan Harmonized System Code (HS Code) terhadap komoditi baja yang masuk ke Indonesia, dengan maksud untuk menghindari bea masuk ataupun berbagai kewajiban lainnya khususnya besi atau baja yang berasal dari RRT. Contohnya saja pengalihan carbon steel yang berbea masuk 10-15% menjadi alloy steel dengan bea masuk 0%-5%. Tentu saja, dari adanya pengalihan pos tarif/HS inipun sudah membuat industri baja dalam negeri kalah telak untuk menentukan harga jual bersaing. Apalagi belum ditambah dengan adanya export tax rebate dari Negara asalnya, menjadikan komoditi baja dari RRT memiliki harga yang sangat murah, tak tertandingi, dan membuat pesaing lain mati.
ADVERTISEMENT
Kemudian mekanisme post border ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja. Selain mekanisme tersebut, Permendag ini pun tidak mensyaratkan adanya pertimbangan teknis dari Kementrian/Lembaga tertentu, sebagai syarat adanya importasi besi atau baja tersebut. Padahal pertimbangan teknis mempunyai peran yang sangat penting, diantaranya untuk mengetahui jenis, spesifikasi serta jumlah besi atau baja yang akan diimpor agar dapat dibandingkan dengan kemampuan produksi dan suplai domestik industri baja dalam negeri.
Dalam menanggapi adanya permasalahan tersebut, Pemerintah telah merevisi Permendag Nomor 22 Tahun 2018 dan mengganti dengan Permedag yang baru, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunan. Permendag ini mengembalikan post border menjadi border yang berada dibawah pengawasan dan pengendalian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Selain itu Permendag 110 inipun juga sudah menyertakan adanya syarat rekomendasi teknis yang diterbitkan oleh Kementrian Perindustrian.
ADVERTISEMENT
Memang dalam Permendag 110 tersebut diatur bahwa Rekomendasi Teknis yang dikeluarkan oleh Kementrian Perindustrian setidaknya memuat; post tarif/HS, jenis, spesifikasi dan pelabuhan tujuan besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya akan diimpor. Tapi seyogyanya Pemerintah juga harus memperhatikan hal-hal dasar seperti penggunaan atau end-use dari jenis atau spesifikasi baja yang akan diimpor, kemudian kemampuan produksi dan suplai industri baja dalam negeri dalam negeri dan mengutamakannya, memperhatikan Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan alasan keamanan, memperhatikan kuantitas yang dibutuhkan pembangunan dalam negeri sehingga mengadakan importasi dengan jumlah berlebihan. Setelah itu, barulah bisa dikeluarkan Surat Izin Impor dari Kementrian Perdagangan.
Selain itu pula, sangat disayangkan bahwa sampai dengan saat ini, publik masih belum memiliki akses untuk mengawal rekomendasi teknis dan surat izin impor yang diterbitkan oleh Pemerintah tersebut. Padahal, dalam kasus ini peran publik dapat dimanfaatkan untuk mengawal adanya importasi baja yang menghancurkan industri baja negeri. Sehingga kedepan, diharapkan publik bisa memberikan evaluasi terhadap pengambilan kebijakan importasi ini, agar tidak lagi menjadi tiga besar faktor yang mempengaruhi defisitnya neraca perdagangan RI, seperti pada Tahun 2018.
ADVERTISEMENT

Usulan untuk Pemerintah

Dalam menghadapi berbagai permasalahan tersebut sudah seharusnya pemerintah menyusun strategi kebijakan terkait dengan importasi komoditi baja ini. Diantaranya;
1. Menerapkan kebijakan trade remedies berupa anti-dumping, anti-subsidy, dan, safeguard untuk menghadapi permasalahan kerugian industri baja nasional akibat adanya praktik perdagangan baja yang tidak sehat dari luar negeri (unfair trade).
2. Menyusun Peraturan Menteri Keuangan sebagai tindak lanjut dari pengembalian kewenangan dan fungsi pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengendalikan dan mengawasi proses kepabeanan importasi besi atau baja, baja paduan, dan produk turunannya.
3. Keterbukaan informasi terhadap Pertimbangan Teknis sebagai salah satu syarat importasi besi agar publik secara bersamaan dapat turut mengetahui apa yang jadi pertimbangan pemerintah dalam pengadaan importasi ini dan berperan aktif melindungi keberadaan dan perkembangan industri baja nasional. Hal ini sebagaimana diamatkan dalam UU No. 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
ADVERTISEMENT
Update terkini, pada Tanggal 30 September 2019 sore hari telah ditandatangani Perjanjian Restrukturisasi Hutang antara PT Krakatau Steel dan enam dari sepuluh Bank/Lembaga Pembiayaan, diantaranya; PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk , PT Bank ICBC Indonesia, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dan PT Bank Central Asia Tbk, tiga diantaranya yang akan menyusul adalah PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank DBS Indonesia, Standard Chartered PLC. Sedangkan satu sisanya menolak perjanjian restrukturisasi hutang tersebut, yaitu Oversea-Chinese Banking Corporation.
Sehingga diharapkan Pemerintah, turut mengawasi dengan ketat pelaksanaan ini agar PT. Krakatau Steel segera dapat kembali survive dan menjadi sebuah permulaan dari bangkitnya industri baja dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Sofie Wasiat,
Alumni Fakultas Hukum UGM
PH&H Public Policy Interest Group