Konten dari Pengguna

Ketika Otoritas Keagamaan Bergantung pada Algoritma

Soleh Hasan Wahid
Soleh Hasan Wahid is currently working as a Lecturer of Islamic Law and Economics at the Sharia Faculty, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo. He is the Secretary of the Internal Audit Department of IAIN Ponorogo.
12 Februari 2025 15:45 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Soleh Hasan Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
algoritma media sosial dan otoritas keagamaan (sumber:canva.com)
zoom-in-whitePerbesar
algoritma media sosial dan otoritas keagamaan (sumber:canva.com)
ADVERTISEMENT
Di era digital, khususnya bagi Gen Z dan Gen Alpha, media sosial telah merevolusi persepsi mereka mengenai otoritas keagamaan, baik dalam hal pola produksi, distribusi, maupun konsumsi. Pergeseran ini, meski belum sepenuhnya mengubah, telah memengaruhi dinamika otoritas keagamaan tradisional yang selama ini telah mapan.
ADVERTISEMENT
Popularitas dan legitimasi keagamaan tidak lagi semata bergantung pada kedalaman ilmu, relasi dengan jemaah, kontribusi sosial, dan nasab—seperti yang disinggung oleh Ismail Fajrie—tetapi lebih bergantung pada algoritma yang bekerja di balik layar. Lebih jauh lagi, dampak algoritma media sosial tidak terbatas pada distribusi informasi saja. Algoritma ini menciptakan hierarki baru, di mana engagement dan daya tarik visual terkadang justru menentukan siapa yang dianggap otoritatif oleh Gen Z. Fenomena ini semakin diperkuat oleh tren demografis saat ini yang didominasi oleh Gen Z dan Alpha, di mana mereka cenderung mengonsumsi informasi yang cepat, instan, dan emosional. Kondisi ini, secara tidak langsung, menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas tradisional dan bagi keagamaan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami pergeseran ini dengan lebih baik, kita perlu menengok kembali salah satu teori klasik tentang otoritas. Max Weber telah lama mengidentifikasi tiga tipe otoritas: tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Sebelum era digital, otoritas keagamaan di Indonesia umumnya berakar pada model tradisional—berbasis nasab atau warisan budaya. Salah satu contohnya adalah kepemimpinan di pesantren, di mana otoritas sering diwariskan melalui jalur keluarga. Sementara itu, otoritas berbasis warisan budaya dapat ditemukan dalam struktur kepemimpinan kepala adat, seperti peran Datuk di masyarakat Minangkabau atau Rato di Sumba. Transisi ke era digital memunculkan dimensi baru dalam pemahaman dan praktik otoritas keagamaan di Indonesia, yang kemudian memengaruhi model-model tradisional yang telah lama mapan.
Kini, dengan berkembangnya media sosial, pola atau dinamika yang disinggung Max Weber mulai bergeser, meski saat ini pergeserannya masih terbatas. Otoritas tradisional masih cukup kuat, tetapi disadari atau tidak, era digital telah memengaruhi pola-pola otoritas di Indonesia. Fenomena ini membentuk kategori otoritas baru yang sebelumnya tidak dikenal. Algoritma di media sosial telah memunculkan jenis otoritas baru yang bisa kita sebut sebagai “karisma algoritmik.” Dalam konteks ini, popularitas dan visibilitas tokoh keagamaan tidak lagi ditentukan oleh indikator nasab, relasi dengan jemaah, dan keilmuan, melainkan seseorang bisa saja meraih otoritas semata berkat daya tarik konten media sosial yang didukung oleh algoritma. Pergeseran ini menimbulkan pertanyaan tentang masa depan otoritas keagamaan di era digital dan bagaimana masyarakat menyeimbangkan antara nilai-nilai tradisional dengan tuntutan modernitas.
ADVERTISEMENT
Media sosial, yang kini dianggap sebagai alat bagi tokoh keagamaan untuk meraih popularitas dalam waktu singkat, telah mengubah model dan cara mereka dalam menarasikan substansi keagamaan. Konten di media sosial seperti “doa kaya dalam 1 menit” atau “cara masuk surga dengan amalan sederhana” cenderung lebih mudah viral karena memenuhi kriteria dasar algoritma yang menyukai konten singkat, emosional, dan mudah dikonsumsi. Fenomena ini akhirnya menjalar ke berbagai model dakwah dan turut mereduksi kedalaman substansi dakwah itu sendiri.
Deloitte (2023), terkait persoalan ini, mencatat bahwa Generasi Z menghabiskan rata-rata 3–4 jam per hari di media sosial, sementara Generasi Alpha bahkan lebih lama, karena sejak dini telah terpapar perangkat digital. Pola konsumsi yang dibentuk oleh algoritma pada umumnya lebih memprioritaskan konten ringkas yang dapat menarik perhatian dalam hitungan detik. Kondisi ini mendorong munculnya beragam “dakwah kilat” yang menitikberatkan respons emosional ketimbang penjelasan yang detail, gamblang, dan mencerahkan.
ADVERTISEMENT
Mengenai fenomena di atas, Millie dan Baulch menyebutnya sebagai praktik Islamic Consumerism (Millie & Baulch). Hal ini dapat dilihat pada beragam format dakwah digital—seperti video TikTok berdurasi 30 detik atau meme bernuansa keagamaan—yang lebih menonjolkan unsur hiburan, isu terkini, dan cenderung dikemas dengan gaya digital marketing. Akibatnya, narasi religius dewasa ini sering kali berubah menjadi “trigger” untuk memancing klik dan interaksi, sehingga melupakan tujuan sebenarnya, yakni memandu pemahaman tentang teks keagamaan dan landasan teologisnya. Meski dianggap lebih praktis dan efisien, pola ini berisiko mengurangi esensi dakwah itu sendiri. Generasi muda—yang terbiasa dengan ritme informasi serba instan—rentan meninggalkan dimensi reflektif dan kritis yang sebenarnya merupakan ruh dari dakwah.
