Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Urgensi RUU SDA : Pengakuan Hak Rakyat atas Air
27 Februari 2019 11:04 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Sejak dinyatakan inkonstitusionalnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air (UU SDA) oleh Mahkamah Konstitusi pada Tahun 2013 lalu kini tidak ada rekognisi terhadap hak rakyat atas air oleh negara. Walaupun pada putusan MK tersebut UU Pengairan diberlakukan kembali, UU tersebut dinilai tidak dapat memayungi hak rakyat atas air secara komprehensif mengingat air adalah salah satu kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Dimana menurut WHO, setiap orang membutuhkan minimal 20 liter air bersih per hari untuk memenuhi kebutuhan makan higenis dan kebersihan dasar, (basic hygiene food and basic hygiene needs), belum termasuk kebutuhan lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara hukum yang bersumber dari hukum tertulis, Indonesia memiliki banyak produk hukum yang sudah tidak up to date, Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Maka bagi negara-negara yang menganut sistem civil law, legislator memiliki peran penting untuk segera dan selalu menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang tertinggal.
Pada saat Putusan MK tersebut dijatuhkan, umur UU Pengairan sudah menginjak 39 tahun lamanya. Lucunya, bukannya mengejar tapi malah jauh lari ke belakang. UU SDA diundangkan tahun 2003 dan dibatalkan di tahun 2013 tidak justru membuat Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang lebih relevan untuk diterapkan pada masanya tersebut. Karena yang ada adalah penghidupan kembali terhadap sebuah undang-undang yang tidak juga lebih relevan jika dibanding dengan UU SDA hanya untuk semata-mata mengisi kekosongan hukum, dan justru berumur jauh lebih tua.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diingat bahwa terhadap hal ini, putusan MK pun tidak boleh disalahkan, apalagi tidak diaati. Res Judicata Pro Veritate Habetur atau putusan hakim harus dianggap benar, apalagi Putusan MK final dan mutlak sifatnya. Sehingga sebagai hamba hukum yang baik, haruslah kita menghormatinya. Sehingga kali ini, dibutuhkan sifat pro-aktif dari pemerintah terhadap situasi dan kondisi pasca UU SDA dinyakan inkonstitusional serta UU Pengairan diberlakukan kembali.
Swastanisasi, merupakan ide pokok dari diajukannya uji materiil terhadap UU SDA. Swastanisasi, dianggap sebagai penyebab utama mengapa ada rakyat mendapat air yang berkualitas dan sebagian lainnya tidak. Swastanisasi, kini menjadi momok dari penyusunan RUU-SDA tersebut agar tidak mengingkari apa yang termaktub dalam konstitusi “dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Tapi realitas diluar bagaimana pelaksanannya, hingga kini justru rakyat belum mendapat pengakuan atas haknya terhadap air secara komprehensif. Mungkin saja kalimat “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” tidak sengaja terlupakan.
ADVERTISEMENT
Dalam menanggapi hal tersebut DPR telah berinisiatif untuk menyusun RUU-SDA yang baru. Hal ini merupakan langkah yang baik dan patut untuk diapresiasi. Namun dilapangan, seolah-olah terjadi tarik-menarik kepentingan antar pihak bagaikan negara dan swasta memiliki kesetaraan kedudukan, padahal seharusnya tidak demikian. Akibatnya proses penetapan RUU-SDA tersebut tersendat-sendat dan belum dapat segera disahkan dan diundangkan.
Disisi lain, masuknya RUU SDA dalam Prolegnas Prioritas tak kunjung dapat disebut sebagai kabar baik bagi masyarakat. Karena adanya situasi politik yang tidak mendukung kelancaran sidang pembahasan RUU SDA menjelang Pileg dan Pilpres tahun ini. Sehingga hal ini diduga mejadi sebuah distraksi besar bagi para wakil rakyat agar terus dapat mempertahankan eksistensinya di kursi tempatnya saat ini.
