Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Politik Licik tanpa Etik: Ketidakadilan Hidup Makmur di Tanah Air yang Subur
6 Februari 2024 17:12 WIB
Tulisan dari Bahtera Muhammad Persada tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca Pelanggaran Etik Berat yang telah dilakukan oleh kedua instansi penjaga demokrasi, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi suatu musibah besar dalam negara kita yang demokratis. Mengingat Putusan MK perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) telah bersifat mengikat, kendatipun faktanya bahwa putusan tersebut inkonstitusional dan terbukti telah melangga etik. Kemudian terimbas juga kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) bapak Hasyim Asy'ari dan kroninya setelah pernyataan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bahwa KPU telah melanggar etik karena menerima pencalonan cawapres Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan dari Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
Etika menyangkut baik dan buruk, budaya malu. Jika tidak punya etika artinya tidak punya malu. Budaya etika yang harus menjadi pedoman berkehidupan baik secara sosial, budaya, mapun politik. Maka dari itu sebagai produk gagal konstitusi yakni Gibran Rakabuming Raka mendapatkan julukan sebagai Nepotisme Baby dan Anak Haram Konstitusi. Karena pelaku telah menabrak dua instansi penjaga demokrasi. Jika Gibran masih memiliki etika dan moral, maka sebagai manusia berakal harusnya mundur dari pencalonan karena tidak sesuai secara moral dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Pada tahun 1998, ribuan mahasiswa berusaha membangun demokrasi dengan reformasi hingga memakan korban jiwa. Namun pada tahun 2023, lahir anak haram konstitusi ingin meruntuhkan demokrasi. Dimana letak etikanya, ketika awal pencalonan saja telah mengakibatkan dua instansi kehilangan etiknya demi memberi dia karpet merah menuju pencalonan.
ADVERTISEMENT
Kedudukan sebuah etik dalam menentukan hukum termasuk asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan juga nilai mengenai benar dan salah terhadap yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Karena etik menjujung tinggi nilai moralitas dalam mengatur keadilan yang produknya sendiri adalah hukum. Jika produk telah melanggar aturan dalam menentukan sebuah kandungan, lantas bagaimana lagi cara untuk menggapai angan keadilan ketika dalam pembuatan bahan saja telah keracunan. Ini negara hukum bukan negara kekuasaan.
Terkait sebuah putusan pengadilan, putusan tersebut harus memiliki 3 dasar: 1) Legitimasi Hukum, 2) Legitimasi Etik, 3) Legitimasi Sosial. Jika ada pelanggaran etik berat dalam pengadilan, maka menurut UU tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa putusan tersebut harus dianggap tidak sah karena telah kehilangan landasan etiknya dan harus melakukan proses pengkajian ulang.
ADVERTISEMENT
Dalam Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/2001, meletakkan basis etika dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, agar terwujud tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam upaya terwujudnya negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Penulis berharap agar masyarakat tanah air tercinta lebih dapat memahami seberapa penting sebuah etik dan etika dalam berpolitik.
Lekas sembuh NKRI, padamu jiwa raga kami.