Konten dari Pengguna

Power Wheeling dan Arah Kebijakan Transisi EBET Berkeadilan

Sofie Wasiat
Alumnus Taruna Nusantara dan Fakultas Hukum UGM dan Fakultas Ilmu Administrasi (UI).
10 Juni 2024 12:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya terpusat/Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Surya terpusat/Freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hingga saat ini, mekanisme Power Wheeling masih menjadi topik perdebatan dalam pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Diskusi tersebut diwarnai oleh argumen pro dan kontra baik dalam Rapat Pembahasan DPR RI dan unsur Pemerintah, maupun pengamat maupun pakar di bidang energi yang turut bersuara atas rencana pemerintah ini. Selain kedaulatan energi nasional, risiko merugikan rakyat dan negara pun juga menjadi salah satu pemicu perdebatan ini.
ADVERTISEMENT
Di tengah adanya perdebatan tersebut, di sisi lain, transisi energi tidak dapat dihindari bagi negara-negara termasuk Indonesia baik karena adanya perubahan iklim yang nyata, komitmen internasional (Paris Agreement), kebutuhan energi berkelanjutan, peluang investasi dan lain-lain. Namun, dalam proses ini, sangat penting untuk memastikan bahwa transisi energi dilakukan dengan prinsip berkeadilan agar semua pihak dapat merasakan manfaatnya secara merata. termasuk dengan rencana penerapan mekanisme Power Wheeling tersebut.

Karakteristik Transisi Energi Baru / Energi Terbarukan

Terdapat beberapa karakteristik EBET yang dapat dijadikan pertimbangan pemerintah dalam transisi
• Pembangkit Listrik dari ET membutuhkan investasi besar yang akan mempengaruhi biaya produksi dan menjadi bagian dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik. Biaya produksi listrik pun dari Pembangkit EBET tidak lebih murah dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional.
ADVERTISEMENT
• Berbeda dengan pembangkit listrik konvensional, pembangkit ET harus berlokasi dekat dengan sumbernya seperti panas bumi, angin, atau matahari, sehingga diperlukan pembangunan jaringan transmisi baru diluar jaringan grid yang sudah ada milik BUMN PLN.
• Sumber energi ET seperti angin dan matahari bersifat intermittent, sehingga menimbulkan tantangan tinggi dalam manajemen beban transmisi sehingga biaya operasional pun dapat meningkat.
• Penggunaan transmisi bersama (common carriage) dengan pengenaan Transmission Access Charges/TAC) merupakan praktik umum di berbagai negara, namun hal ini menimbulkan kompleksitas pada pemilik jaringan transmisi (BUMN PLN) yang selama ini mentransmisikan listriknya sendiri, oleh karenanya diperlukan kebijakan perhitungan TAC yang adil untuk memastikan transmisi listrik dapat berkembang sebagai bisnis mandiri yang menarik untuk diinvestasikan.
ADVERTISEMENT
Sehingga dalam penerapan power wheeling perlu dijawab tiga pertanyaan berikut 1) Apakah Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik akan turun atau justru naik, yang bisa berakibat pada kenaikan tarif listrik? 2) Bagaimana dampaknya terhadap keberlangsungan PLN dibandingkan dengan peningkatan investasi dari sektor swasta? 3) Bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dan APBN?

Tiga Pilar Transisi Energi dalam Mewujudkan Prinsip Berkeadilan

Untuk menjawab pertanyaan tersebut selain dari aspek ekonomi, juga perlu diperhatikan tiga pilar transisi energi yang perlu dipenuhi, seperti salah satunya adalah security of supply atau ketahanan pasokan di mana menjaga kedaulatan energi nasional sangat penting untuk menghindari ketergantungan pada pihak lain, serta aspek-aspek lainnya yaitu:

• Security of Supply (Availability and Accessability), berkaitan dengan:

ADVERTISEMENT

• Affordability (Least Cost), berkaitan dengan:

• Environmental (Acceptability)

Pada kaitannya dengan power wheeling, perlu untuk melihat kesiapan dan kemampuan masing-masing negara termasuk di Indonesia dengan tantangannya sendiri, yaitu dari sisi keuangan negara, kemampuan masyarakat, dan keberlanjutan BUMN.

Leaving No One Behind

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa sangat penting untuk memastikan bahwa transisi energi dilakukan dengan prinsip berkeadilan agar semua pihak dapat merasakan manfaatnya secara merata, yaitu adil bagi masyarakat dan adil pula bagi penyedia tenaga listrik.
ADVERTISEMENT

• Adil bagi Masyarakat

Untuk memastikan keadilan bagi masyarakat, pemerintah perlu menjamin akses energi listrik yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern. Ini termasuk pengembangan infrastruktur dan akses listrik di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Jika mekanisme power wheeling diberlakukan, wilayah 3T harus menjadi prioritas utama dalam implementasinya agar dapat dirasa manfaatnya.

• Adil bagi Penyedia Tenaga Listrik (BUMN PLN)

Listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pasti memerlukan pembangunan transmisi atau distribusi baru, baik sebagian maupun seluruhnya. Pada akhirnya, hal ini akan mengarah pada penggunaan bersama (common carriage) dari grid yang sudah ada. Kondisi ini akan mempengaruhi prinsip keadilan terhadap pemilik grid yang sudah ada sebagai pemegang hak lama (grandfather's right).
Prioritas BUMN sebagai representasi penguasaan negara tetap harus dijaga, dengan memperhatikan prinsip kompetisi yang adil.
ADVERTISEMENT

• Prisip No One Left Behind

Dengan memprioritaskan transisi EBET, pemerintah tetap perlu untuk mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi seperti penting untuk memperhatikan para pekerja dan masyarakat yang bergantung pada bahan bakar fosil. Sehingga diperlukan penciptaan peluang yang layak serta pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia dalam industri EBET. Selain itu, kebijakan yang komprehensif dalam rencana aksi transisi energi nasional sangat diperlukan.