Konten dari Pengguna

Koalisi Merah Hijau Langgeng Sejak Era Bung Karno

Abd Malik Efendi, SH
Paralegal di law office yang juga sebagai pegiat citizen journalism
27 Juli 2023 14:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abd Malik Efendi, SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dibawah kendali Bung Karno pasca kemerdekaan Republik Indonesia (dokpri).
zoom-in-whitePerbesar
Dibawah kendali Bung Karno pasca kemerdekaan Republik Indonesia (dokpri).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejumlah partai politik saling deklarasikan capres untuk persiapan pilpres yang akan datang, rangkaian partai koalisi sedang sibuk mencari tempat duduk bersama kawan yang aman. Pemikiran Ir. Soekarno dalam merumuskan demokrasi terpimpin pada masa orde lama mungkin masih banyak yang menentang, namun catatan sejarah membuktikan koalisi merah hijau-lah dari dulu terbukti memang paling nyaman. Kira-kira seperti itu pantun yang pas untuk membaca ritme politik di Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
Minimnya pernyataan sikap para ketum-ketum partai yang hingga kini masih belum seluruhnya menentukan sikapnya untuk saling menguatkan antar koalisi yang mereka susun, nampaknya pertanda jika beberapa partai yang belum menyatakan koalisinya terhadap sejumlah partai lain, masih sangat dini bagi mereka untuk membeberkan pernyataannya kepada publik.
Dalam salah satu buku yang ditulis oleh Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno menyebutkan jika sejarah kuno negara-negara timur, terkadang menunjukkan kecenderungan yang diulang-ulang, semakin baru waktunya maka akan semakin akrab dalam memulainya. Sama halnya dengan koalisi merah hijau ditahun-tahun politik dari orde lama hingga sekarang.
Pasca pemilu 1955, Partai Nahdlatul Ulama bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam koalisi Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) yang dicetuskan oleh Soekarno. Dikutip dari tirto.id Konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) dicetuskan oleh Sukarno. Rumusan ini mewakili tiga pilar utama yang menjadi kekuatan politik bangsa Indonesia, sejak era pergerakan nasional hingga pasca-kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Nasakom sendiri menjadi ciri khas era Demokrasi Terpimpin yang berlangsung pada 1959 hingga 1965. Namun, gagasan ini ternyata sudah dipikirkan oleh Sukarno jauh sebelum itu, yakni pada 1926. Dalam artikelnya di surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda, Sukarno menulis: “Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis Sukarno.
“Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,” lanjutnya.
Sukarno muda menilai ada tiga aliran politik yang menjadi pilar pergerakan nasional dalam kehidupan bangsa pada zaman kolonial Hindia Belanda kala itu.
ADVERTISEMENT
Pertama adalah kelompok nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP), kedua golongan muslimin yang mewujud dalam Sarekat Islam (SI), dan ketiga Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan ideologi marxisme. Meski begitu, kekuatan tiga partai besar tersebut kala itu menyisakan catatan-catatan tersendiri dalam setiap perjuangan politiknya, bukan berarti NU ikut serta begitu saja dalam proses Nasakomisasi.
Perbedaan ideologis dengan PKI menjadikan NU bersikap anti terhadap manuver-manuver politik PKI yang mejadi bagian dari Nasakom. Perjuangan umat tetap dipertahankan oleh NU serta benturan-benturan politik dan fisik antara NU dan badan otonomnya menghadapi ancaman komunis juga menjadi bagian dari sejarah NU sendiri.
Dari sejumlah hasil penelitian, ada yang menyebutkan jika respons NU yang menerima konsep Nasakom, merupakan suatu perjuangan politik dari dalam pemerintahan untuk melawan pengaruh komunis. Jika NU, yang merupakan partai Islam terbesar setelah pembubaran Masyumi tahun 1960, tidak ikut ke dalam pemerintahan, maka golongan komunis yang kuat saat itu akan mendominasi perpolitikan nasional.
ADVERTISEMENT
Respons NU yang menerima konsep Nasakom merupakan strategi politik membendung pengaruh komunis dan menjalankan politik amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu terbukti ketika terjadi peristiwa G30S/PKI, NU menjadi salah satu partai yang paling awal untuk menuntut pembubarannya.
Selain itu, mereka juga tercatat oleh sejarah sebagai koalisi terkuat kala itu, dalam sejarah kancah perpolitikan nasional yaitu koalisi merah hijau. Tidak cukup di situ saja, tahun-tahun politik berikutnya terus membuktikan jika koalisi merah hijau semakin rekat.
Terbentuknya koalisi "mega bintang" pada pemilu 1997, pasca Partai Demokrasi Indonesia (PDI) versi Megawati dijegal dalam peristiwa Kudatuli. PDI versi Megawati tidak bisa ikut pemilu dan mengalihkan dukungan ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk melawan hegemoni golkar.
ADVERTISEMENT
Kemudian disusul tahun berikutnya, “Koalisi Poros Tengah” yang di isi oleh enam parpol. Pada pemilu 1999, ketika Presiden masih dipilih oleh MPR, PDI Perjuangan berkoalisi dengan partai berbasis masa islam tradisionalis seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ditambah partai islam berhaluan modernis seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanah Nasional (PAN) dengan mengusung mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai capres dan Megawati Soekarno Putri sebagai cawapresnya.
Dilanjutkan pada koalisi merah hijau yakni Mega-Hasyim pada Pemilu 2004, PDI Perjuangan kembali berkoalisi dengan PPP dengan mengusung Megawati sebagai capres dan KH. Hasyim Muzadi selaku Ketum PBNU pada waktu itu sebagai cawapresnya.
ADVERTISEMENT
Dilanjutkan pada era Jokowi yakni Koalisi Indonesia Hebat pada Pemilu 2014, masih dalam kibaran bendera merah hijau, PDI Perjuangan berkoalisi dengan PKB ditambah lagi dengan Partai Nasdem dan Hanura yang mengusung capres Jokowi dan cawapres Jusuf Kalla. Kemudian hingga saat ini dalam koalisi Indonesia Maju dalam Pemilu 2019, lagi-lagi PDI Perjuangan kembali berkoalisi dengan PKB dan PPP ditambah mayoritas partai lain mengusung capres Jokowi dan cawapres Rais Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin.
Nampaknya memang benar apa yang dikatakan oleh Horkheimer dan Theodor W. Adorno, bahwa sejarah kuno negara-negara timur, terkadang menunjukkan kecenderungan yang diulang-ulang, semakin baru waktunya maka akan semakin akrab dalam memulainya.
Faktanya dalam Pemilu 2024 yang akan datang, PPP kembali menyatakan sikapnya untuk siap berkoalisi dengan PDI Perjuangan yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai capresnya, kemudian muncul nama tokoh pemuka Islam tradisionalis seperti KH. Nassarudin Umar hingga TGB Zainul Majdi sebagai cawapres, disusul Sandiaga Uno yang sudah jadi Kader PPP dan Erick Tohir yang tiba-tiba jadi Kader NU.
ADVERTISEMENT
Kalaupun harus merujuk pada rangkaian sejarah, mungkin kita hanya menunggu statement dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kerap diisukan bahwa PKB hari ini bukan lagi sebagai Partainya NU dan hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) disebutkan oleh KH. Yahya Cbolil Staquf bahwa NU bukan hanya milik dari satu Partai saja. ****