Dari sudut pandang kelanggengan, otoritas yang mengandalkan logika algoritma semata cenderung rapuh, terutama ketika tren platform digital berubah dengan cepat. Seorang dai yang sebelumnya berjaya di YouTube berkat gaya ceramah jenaka bisa tiba-tiba kehilangan relevansi saat format video pendek seperti TikTok menjadi dominan dan lebih banyak dikonsumsi. Generasi Z dan Alpha, yang terbiasa dengan konten singkat dan emosional, akan dengan mudah beralih ke dakwah berdurasi ringkas yang sesuai dengan ritme konsumsi mereka (Pew Research Center, 2022). Pada akhirnya, “kecocokan” dengan algoritma mungkin saja mengangkat figur keagamaan dalam waktu singkat, tetapi tidak menjamin kelanggengan popularitas.
ADVERTISEMENT
Fenomena “dakwah instan” ini menjadi bukti betapa mudahnya sebuah figur meraih ketenaran, sekaligus rapuhnya landasan ketenaran tersebut. Konten bertema “cara cepat masuk surga” atau “doa kaya satu menit” memang menarik bagi Gen Z dan Alpha, tetapi sering kali minim substansi dan miskin penjelasan. Respons publik yang kritis atau pergeseran tren platform akan segera memudarkan ketenaran yang awalnya melejit.
Perubahan selera audiens kini terjadi jauh lebih cepat daripada sebelumnya, seiring kemunculan platform dan format konten baru, termasuk perubahan preferensi pengguna (Hootsuite, 2023). Figur keagamaan yang lambat beradaptasi sangat mungkin ditinggalkan, sebab generasi muda saat ini menuntut konten media sosial yang sesuai dengan preferensi mereka. Hal ini menegaskan bahwa algoritma memang bisa menghasilkan popularitas instan, tetapi tidak menjamin keberlanjutan otoritas atau ikatan jangka panjang dengan jemaah. Oleh karena itu, bagi mereka yang ingin mempertahankan relevansi dan membangun kepercayaan, dakwah berbasis substansi—dengan kedalaman dan relasi komunitas (jemaah)—merupakan fondasi terpenting di balik dinamika dunia digital saat ini.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, penting diingat bahwa otoritas keagamaan yang kokoh dan langgeng setidaknya harus memenuhi tiga pilar. Mengutip analisis Ismail Fajrie, ketiga pilar tersebut adalah nasab (keterkaitan dengan silsilah), sanad (hubungan intelektual yang berkesinambungan), dan relasi jemaah (ikatan komunitas). Tanpa fondasi ini, kepopuleran yang hanya bergantung pada “kecocokan” algoritma akan memudar seiring perubahan tren dan selera publik. Di tengah derasnya arus digital, mengampanyekan konten media yang mengutamakan kedalaman dan keterhubungan yang kuat dengan jemaah menjadi kunci agar otoritas dakwah tetap relevan dan berkelanjutan.
Meski demikian, tidak semua otoritas keagamaan tradisional kehilangan daya tariknya. Beberapa ulama justru mampu memanfaatkan media sosial untuk menjangkau lebih banyak audiens dengan substansi dakwah yang berkualitas. Mereka berhasil memadukan ketiga syarat di atas dengan strategi digital yang tepat, sehingga dapat mengimbangi narasi keagamaan yang semata mengejar “viral” dan mengisinya dengan diskusi serta pembelajaran yang lebih substantif—kedua model ini akan terus saling berkelindan dalam ruang maya.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa konten keagamaan di media sosial turut memicu fragmentasi otoritas. Audiens Indonesia kini terpapar berbagai ideologi transnasional. Tidak jarang, narasi tersebut berbenturan dengan norma lokal, misalnya tradisi Syafi’i yang dianut mayoritas Muslim Indonesia. Dalam situasi ini, Gen Z dan Alpha cenderung mengakses beragam perspektif agama lintas batas. Garry Bunt menyebut fenomena ini sebagai cyber Islamic environments, yaitu ruang digital tempat berbagai interpretasi agama berlomba meraih legitimasi. Akibatnya, otoritas lokal sering kali kalah pamor dibandingkan narasi global yang lebih agresif dan mahir memanfaatkan algoritma.
Sampai di sini, kita dapat melihat bahwa “algoritma” dalam otoritas keagamaan memiliki sisi positif dan negatif. Di satu sisi, media sosial membuka pintu dakwah yang lebih luas dan berpotensi inklusif. Namun, di sisi lain, algoritma cenderung menyederhanakan wacana dan meningkatkan risiko polarisasi.
ADVERTISEMENT
Gen Z dan Alpha, dengan kebiasaan digital yang sangat dipengaruhi oleh algoritma, membutuhkan dakwah yang mampu memadukan algoritma dengan kedalaman substansi agama. Baik Garry Bunt maupun Ismail Fajrie secara tidak langsung mengingatkan kita bahwa masa depan otoritas keagamaan di era ini sangat bergantung pada kemampuan para dai untuk mengintegrasikan elemen tradisional—seperti keilmuan dan relasi jemaah—dengan strategi digital yang relevan. Mengutip Max Weber, otoritas yang bertahan lama membutuhkan legitimasi yang jelas dan stabil. Tanpa fondasi tersebut, “otoritas algoritmik” hanya akan menjadi bayangan yang cepat memudar ketika tren digital berubah.