ADVERTISEMENT
Jika saja RUU-SDA tidak berhasil diselesaikan pada Pileg dan Pilpres bulan April mendatang, maka tidak besar pula harapan agar RUU-SDA dapat ditetapkan di tahun yang sama. Mengingat setelah pileg berakhir, akan disusul dengan hiruk pikuk lain berupa pelantikan, penempatan posisi anggota baru di DPR-RI (Komisi dan Badan Kelengkapannya). Hingga akhirnya RUU-SDA ini baru akan dibahas kembali di akhir tahun 2019. Namun berhubung banyak anggota Dewan yang baru bergabung, dikhawatirkan akan memerlukan waktu panjang untuk proses memhami isi RUU SDA tersebut.
Setelah 9 tahun UU SDA dinyatakan inkonstitusional oleh MK, lalu ada UU lama yang usianya sudah 45 Tahun, dihidupkan kembali. Sudah saatnya pemerintah sadar bahwa buah pikiran dari berbagai pertentangan hukum yang terjadi adalah “demi kepentingan rakyat”. Pemerintah tidak perlu terus menerus larut dalam urusan penguasaan, pengelolaan, pengusahaan oleh siapa, pihak mana dan lain sebagainya. Karena yang perlu ditekankan dalam kasus ini adalah bagaimana pemerintah dapat menciptakan sinergitas yang baik dengan pihak-pihak lain, agar air dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika saja semua dikuasai oleh negara, namun negara tidak dapat mengelola. Maka apa bedanya dengan situasi RUU-SDA ini diundangkan? Atau bisa-bisa lebih parah karena negara kali ini “kurang mau dibantu” untuk menyelesaikan pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
Dalam sudut pandang internasionalpun pengakuan hak atas air juga dinilai penting. Hal ini sesuai dengan sebuah instrument hukum internasional General Comment No. 15 The Right to Water yang berbunyi “The human right to water is indispensable for leading a life in human dignity. It is a prerequisite for the realization of other human rights”. Kalimat tersebut menegaskan bahwa hak asasi manusia atas air sebagai prasyarat dari realisasi HAM lainnya. RUU Perkoperasian, RUU Persaingan Sehat dan Antimonopoli, RUU Ibadah Haji dan Umroh, RUU Kebidanan dan RUU Perkawinan disebut menjadi 5 dari 33 RUU Prolegnas Prioritas yang ditargetkan harus diselesaikan oleh DPR, sedangkan RUU-SDA tidak termasuk di dalamnya. (Pidato Ketua DPR dalam pembukaan masa persidangan tahun 2019).
ADVERTISEMENT
Sehingga kini pertanyaanya; Bagaimana mungkin sebuah negara hukum yang telah berdiri 74 tahun lamanya tetapi belum memiliki rekognisi terhadap hak rakyat atas air?. Bagaimana mungkin dengan telah diakuinya human right to water dalam sistem hukum internasional, sejak 1950 menjadi negara anggota PBB Indonesia tidak memiliki rekognisi hak atas air tersebut? Dan bagaimana mungkin hak rakyat atas air yang tidak diatur secara konstitusional dapat dipenuhi, dijamin, dan dilindungi oleh negara si penganut sistem hukum tertulis itu sendiri?
Setelah mengetahui pentingnya pengakuan hak rakyat atas air tersebut, diharap DPR dan Pemerintah dapat segera menyelesaikan pembentukkan RUU-SDA ini. Sebagaimana telah diserahkannya Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh pemerintah pada tanggal 23 Juli 2018, agar segera dapat diselenggarakan sidang pembahasan antara DPR dengan pemerintah. Agar dengan diundangkannya RUU-SDA, diharapkan dapat memberikan sebuah perlindungan dan jaminan terhadap pemenuhan hak rakyat atas air oleh negara. Serta menjadi sebuah jawaban terhadap berbagai permasalahan tentang air ditingkat nasional maupun daerah secara komprehensif.
ADVERTISEMENT
Sofie Wasiat,
Alumni Fakultas Hukum UGM
PH&H Public Policy Interest Group.