Konten dari Pengguna

Power Wheeling: Tantangan terhadap Kedaulatan Energi dalam Koridor Konstitusi

Sofie Wasiat
Alumnus Taruna Nusantara dan Fakultas Hukum UGM dan Fakultas Ilmu Administrasi (UI).
17 September 2024 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) dikabarkan telah mendekati tahap akhir pembahasannya, namun masih menyisakan dua pasal krusial karena memicu perdebatan yang sangat intens, yaitu mengenai Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) atau dikenal sebagai Power Wheeling/Sewa Jaringan yang memungkinkan Pembangkit Swasta / Independent Power Producer (IPP) dapat menyalurkan listriknya melalui jaringan transmisi milik BUMN PT. PLN (Persero).
ADVERTISEMENT
Banyak kekhawatiran yang muncul dari berbagai pihak terkait penerapan Power Wheeling, baik mengenai potensi privatisasi energi, kenaikan tarif listrik, bertambahnya beban perekonomian negara, dan lain-lain hingga melemahkan kedaulatan negara dalam pengelolaan energi nasional. Dalam suasana debat yang tak kunjung usai ini, sangat penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk kembali memikirkan hal yang paling mendasar dengan merujuk pada apa yang telah diamanatkan oleh konstutisi.

Power Wheeling: "Bak Buruk Rupa Cermin Dibelah"

Power wheeling merupakan salah satu bentuk penerapan konsep unbundling dalam penyediaan tenaga listrik. Gagasan Power Wheeling diusulkan sebagai upaya mempercepat transisi energi dari sumber konvensional (fosil) ke EBET, serta memperluas akses energi di seluruh Indonesia dengan IPP menggunakan jaringan transmisi milik PT. PLN (Persero). Namun, efektivitas mekanisme ini dalam mencapai tujuan tersebut diragukan karena sifat dasar perusahaan swasta yang lazimnya berorientasi pada keuntungan / Profit Oriented.
ADVERTISEMENT
Sifat ini menjadi salah satu pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-1/2003, yang menyatakan bahwa "pelaku usaha swasta cenderung berfokus pada pasar yang sudah mapan (seperti Jawa, Madura, dan Bali), sehingga sulit mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata," mengingat hingga kini masih ada wilayah di Indonesia, khususnya di daerah 4T (terluar, terdepan, tertinggal, transmigrasi), yang belum sepenuhnya teraliri listrik.
Putusan MK ini membatalkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang memerintahkan praktik unbundling, kental akan kompetisi dan persaingan usaha (swasta), dimana dalam UU ini listrik diposisikan sebagai komoditas pasar, dan bahkan tidak diatur mengenai penguasaan negara. Bahkan yang lebih menarik dalam pertimbangan Putusan tersebut, MK menyebutkan sebuah pepatah yaitu “bak buruk muka cermin dibelah”. Dimana tak tepat bahwa inefiensi BUMN dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan Pasal 33 UUD RI 1945, pembenahan haruslah dilakuan untuk memperkuat penguasaan negara dalam melaksanakan kewajiban konstitusionalnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan setelah 20 tahun lebih pun, pepatah ini masih relevan untuk diungkapkan, mengingat bahwa Power Wheeling yang merupakan ambisi pemerintah untuk mempercepat transisi energi namun terkesan abai terhadap prinsip dasar penguasaan negara atas sumber daya strategis yang diamanatkan oleh konstutusi. Lebih parahnya, saat ini Indonesia pun sedang dihadapkan dengan masalah kelebihan pasokan listrik (oversupply).
Dimana diperkirakan, hingga tahun 2026, lebih dari 32.000 MW pembangkit baru akan masuk ke dalam sistem. Upaya untuk meningkatkan permintaan organik yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah tersebut justru diperkirakan akan tergerus hingga 30% oleh pihak swasta melalui mekanisme power wheeling, yang akan memperparah beban Take or Pay akumulatif dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun pada periode 2022-2030.
ADVERTISEMENT
Selain itu, apabila Power Wheeling diimplementasikan, PT. PLN (Persero) juga harus menambah cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) guna menjaga keandalan dan stabilitas sistem karena sifat EBET yang tidak stabil (intermittent). Setiap masuknya 1 GW pembangkit melalui mekanisme power wheeling dapat menyebabkan biaya tambahan sebesar Rp 3,44 triliun, termasuk biaya ToP dan backup cost, yang akan membebani keuangan negara. Kondisi ini pada akhirnya akan menaikkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik dan menambah beban APBN.
Selain Putusan MK. No 001-021/PUU-1/2003 terdapat pula Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 terhadap Gugatan Uji Materiil UU No. 30 Tahun 2009, dimana Putusan MK ini menguatkan larangan Praktek Unbundling yang dapat menghilangkan kontrol negara.
ADVERTISEMENT
Kini pertanyaannya, apakah kebijakan Power Wheeling sejalan dengan semangat konstutisi yang menegaskan pentingnya penguasaan negara atas sektor strategis seperti energi? Dan apabila pemerintah terus mendorong penerapan Power Wheeling, bagaimana mekanisme ini tidak justru memperburuk ketimpangan dan melemahkan kontrol negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 dan diperkuat dengan beberapa Putusan MK?.
Dalam hal ini, Pemerintah harus mempertimbangkan kembali kebijakan ini dengan berhati-hati agar tujuan transisi energi nasional tidak melenceng dari kewajiban konstitusinal untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Penutup

Dalam rangka memastikan kebijakan transisi energi berjalan sesuai dengan konstitusi, beberapa langkah penting dapat dilakukan pemerintah, diantaranya :
1. Reevaluasi RUU EBET, dimana Pemerintah perlu meninjau kembali target-target yang telah ditetapkan, mengingat juga telah ada RUPTL 2021-2030 dimana PT. PLN (Persero) telah ditugaskan untuk membangun pembangkit EBT sebesar 20,9 GW, dengan kata lain permintaan listrik hijau sejatinya dapat dipenuhi oleh BUMN tersebut.
ADVERTISEMENT
2. Analisis Keamanan dan Ketahanan Energi Nasional, karena dengan adanya praktek unbundling sekaligus power wheeling keduanya dapat mengurangi kontrol negara terhadap energi listrik yang berimplikasi pada akses dan keterjangkauan terhadap seluruh lapisan masyarakat, serta
3. Menghentikan kebijakan yang inkonstitusional dan berpotensi melanggar prinsip Pasal 33 UUD RI 1945.