Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Over Regulasi & Disrupsi Industri AMDK Indonesia
1 November 2024 14:58 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Empat tahun sudah, sejak isu bahaya BPA dalam Galon Guna Ulang (GGU) berbahan Polikarbonat (PC) dihembuskan ke publik yang kemudian menimbulkan kegaduhan baik Industri maupun masyarakat. Menariknya, isu bahaya BPA tersebut selama ini tidak hanya dihembuskan dari pegiat, pakar atau aktivis kesehatan, namun juga oleh perusahaan-perusahaan yang menjual produk Galon Sekali Pakai (GSP) berbahan Polyethylene (PET) yang kemudian ditengarai adanya dugaan unsur persaingan usaha atas perilaku tersebut. Tak berhenti disitu, pemerintah juga dicurigai mendapat tekanan agar mengatur kewajiban pelabelan Bebas BPA yang dinilai tak masuk akal karena mustahil untuk memproduksi GGU PC tanpa bahan BPA tersebut.
ADVERTISEMENT
Berawal dari Kontroversi Hingga Regulasi
Akibat isu yang terus dilontarkan ke publik tersebut, Pada Tahun 2021 memberikan klarifikasi sebanyak dua kali (24 Januari 2021 dan 29 Juni 2021 ) yang pada intinya bahwa berdasarkan hasil pengawasan Migrasi BPA GGU masih dalam batas aman berdasar Perka BPOM NO. 20 Tahun 2019 yaitu < 0,6 bpj serta menyatakan bahwa penggunaan GGU PC masih aman untuk digunakan oleh masyarakat. Tak ketinggalan, BPOM juga menyampaikan data dan penelitian internasional untuk mendukung pernyataan tersebut.
Namun, arah angin berubah seketika. Tiba-tiba muncul Rancangan Perka BPOM tertanggal 28 November 2021 yang mengatur pelabelan Bebas BPA yang diikuti dengan kegiatan-kegiatan seperti sarasehan, FGD, sosialisasi diberbagai daerah, hingga siaran pers tentang wacana tersebut sepanjang Tahun 2021 dan seterusnya. Secara tidak disadari, upaya-upaya yang dilakukan oleh BPOM tersebut berbarengan dengan masifnya pemasaran produk GSP PET di berbagai saluran media sehingga menjadi sebuah pertanyaan besar. Pada saat itu, BPOM dinilai terlalu hanyut dalam persaingan usaha sehingga cenderung bersikap diskriminatif terhadap kedua jenis produk tersebut. Dalam hal ini pun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun telah mengendus adanya potensi persaingan usaha tidak sehat dalam Rancangan Perka BPOM tersebut karena hanya fokus untuk pelabelan BPA terhadap kemasan GGU PC.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh BPOM tersebut menimbulkan pro-kontra karena akan memiliki dampak besar bagi ekosistem perindustrian, perekonomian, hingga masyarakat yang tak terelakkan. Oleh karenannya, sebelum diundangkan, Rancangan Perka BPOM tersebut harus memperoleh izin Prakarsa Presiden RI berdasarkan Perpres No. 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga karena berdampak luas bagi kehidupan masyarakat (Pasal 3 ayat (2) huruf a). Namun, tak sesuai yang diharapkan oleh BPOM, rancangan Perka tersebut baru memperoleh Izin Prakarsa Presiden pada Tahun 2024, dengan berbagai catatan yang dua diantaranya adalah bukan mencantumkan label bebas BPA melainkan “dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan” serta larangan pencantumen Label Bebas BPA pada GSP PET. Hal tersebut sangat masuk akal, mengingat memang pembuatan GSP PET tidak memerlukan bahan BPA sama sekali.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, setelah memperoleh Izin Prakarsa Presiden, BPOM berhasil menerbitkan Perka BPOM No. 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dan kini, era baru industri AMDK Indonesia pun benar-benar dimulai. Meski jauh dari asas-asas pemerintahan yang baik, sisi baiknya, hal tersebut mampu mendorong industri / pelaku usaha untuk terus berinovasi agar menciptakan produk yang semakin aman dan berkualitas bagi kesehatan masyarakat.
