Fenomena Fanatisme terhadap Idola, Seberapa Berbahaya?

Sofwatun Nida
Mahasiswi Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
28 Mei 2021 13:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofwatun Nida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Oguz Surbecti via Unplash
zoom-in-whitePerbesar
Oguz Surbecti via Unplash
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwa selebritas merupakan salah satu unsur penting di industri hiburan. Karena memang pada dasarnya, selebritas adalah sebuah profesi yang ikut menggerakkan perekonomian. Penjualan album, official merchandise, hingga produk-produk terkait lainnya menjadi salah satu penyumbang pendapatan negara terbesar abad ini.
ADVERTISEMENT
Belum lagi dengan laba yang diperoleh dari gelaran konser-konser dengan ribuan penonton. Contoh sederhana dapat diambil dari fenomena Korean Wave dengan kepopuleran K-Popnya. Data yang dihimpun dari Gaon Chart, sebuah grafik rekor lagu nasional yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan, menunjukkan bahwa tak kurang dari 20 juta keping album para artis K-Pop terjual setiap tahunnya.
Eksistensi idola ini kemudian memunculkan sebuah entitas baru yang diistilahkan sebagai fans atau penggemar. Para fans yang memiliki ketertarikan terhadap sosok yang sama umumnya akan membentuk kelompok yang disebut dengan fandom. Fans yang tergabung dalam fandom ini tak akan ragu untuk merogoh saku yang cukup dalam guna membeli barang-barang berbau sang idola, entah itu pakaian, brand kosmetik, maupun produk makanan. Namun, terdapat titik-titik tertentu di mana fanatisme seseorang dianggap terlalu berlebihan atau melewati batas wajar.
ADVERTISEMENT
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan fanatisme sebagai keyakinan yang terlalu kuat terhadap ajaran tertentu. Apabila dimaknai secara lebih luas, fanatisme juga dapat diartikan sebagai suatu paham atau tindakan yang menunjukkan adanya ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Seseorang yang fanatik terhadap sesuatu cenderung sulit untuk mengubah pola pikir dan pandangannya.
Lalu mengapa bisa berbahaya?
Pengunjung memfoto saat Grup K-pop Super Junior menghibur para penggemarnya saat menggelar konser di ICE BSD, Tangerang, Banten, Sabtu (11/1). Foto: Athletina Melati/kumparan
Fans yang ‘toksik’
Dapat dikatakan bahwa seorang fanatik memiliki standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini atau gagasan yang dianggapnya bertentangan. Ketika logika tidak dapat lagi menjadi penyeimbang pola pikir yang dimiliki, maka akan muncul sifat-sifat toksik. Aktivitas fans yang toksik atau tidak sehat ini dapat memicu tindakan-tindakan di luar nalar dan kewajaran. Pembunuhan sadis terhadap John Lennon, salah satu personel The Beatles, hingga kasus perusakan properti yang dialami oleh artis dalam negeri, Via Vallen beberapa waktu silam merupakan sekelumit contoh dari praktik fans yang toksik.
ADVERTISEMENT
Ancaman kesehatan mental
Seseorang yang mengidolakan sosok tertentu cenderung akan mencontoh perilaku orang yang diidolakannya. Tak jarang, kondisi ini berujung pada hilangnya identitas diri karena terlalu terpengaruh dengan karakter idolanya. Perasaan memiliki yang berlebihan terhadap idola pada akhirnya juga menjadi salah satu faktor yang dapat mengancam kesehatan mental dan membahayakan diri. Kondisi ini dapat terjadi karena fans telah masuk dalam taraf kecanduan yang dapat ditandai dengan tindakan-tindakan terlalu ingin tahu dengan kegiatan serta aktivitas sang idola, kebiasaan meguntit, hingga tak mau ketinggalan secuil informasi pun dari sosok idolanya.
Mengidolakan seseorang sejatinya merupakan perilaku yang normal. Namun, menjadi hal yang perlu diwaspadai ketika kebiasaan tersebut berubah menjadi aktivitas yang mengarah pada tindak kejahatan seperti pelanggaran privasi, penipuan, bahkan sampai menyakiti diri sendiri atau orang lain demi sosok yang diidolakan. Selayaknya manusia, para idola tetap memiliki kehidupan pribadi dan tak luput dari kesalahan.
ADVERTISEMENT
Fenomena fanatisme terhadap individu atau kelompok tertentu tentu perlu disikapi secara bijaksana. Tidak ada yang salah dalam mengidolakan seseorang, selama hal tersebut masih dalam batasan yang wajar, mengingat terdapat sisi positif yang dapat dipetik ketika menjadikan seseorang sebagai role model atau inspirasi. Membangun suatu support system yang kuat dengan orang-orang terdekat dengan cara saling mengingatkan dan menjalin komunikasi yang baik dapat dijadikan sebagai bentuk pencegahan terhadap sikap-sikap fanatik yang toksik dan berbahaya.