Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Maafkan Kami, Nak! Ramadanmu Tak Lagi Semeriah Dahulu
15 Februari 2025 12:30 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Soleh Hasan Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Nuansa kebersamaan di desa (Sumber: Generate form DALL-E)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm3y3nwtv3gx3jq2517n2vnq.png)
ADVERTISEMENT
Maafkan Aku, Nak, tampaknya bagimu, yang lahir di tahun 2017 lalu, Ramadanmu tak lagi seseru Ramadanku dulu. Dulu, ketika internet belum merajalela, puasa dan Idulfitri terasa begitu menyenangkan—menjalani puasa (menunggu berbuka) dan menunggu Idulfitri menjadi momen yang amat menggembirakan. Begitu keduanya tiba, rasanya kita benar-benar mendapatkan kenikmatan yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Usai tarawih, kami tidak langsung pulang; kami berkumpul di Mushala bersama teman-teman. Di situ kami berinteraksi; terkadang kami bermain “perang sarung,” terkadang “ultraman-ultramanan,” “baja hitam,” atau menjadi “gatot kaca.” Bahkan, kami tak jarang saling bertengkar, hingga di antara kami pasti ada yang menangis. Interaksi seperti itu mengajarkan kami cara berhubungan dengan orang lain, baik saat harus berkolaborasi ketika bermain maupun ketika kami sedang konflik.
Sebelum sahur, kami sibuk membangunkan tetangga dengan berkeliling kampung atau berjalan-jalan sambil menanti mentari yang mulai tersenyum di ufuk timur. Menjelang siang, kami meneruskan keseruan dengan memancing di sungai, menyalakan petasan, atau menginap ramai-ramai di Mushala.
Untuk mempersiapkan misi “keliling kampung,” kami kerap berkeliling mencari bambu pada siang hari, lalu mendesainnya menjadi kentongan. Bagi kawan-kawan yang tidak bisa membuat kentongan, mereka akan mencari bahan bekas untuk dijadikan media bermusik saat sahur. Kami juga sering meminjam “klenting” sapi atau kerbau yang dulu dipakai para peternak. Tak jarang, saat meminjam, kami dimarahi pemiliknya; namun, ada pula pemilik yang merelakannya.
ADVERTISEMENT
Momen-momen di atas mengajarkan kami bahwa kebersamaan dan harmoni sosial tidak semata tercipta saat semuanya berjalan mulus, tetapi juga di saat kami belajar menyelesaikan konflik dan saling memahami. Setiap tawa, tangisan, sampai perdebatan kecil di antara kami menjadi bekal untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial saat ini. Itulah mengapa rasa solidaritas kami tumbuh begitu kuat, karena semuanya dijalin dan kami alami secara langsung dari peristiwa-peristiwa di atas, dan bukan interaksi sosial di dunia maya yang saat ini engkau alami.
Maafkan Aku, Nak, bila kini kau tak lagi merasakan kehangatan yang sama. Dulu, Ramadan begitu erat mempersatukan kami. Sore hari bukanlah waktu bagi kami menatap gawai; kami lebih memilih berkumpul, entah bermain kelereng atau sekadar duduk-duduk di angkringan sambil bercengkerama. Momen lain yang tak tergantikan adalah saat berbuka bersama keluarga, berbeda dengan masa kini, ketika semuanya serba terburu-buru. Dulu, sambil berbuka, gelak tawa keakraban mengiringi tegukan es kelapa yang terasa sangat istimewa setelah seharian menahan haus dan lapar.
ADVERTISEMENT
Ingatlah, Nak, esensi Ramadan tidaklah sebatas menahan lapar dan dahaga. QS. Al-Baqarah [2]: 183 telah menyiratkan tujuan puasa ini: agar kita menjadi insan bertakwa—membangun kesadaran spiritual dan empati sosial. Hal ini ditegaskan pula oleh hadis riwayat Bukhari yang memuliakan mereka yang memberi makan orang berpuasa. Para ulama, seperti Imam Al-Ghazali, pun menyinggung soal “puasa hati”—yakni bentuk perilaku menekan ego dan menumbuhkan empati. Dengan demikian, Ramadan sejatinya adalah ruang bagi kita untuk lebih peka pada penderitaan orang lain.
Maafkan Aku, Nak, zaman memang telah berubah. Tak banyak lagi anak-anak yang berebut membunyikan kentongan saat sahur, pun kian jarang terdengar teriakan “Sahur!” di sepanjang jalan. Kini, saya hanya mendengar “sound” dengan suara yang memekakkan telinga. Bagimu, rutinitas sahur mungkin lebih banyak ditemani ponsel atau alarm digital ketimbang keriuhan teman sebaya. Mungkin kau tak lagi melihat “perang sarung” seusai tarawih atau kebut-kebutan sepeda tua demi mengejar waktu berbuka berikutnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, jangan kau bersedih. Ramadan akan selalu memelihara harapan, selama kita memahami maknanya. Ini terbukti dari berbagai praktik nyata di masyarakat Muslim dunia, termasuk di Indonesia.
Di negara ini, Ramadan masih memperlihatkan adanya kehangatan dan kepedulian sosial di antara kita. Tak jarang, warga di lingkungan RT/RW mengadakan iftar bersama, saling berbagi makanan dan cerita, sehingga semangat persaudaraan semakin terjaga. Tradisi membagikan takjil gratis kepada pengendara dan pejalan kaki juga menjadi pemandangan akrab di banyak kota.
Selain itu, banyak inisiatif komunitas juga terlihat selama Ramadan, seperti penggalangan dana untuk membantu keluarga kurang mampu dan pembagian sembako di lingkungan setempat. Misalnya, kelompok pemuda di beberapa kota kerap mengorganisasi kegiatan "Sahur On The Road" untuk membagikan makanan sahur kepada mereka yang membutuhkan. Kegiatan-kegiatan ini membuktikan bahwa nilai gotong royong dan empati sosial masih tetap hidup di negara kita.
ADVERTISEMENT
Di luar negeri, hal serupa pun terlihat. Temuan di berbagai kota dunia, komunitas Muslim semakin aktif menggalang aksi sosial di bulan Ramadan, mulai dari food drive bagi para tunawisma hingga iftar jama‘i lintas iman. Di AS, laporan Institute for Social Policy and Understanding menunjukkan adanya peningkatan inisiatif berbagi makanan di dapur-dapur umum selama Ramadan. Di London, East London Mosque setiap tahun mengadakan iftar bersama yang mengundang pemuka agama lain. Semua merayakan kebersamaan, menepis sekat latar belakang yang memisahkan mereka.
Kesemua contoh itu, baik di Indonesia maupun mancanegara, memperjelas bahwa Ramadan adalah tentang kepedulian—Ramadan adalah soal memanata hati siapa pun, di mana pun.
ADVERTISEMENT
Semoga kelak, meski kau hidup di era digital, kau tetap dapat menemukan makna Ramadan yang serupa—persis seperti yang kami rasakan dulu. Nilai-nilai kebaikan, kepekaan sosial, dan kebersamaan tak akan pernah usang, selama kita terus merawatnya di dalam hati dan mewujudkannya dalam perbuatan. Kalaupun Ramadanmu tak lagi diselimuti suara kentongan subuh dan keriuhan teman sebaya, yakinlah, ia tetap membawa kesempatan bagi kita untuk saling membantu, berbagi, dan merajut kebahagiaan bersama. Selama kau pelihara semangat itu, Ramadanmu akan selalu punya cerita.