Pengendalian Rokok Bukanlah Ancaman Bagi Petani Tembakau

Sofie Wasiat
Alumnus Taruna Nusantara dan Fakultas Hukum UGM. Kini menempuh studi Master of Public Administration (UI).
Konten dari Pengguna
6 Juli 2022 15:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Republika
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Republika

Konsumsi Rokok Indonesia Masuk Dalam Kategori Darurat!

ADVERTISEMENT
Rasanya tidak perlu dijelaskan kembali tentang bahaya dan risiko dari mengonsumsi rokok terhadap kesehatan, tidak jarang terjadi orang disekitar kita mengalami penyakit serius dan bahkan sampai kehilangan nyawa akibat konsumsi rokok jangka panjang. Baru-baru ini Kementerian Kesehatan bersama dengan World Health Organization (WHO) telah menerbitkan hasil riset Global Adult Tobacco Survey yang kemudian disimpulkan bahwa saat ini Konsumsi Rokok di Indonesia masuk dalam Kategori Darurat, dimana sejumlah 25% masyarakat Indonesia merupakan perokok aktif.
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat Indonesia, rokok masih menjadi konsumsi utama dan menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah makanan dan minuman jadi (BPS, 2021). Tentu hal ini sangat memprihatinkan. Terlebih diperoleh dari bebagai sumber, sebanyak 19% anak stunting lahir dari keluaga yang perokok. Tentu hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah, mengingat isu stunting juga menjadi Program Prioritas Nasional yang ditargetkan turun s/d 14% pada Tahun 2024.
Tidak hanya mengancam kualitas SDM Indonesia, rokok juga mengancam kesehatan masyarakat dimana menurut Menkeu Sri Mulyani pada Tahun 2021, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp 27,7 Triliun pertahun, sedangkan Rp 15,6 Triliun merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan oleh BPJS.

Perlunya Revisi PP No. 109 Tahun 2012 dan Aksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)

Dalam rangka mengendalikan konsumsi rokok, saat ini Indonesia telah memiliki Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Akan tetapi sangat disayangkan PP tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
ADVERTISEMENT
Selama 10 Tahun PP tersebut dalam proses diundangkan, kenyataannya terdapat peningkatan signifikan jumlah perkok dewasa dari Tahun 2011-2021, yaitu dari 60,3 menjadi 69,1 juta orang (Global Adult Tobacco Survey, 2022). Terlebih Pada Tahun 2018, Indonesia memiliki pravelensi perokok tertinggi di dunia (>15tahun) yaitu sejumlah 62,9% serta adanya peningkatan signifikan pada perokok anak di bawah 18 Tahun dari Tahun 2013-2018 dengan pravelensi 7,2% menjadi 9,2% (DinkesProv DKI, 2022). Tren naik/turunnya konsumsi rokok di Indonesia setidaknya menjadi salah satu indikator paling sederhana dari keberhasilan sebuah kebijakan publik tersebut.
Untuk itu, sebaiknya Pemerintah mengkaji kembali PP No. 109/2012 tersebut untuk dapat direvisi sekaligus mengaksesi Konvensi Internasional yang berjudul Framework Convention Tobacco Control 2003 (FCTC) menjadi sebuah peraturan perundang-undangan nasional dimana saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang tidak meratifikasi maupun mengaseksi FCTC.
ADVERTISEMENT
Adapun beberapa hal dalam PP No. 109/2012 yang perlu direvisi agar sesuai dengan kebutuhan kondisi terkini, diantaranya adalah mengenai:
• Pictorial Health Warrning (PHW) yang diatur hanya sebesar 40%, sedangkan berdasarkan Studi TCSC-IAKMI, PHW baru dapat efektif menimbulkan rasa takut untuk merokok apabila PHW sebesar 90% dari kemasan.
• Iklan Promosi dan Sponsor masih bersifat batasan, sedangkan diperlukan larangan menyeluruh baik misalnya di media digital maupun di radius tertentu dari area sekolah.
• Belum adanya larangan penjualan rokok batangan/eceran.
• Rokok elektrik seperti vape dan heated tobacco product (HTP) belum diatur, sebagaimana saat ini rokok elektrik sudah sangat mudah kita temukan diberbagai tempat.
• Belum adanya penguatan pengawasan dari berbagai pemangku kepentingan, seperti BPOM, Pemda, dll
ADVERTISEMENT