Potensi Over Regulasi dan Disrupsi AMDK
Overegulasi
Setelah diterbitkannya Perka No. 6 Rahun 2024 yang mengatur tentang kewajiban Pelabelan pada Galon GGU PC, saat ini BPOM tengah menggodok Rancangan Revisi Perka No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan yang mengubah syarat batas maksimal BPA dari 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj (12x lebih kecil). Berbeda dengan GGS PET yang sebelumnya diatur secara detil dan terperinci, menjadi lebih sederhana. Kondisi saat ini yang sedang dan akan terjadi adalah
ADVERTISEMENT
• Pada Galon GGU PC telah diatur labelisasi “dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan” oleh Perka No. 6/2024
• Setelah dilabelisasi, saat ini terdapat upaya penurunan 12x lipat lebih kecil batas atas BPA pada GGU PC dari 0,6 bpj menjad 0,05 bpj pada Rancangan Revisi Perka BPOM No. 20/2019 tentang Kemasan Pangan
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah kedua hal tersebut tidaklah berlebihan? Mengingat bahwa berdasarkan hasil pengawasan BPOM terhadap Migrasi BPA GGU selama ini masih dalam batas aman, sebagaimana tertuang dalam dua klarifikasi BPOM yang telah disampaikan sebelumnya.
Sebenarnya, wajar saja jika Pemerintah ingin menurunkan batas migrasi BPA menjadi 0,05 bpj yang selama ini merujuk pada European Food Safety Authority (EFSA) meski banyak negara lainnya yang tidak menggunakan batas tersebut seperti Jepang (2,5bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), Tiongkok (0,6 bpj), dan lain-lain yang kemudian jika ada pelanggaran batas aman tersebut, maka BPOM akan menindak sebagaimana tugas dan fungsi pokoknya. Sehingga, labelisasi tidak diperlukan kembali. Sebaliknya, karena sudah terbit Perka BPOM No. 6 Tahun 2024, maka Revisi Perka BPOM No. 20 Tahun 2019 tidaklah diperlukan mengingat asas kemanfaatannya. Apabila BPOM bersikeras untuk menurunkan batas migrasi BPA tersebut, maka akan berpotensi overregulated dan menimbulkan disrupsi atau perubahan besar pada industri AMDK.
ADVERTISEMENT
Disrupsi Industri AMDK dan Konsekuensinya
Dengan adanya over regulasi, tentu saja akan menyulitkan industri dengan menekan pertumbuhan bisnis, profitabilitas, dan ekspansi usaha. Dampak lebih lanjut dapat berupa pengurangan tenaga kerja atau PHK demi menekan biaya operasional, yang akhirnya menurunkan kinerja industri secara keseluruhan. Padahal hingga September 2024, terdapat sekitar 53.000 tenaga kerja yang terkena PHK di Indonesia (Kemnaker).
Mau tidak mau masyarakat akan beralih untuk menggunakan GSP PET secara besar-besaran dan terjadi penumpukan sampah yang amat besar, meskipun telah ada kerjasama dengan industri daur ulang. Hal ini pun tidak sejalan dengan Road Map Pengurangan Sampah Plastik yang dicanangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan dalam Permen LHK No. 75 Tahun 2019 selama ini.
Selain itu, akan terjadi penggunaan GSP PET menjadi GGU pada industri Depot Air Minum Isi Ulang yang mayoritas beranggotakan UMKM, yang sangat berbahaya bagi kesehatan, atau bisa juga menggunakan GGU PC yang sudah lama sekali dan berulang kali digunakan hingga tak layak pakai lagi karena sudah tidak ada supply GGU PC bermerk dari industri dan/atau karena menggunakan GGU PC polos / tanpa label pun dinilai relatif mahal untuk UMKM DAMIU.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan dan Rekomendasi bagi Pemerintah
Isu BPA pada GGU PC telah menciptakan dampak signifikan pada industri AMDK di Indonesia, berupa over regulasi dan disrupsi. Meski upaya BPOM untuk memperketat regulasi diungkapkan untuk melindungi kesehatan masyarakat, tindakan ini berpotensi menghambat pertumbuhan industri AMDK dan menganggu keseimbangan antara GGU PC dan GSP PET, yang justru menambah sampah plastik dan dapat menimbulkan masalah lingkungan. Adapun rekomendasi yang dapat dilakukan pemerintah adalah
Hal yang dapat dilakukan pemerintah, adalah mengevaluasi kembali Rancangan Revisi Perka No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan yang berpotensi over regulasi serta bersinggungan dengan kebijakan-kebijakan dari Kementerian lain, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Evaluasi dan pertimbangan kembali. Melibatkan Kementerian terkait dalam proses penyusunan perundang-undangan sangat penting untuk dilakukan agar kebijakan dapat sejalan dan harmonis, serta memperoleh manfaat yang besar bagi seluruh pihak dan masyarakat. Hal terpenting pula adalah agar bersikap netral agar dapat menjaga iklim persaingan usaha yang sehat.
ADVERTISEMENT