Pictorial Health Warning Thailand (1989-)

sumber : https://tobaccocontrol.bmj.com/content/28/e1/e3

Kesejahteraan Petani Tembakau Lokal dan Importasi Tembakau

Kerap kali isu kesejahteraan Petani Tembakau dalam negeri menjadi alasan dari penolakan pengendalian tembakau di Indonesia oleh beberapa pihak. Padahal sebenarnya, pengendalian tembakau yang ketat tidaklah mempengaruhi kesejahteraan petani secara langsung apabila dilakukan dengan strategi yang baik. Permasalahan yang dihadapi petani tembakau pada dasarnya adalah kondisi cuaca dan tata niaga yang tidak baik karena petani tidak memiliki posisi tawar yang baik dibadingkan dengan tengkulak maupun pabrik.
Selain itu, masyarakat juga perlu lebih jeli lagi, bahwasannya Indonesia ternyata juga melakukan importasi dari negara lain yang jumlahnya sangat besar. Berdasarkan BPS, Pada Tahun 2021 total volume impor tembakau mencapai 116,93 ribu, sedangkan jumlah produksi tembakau lokal sendiri mencapai 236,9 ribu ton. Tiongkok menjadi pengimpor terbesar dengan volume 50,47 ribu ton, diikuti peringkat kedua dari Brazil, selanjutnya India. Sehingga kini, diketahui bahwa rendahnya posisi tawar petani juga diakibatkan adanya tembakau impor yang membanjiri pasar.
sumber : katadata.co.id
Adanya concern terhadap kesejahteaan petani tembakau apabila pengendalian diperketat bukanlah hal yang salah dan justru malah memang harus diperjuangkan oleh Pemerintah. Demand konsumsi rokok masyakarat, bukanlah sesuatu yang harus dipenuhi oleh Pemerintah karena bukan merupakan kebutuhan melainkan justru mengancam kesehatan dan akan menimbulkan beban kerugian perekonomian bahkan seringkali dikaitkan dengan pelanggaran HAM perokok pasif.
ADVERTISEMENT
Sehingga Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengurangi impor tembakau dari negara lain dengan menerapkan baik hambatan tarif maupun non-tarif. Sebagaimana Amerika menghentikan importasi kretek dari Indonesia pada Tahun 2009 untuk melindungi kesehatan masyarakat sebagai salah satu bentuk pengecualian yang diatur dalam WTO. Selain Amerika, Thailand juga melakukan pembatasan importasi rokok dan tembakau pada Tahun 2008.
Apabila Pemerintah mampu untuk membatasi importasi tembakau, maka hal ini akan memberikan multiplier effects bagi kesejahteraan petani dan penurunan konsumsi rokok masyarakat. Hal yang akan terjadi adalah supply tembakau / rokok akan menurun dibandingkan demandnya, sehingga harganya pun akan menjadi lebih mahal dan tidak mudah diperoleh masyarakat mengingat bahwa sebagian besar konsumen rokok berasal dari keluarga menengah kebawah (tcsc-indonesia.org,2020).
sumber : katadata.co.id

Penutup: Batasi Impor & Fokus Ekspor

Untuk mengurangi demand rokok masyarakat merupakan usaha yang panjang karena berkaitan dengan revolusi mental, sehingga yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah batasi supplynya, yaitu tembakau impor. Selain itu juga, Pemerintah dapat mengupayakan agar produk hasil panen tembakau lokal dapat difokuskan untuk eskpor, termasuk dengan produk jadi nya yaitu rokok. Sehingga dalam hal upaya pengendalian tembakau yang ketat tidak mempengaruhi kesejahteraan petani tembakau dan tenaga kerja industri rokok di Indonesia.
ADVERTISEMENT